Herman, Edward S, dan Noam Chomsky dalam buku Manufacturing Consent, The Political Economy of The Mass Media menjelaskan celah-celah lain untuk “bermain” di media. Atau, dalam konteks ini di layar kaca. ”Filter pertama bagi media massa Amerika dalam meminta persetujuan (manufacturing consent) terhadap pendapat yang ingin dikembangkan (: propaganda) adalah ukuran, kepemilikan, dan orientasi pasar media. Filter kedua dan selanjutnya adalah iklan, narasumber, senjata dan hukum, serta antikomunisme,” paparnya.
Alam kapitalisme memberikan ruang yang sangat luas bagi pemilik modal untuk berkuasa penuh atas medianya. Poin-poin yang membuatnya lumer di mata siapa pun, termasuk politisi, adalah kepemilikan, orientasi pasar, dan iklan. Dukungan untuk melanggengkan kepemilikan dan keleluasaan menjalankan media dalam konteks politik yang aman untuk bisnis media adalah tawaran paling menggoda. Pemilik media sangat berhasrat untuk mengamankan orientasi pasarnya dan perolehan iklannya. Karena, pada dasarnya penerapan Undang-undang Penyiaran secara serius menjadi momok menakutkan bagi pemilik media, dan membuatnya sangat terbuka bagi para politisi (terutama dari partai politik berkuasa dan memegang tampuk kebijakan di bidang penyiaran).
Perhatikan model konstruksi realitas media televisi di bawah ini, yang menghamparkan banyak celah bagi para politisi untuk mendekati para awak media, dari yang berstatus jurnalis, programmer, staf marketing, hingga pemilik media.
Model tersebut menyederhanakan alur produksi teks televisi dimulai dari realitas (1) yang menjadi perhatian para jurnalis di ruang redaksi (4), untuk diolah menjadi agenda media dan diframing sebagai berita (5). Seperti disinggung kalangan teori kritis, ruang redaksi bukanlah ruang netral yang bebas kepentingan. Di tengah alam kapitalisme, ruang redaksi mendapat “tekanan” sempurna secara eksternal (2) meliputi dimensi ekstra media dan ideologi, juga secara internal (3) meliputi dimensi individu, rutinas media, dan organisasi. Dimensi-dimensi dalam wilayah eksternal dan internal itu diadopsi dari model hierarchy of influence Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese.
Model keterpengaruhan hierarki dari secara internal bukan hanya terjadi di ruang redaksi, tapi juga menelusup ke ruang penyuntingan (6) hingga memengaruhi pemilihan simbol dan pengemasan item (7). Dan pengaruh itu juga menerobos ke ruang kendali (8) yang berkepentingan memasukkan simbol-simbol lain dan menjadikanya kemasan program (9), hingga ditayangkan sebagai teks televisi (10).
Seperti diungkapkan Herman, Edward S, dan Noam Chomsky, celah-celah tidak selalu langsung ke ruang redaksi, tapi bisa melalui ekstra media, organisasi, dan individu-individu di dalamnya. Masing-masing dimensi sama-sama memberikan “kesempatan” untuk didekati, dengan bermacam-macam cara tentunya. Namun seperti telah disinggung di atas soal kedekatan para jurnalis di lapangan dengan para politisi, menurut saya, bagian ini menjadi celah yang sangat memungkinkan untuk “dimainkan“ para politisi. Idi Subandi Ibrahim—mengadopsi pendapat Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch dalam buku The Crisis of Public Communication (1995)—melukiskan situasi itu sebagai tekanan berita pada orang atau pribadi (person) yang lebih kuat ketimbang pada peristiwa (event), dengan alasan:
Alam kapitalisme memberikan ruang yang sangat luas bagi pemilik modal untuk berkuasa penuh atas medianya. Poin-poin yang membuatnya lumer di mata siapa pun, termasuk politisi, adalah kepemilikan, orientasi pasar, dan iklan. Dukungan untuk melanggengkan kepemilikan dan keleluasaan menjalankan media dalam konteks politik yang aman untuk bisnis media adalah tawaran paling menggoda. Pemilik media sangat berhasrat untuk mengamankan orientasi pasarnya dan perolehan iklannya. Karena, pada dasarnya penerapan Undang-undang Penyiaran secara serius menjadi momok menakutkan bagi pemilik media, dan membuatnya sangat terbuka bagi para politisi (terutama dari partai politik berkuasa dan memegang tampuk kebijakan di bidang penyiaran).
Perhatikan model konstruksi realitas media televisi di bawah ini, yang menghamparkan banyak celah bagi para politisi untuk mendekati para awak media, dari yang berstatus jurnalis, programmer, staf marketing, hingga pemilik media.
Model Konstruksi Realitas Media Televisi
Model tersebut menyederhanakan alur produksi teks televisi dimulai dari realitas (1) yang menjadi perhatian para jurnalis di ruang redaksi (4), untuk diolah menjadi agenda media dan diframing sebagai berita (5). Seperti disinggung kalangan teori kritis, ruang redaksi bukanlah ruang netral yang bebas kepentingan. Di tengah alam kapitalisme, ruang redaksi mendapat “tekanan” sempurna secara eksternal (2) meliputi dimensi ekstra media dan ideologi, juga secara internal (3) meliputi dimensi individu, rutinas media, dan organisasi. Dimensi-dimensi dalam wilayah eksternal dan internal itu diadopsi dari model hierarchy of influence Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese.
Model keterpengaruhan hierarki dari secara internal bukan hanya terjadi di ruang redaksi, tapi juga menelusup ke ruang penyuntingan (6) hingga memengaruhi pemilihan simbol dan pengemasan item (7). Dan pengaruh itu juga menerobos ke ruang kendali (8) yang berkepentingan memasukkan simbol-simbol lain dan menjadikanya kemasan program (9), hingga ditayangkan sebagai teks televisi (10).
Seperti diungkapkan Herman, Edward S, dan Noam Chomsky, celah-celah tidak selalu langsung ke ruang redaksi, tapi bisa melalui ekstra media, organisasi, dan individu-individu di dalamnya. Masing-masing dimensi sama-sama memberikan “kesempatan” untuk didekati, dengan bermacam-macam cara tentunya. Namun seperti telah disinggung di atas soal kedekatan para jurnalis di lapangan dengan para politisi, menurut saya, bagian ini menjadi celah yang sangat memungkinkan untuk “dimainkan“ para politisi. Idi Subandi Ibrahim—mengadopsi pendapat Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch dalam buku The Crisis of Public Communication (1995)—melukiskan situasi itu sebagai tekanan berita pada orang atau pribadi (person) yang lebih kuat ketimbang pada peristiwa (event), dengan alasan:
- Personaliasi. Media, khususnya sang jurnalis, cenderung melakukan personalisasi pada pemberitaannya, oleh karena pengaruh subjektivitas individualnya yang begitu kuat.
- Emosionalisasi. Konsekuensi logis dari personalisasi tersebut adalah berlangsungnya apa yang disebut sebagai emosionalisasi berita.
- Dramatisasi. Proses dramatisasi juga sangat sering kita temui dalam kasus pemberitaan yang berpusat pada individu atau orang ini.
- Sensasionalisasi. “Menjual” hal-hal yang sensasional jelas adalah salah satu cara yang sering dilakukan oleh televisi kita akhir-akhir ini.