Tidak seperti lembaga negara
lain, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi, proses pemilihan komisioner
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berjalan sejak April hingga awal
Juli 2013 ini sepi dari pemberitaan dan pembicaraan. Padahal, peran
komisi ini tidak kalah penting, yakni untuk mengawasi, mengevaluasi, dan
bertindak terhadap apa yang terjadi dalam dunia penyiaran Indonesia,
baik televisi maupun radio, yang penetrasinya sangat kuat dalam
mempengaruhi dan membentuk sikap dan pandangan masyakat. Apalagi di
tahun politik seperti sekarang, di mana independensi media mulai diancam
oleh intervensi berbagai kepentingan, ditambah dengan kondisi
kepemilikan media yang sangat terkonsentrasi.
Dari total 27 kandidat, 9 komisioner baru KPI memang sudah terpilih.
Oleh anggota Komisi I DPR, mereka disaring dengan menjalani uji
kepatutan dan kelayakan pada 2 dan 3 Juli 2013 lalu. Soal hasilnya, tak
akan saya komentari lebih jauh di sini. Sebab, tulisan ini akan fokus
pada proses ujian tersebut. Kualitas pertanyaan dan etika yang berlaku
pada pelaksaan ujian menjadi penting diketahui, untuk melihat polah para
wakil kita di Senayan dalam memilihkan komisioner KPI yang akan bekerja
bagi publik selama tiga tahun ke depan.
Etika dan Kapabilitas
“Tolong jawab yang serius, Anda sudah punya pacar?,” bunyi pertanyaan
yang diajukan Oheo Sinapoy (Golkar) kepada seorang calon perempuan
komisioner muda Agatha Lily. Langsung saja pertanyaan tersebut disambut
tawa terbahak anggota lainnya, bahkan ditimpali sang moderator TB
Hasanuddin (PDIP), “Wah, tinggal tukeran nomor telepon aja
nanti.” Selama dua hari ujian berlangsung, “lelucon” itu pun mereka
(anggota Komisi I) mainkan berulang. Mereka bahkan menciptakan istilah
baru: “Virus Agatha”, dan diucapkan untuk mengenye anggota lain dan memancing tawa.
Seorang calon perempuan lainnya mendapat perlakuan senada. “Selamat
malam para calon komisioner, khusunya Ibu Ririt yang cantik,” ujar
seorang perwakilan PKS. Berkali-kali setelahnya si calon disuguhi
gombalan-gombalan manis yang datang dari berbagai perwakilan fraksi di
Komisi I. Pun muncul pertanyaan seperti ini, “Anda kan lemah
lembut seperti ini, apakah Anda bisa menghadapi tantangan-tantangan yang
ada di KPI nanti?” ujar yang lain kepada calon yang sama.
Dua hari itu, ruangan rapat Komisi I dipenuhi tawa. Namun siapa
sangka seksisme menjadi materi utamanya? Perempuan komisioner tidak
dihargai, bahkan dipandang sebatas wajah dan tubuh, lebih dari akal
sehat dan pengetahuan yang dimilikinya. Kritik yang sering ditujukan
kepada televisi itu, kini malah dilakukan oleh lembaga yang sedang
memilih orang yang akan bertugas menegur pandangan macam demikian di
televisi dan radio.
“Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika,” tulis
Rocky Gerung suatu kali dalam sebuah pidato kebudayaan pada 2010. Dan
premis ini mungkin cocok. Pasalnya, etika berunding—atau entah apalah
namanya itu—dipertontonkan Komisi I sebagai sesuatu yang lebih kacangan
dari pemilihan Ketua OSIS di SMA: jadwal ujian ngaret hingga paling lama 1,5 jam, jumlah
anggota komisi I yang hadir pernah hanya 16 orang, sampai fraksi PPP
yang meminta izin untuk berhalangan hadir karena ada pembekalan calon
legislatif partainya.
Lain hal, menguasai tetek bengek dunia penyiaran adalah wajib bagi
sang penguji. Namun, nampaknya hal ini tidak terlihat dalam pertanyaan
yang dilontarkan. Ada cerita tentang Evita Nursanti (PDIP) yang
menyatakan perlu didirikannya Komisi Air, Komisi Hutan, dan lainnya,
sebagai konsekuensi logis dari adanya Komisi Penyiaran, yang kesemuanya
adalah sumber daya alam terbatas. Ada pertanyaan tidak relevan yang
ditanyakan seorang bergelar doktor, Ajeng Ratna Sumirat (Demokrat),
“Kalau Anda sedang mandi, lantas ada iklan yang masuk ke BBM Anda, apa
yang akan Anda lakukan untuk mengatasi hal tersebut?” Bahkan, Ajeng dan
Nurul Arifin (Golkar), ketika saya tanya secara pribadi, tidak paham apa
itu blocking time. Nurul pun tak paham apa cemarnya praktik
demikian bila dimanfaatkan partai politik: “Ya nggak apa. Apalagi kalau
itu (yang disiarkan adalah) ulang tahun partai.”
Sedangkan pertanyaan yang persis menyangkut masalah penyiaran, malah
jatuh pada pertanyaan-pertanyaan hapalan dan normatif yang sebenarnya
tidak perlu diajukan. Pertanyaan hapalan, yang lebih bertujuan menggali
pengetahuan (bukan sikap, apalagi paradigma) calon komisioner,
seharusnya sudah selesai pada seleksi tahap awal (administrasi dan ujian
tertulis). Dan pertanyaan normatif seperti “apakah Anda yakin tak akan
terkontaminasi konglomerasi?” atau “apakah Anda sanggup menolak godaan?”
pada dasarnya sebangun dengan pertanyaan “suka bohong nggak?” kepada
seorang bocah.
Refleksi atas Profesionalitas DPR
Anggota DPR sejatinya diharapkan bekerja bagi publik. Meski menjadi
representasi partai politik yang punya keputusan bersifat politis, tapi
syarat minimal profesionalitas sebagai pihak yang melayani publik tetap
diperlukan, agar kehadiran, keputusan, dan tindakan mereka punya arti di
mata publik. Dalam profesionalitas, keahlian dan kode etik menjadi
sarana agar keputusan subjektif yang politis itu tetap memiliki argumen
memadai tanpa melukai akal sehat publik.
Proses seleksi ala sirkus ini tentu membuat kita bertanya-tanya
tentang kinerja dan profesionalitas Komisi I. Sikap para awak Komisi I
menunjukkan tiadanya penghormatan kepada calon komisioner KPI, dan lebih
jauh lagi, kepada lembaga negara independen tersebut. Jika Anda hadir
di sana, Anda akan merasa sedang berada dalam sebuah ajang pencarian
bakat televisi, di mana kebanyakan juri mendapat jatah untuk saling
berkomentar tak substantif dan bebas mengomentari pakaian, make-up, dan identitas seseorang (gender, usia, dan sebagainya).
Keraguan atas profesionalitas ini juga ditunjukkan dengan saling
lempar lelucon mengenai kepemilikan televisi antarpartai. “Demokrat
nggak punya TV sih,” ledek seorang anggota. Yang lainnya bilang,
“Biasanya, yang punya TV-nya mendadak, nanti kehilangannya juga
mendadak,” olok yang lain kepada Hanura. Partai terakhir ini tak kalah
ingin menyumbangkan leluconnya, “Sorry, saya nggak terlalu
perhatikan KPI. Tapi akhir-akhir ini terpaksa harus saya perhatikan
(karena mendadak punya TV),” ujarnya diselingi tawa.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa masalah penyiaran dianggap hal
sepele. Masalah pemusatan kepemilikan media, khususnya, tidak dianggap
sebagai ancaman serius yang dapat merugikan publik. Frekuensi publik,
bagi mereka, mungkin dimaknai sebatas properti privat yang tidak perlu
dibicarakan dengan mempertimbangkan kepentingan banyak orang. Dengan
demikian, bagaimana mungkin publik tidak cemas kalau komisioner KPI
dipilihkan oleh mereka yang absen dalam urusan etika, jauh dari
pemahaman-pengetahuan bidang penyiaran, dan serampangannya dalam
memaknai arti frekuensi publik?
Pertanyaan-pertanyaan hapalan dan normatif seperti yang disinggung di
atas juga memperlihatkan bahwa tidak ada konsep penyaringan yang jelas,
yang saling berkesinambungan. Tidak kita lihat objektivitas
masing-masing tahap, dari seleksi administratif, ujian tertulis, uji
kompetensi—yang awalnya ditunda namun tiba-tiba ditiadakan tanpa alasan
yang jelas—hingga ujian kepatutan dan kelayakan ini. Apakah ujian
tertulis bertujuan untuk menguji pengetahuan dasar para calon? Ataukah
itu adalah tugas uji kepatutan dan kelayakan? Di tahap mana semestinya
integritas, paradigma, serta ideologi para calon diuji?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sepertinya tak terjawab kalau melihat
bagaimana seluruh rangkaian proses seleksi ini diselenggarakan. Dengan
konsep penyaringan yang tidak jelas ini, apakah kita bisa percaya bahwa
mereka memang benar-benar sedang mencari calon yang berkualitas?
Publik perlu tahu jawabannya, sebab merekalah empunya frekuensi.[INDAH WULANDARI]