Alangkah beruntungnya perempuan di negeri ini. Atas nama undang-undang
yang memberikan sepertiga ruang bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan
aspirasi politiknya, partai politik pun jadi giat ‘berburu’ kader-kader
perempuan.
Disebut ‘berburu’ karena sejatinya parpol-parpol itu tidak memiliki banyak kader perempuan untuk tampil di parlemen. Terlebih lagi, kader-kader perempuan yang benar-benar siap bermain di medan peperangan politik. Maka, demi memenuhi kuota, para pengurus parpol pun harus mencari perempuan-perempuan yang siap berpolitik dan ditarungkan pada pemilu mendatang.
Pada bagian itu, para pengurus parpol juga harus meredakan kegusaran kader-kader parpol lain (dari kalangan lelaki) yang tiba-tiba harus mengalah dan melepaskan kesempatan menaikkan derajat berpolitiknya demi menyediakan ruang bagi para pendatang baru (karena alasan keperempuanannya). Kekesalan dan kekecewaaan sudah pasti menjadi milik kader parpol yang sudah belasan tahun mengabdi tapi tertutup langkahnya lantaran kelelakiannya.
Ini bukan persoalan sederhana. Biar bagaimana pun, sistem—atas nama undang-undang—telah menyuntikkan persoalan komunikasi organisasi yang tidak kecil. Harmonisasi antara pengurus yang pro dan kontra atas sistem tersebut (dalam bahasa harafiah, yang mendapat dan yang terhalang langkah politik-nya) menjadi kian tak terbantahkan. Gap antara kader yang beruntung dan yang tidak beruntung menjadi kian nyata.
Beban persoalan itu, pada akhirnya akan mengerucut dan menghujam pada kader-kader perempuan yang tiba-tiba mendapatkan keberuntungan (atau malah bencana?) untuk menapaki kiprah politik di singgasana tertinggi: parlemen. Dan ini juga bukan persoalan main-main.
Sejatinya, perempuan-perempuan yang dipinang parpol dan langsung mendapatkan nomor caleg itu adalah kader dadakan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka, tidak memiliki ilmu berorganisasi dan berpolitik yang mumpuni. Terlebih lagi untuk menghadapi momen seakbar pemilu dan pentas politik di wilayah legislatif.
Karena itu, jangan tanyakan kesiapan fisik dan mental. “Ah, mengalir saja seperti air. Ini sudah kehendak Allah,” sergah seorang caleg perempuan ketika menjawab keraguan sejawatnya.
Kesiapan memang menjadi barang mahal. Meski sangat diyakini bahwa Gedung DPR atau DPRD bukanlah arena bermain dan berlatih politik, para caleg perempuan itu ternyata cenderung mengabaikan sisi persiapan. Utamanya, ilmu dan mentalitasnya.
Sebaliknya bagi caleg perempuan yang merasa siap dengan keilmuan dan mentalitasnya juga bukan perkara mudah. Ingatlah kenyataan soal situasi ‘berburu’ dan ‘pinangan’ tadi. Tiba-tiba saya khawatir bahwa situasi itu bakal mengondisikan para kader terlatih dan mumpuni (dari kalangan lelaki) untuk memainkan semua jurus politiknya, termasuk mengorbankan keberadaan para caleg perempuan tadi. Dalam artian, para kader senior itu akan menutup akses dan tidak memberikan ruang bertanya sedikit pun kepada para yuniornya (kalangan perempuan) yang sebetulnya sangat butuh bimbingan.
Tak ada teman abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Pepatah ini memang menjadi milik para politisi. Karena itu, sah-sah saja para politisi lelaki memainkan jurus-jurus politiknya atau bersikap semau-maunya terhadap sejawatnya demi memenangkan pertarungan. Ini politik, Bung!
Tulisan ini saya urai berdasarkan cerita seorang caleg perempuan yang tiba-tiba kebingungan setelah partai memberikannya nomor cantik pada daftar calon sementara. Di sisi lain, ia merasakan aroma persaingan di tubuh partai itu dan membuatnya merasa sendiri.
Disebut ‘berburu’ karena sejatinya parpol-parpol itu tidak memiliki banyak kader perempuan untuk tampil di parlemen. Terlebih lagi, kader-kader perempuan yang benar-benar siap bermain di medan peperangan politik. Maka, demi memenuhi kuota, para pengurus parpol pun harus mencari perempuan-perempuan yang siap berpolitik dan ditarungkan pada pemilu mendatang.
Pada bagian itu, para pengurus parpol juga harus meredakan kegusaran kader-kader parpol lain (dari kalangan lelaki) yang tiba-tiba harus mengalah dan melepaskan kesempatan menaikkan derajat berpolitiknya demi menyediakan ruang bagi para pendatang baru (karena alasan keperempuanannya). Kekesalan dan kekecewaaan sudah pasti menjadi milik kader parpol yang sudah belasan tahun mengabdi tapi tertutup langkahnya lantaran kelelakiannya.
Ini bukan persoalan sederhana. Biar bagaimana pun, sistem—atas nama undang-undang—telah menyuntikkan persoalan komunikasi organisasi yang tidak kecil. Harmonisasi antara pengurus yang pro dan kontra atas sistem tersebut (dalam bahasa harafiah, yang mendapat dan yang terhalang langkah politik-nya) menjadi kian tak terbantahkan. Gap antara kader yang beruntung dan yang tidak beruntung menjadi kian nyata.
Beban persoalan itu, pada akhirnya akan mengerucut dan menghujam pada kader-kader perempuan yang tiba-tiba mendapatkan keberuntungan (atau malah bencana?) untuk menapaki kiprah politik di singgasana tertinggi: parlemen. Dan ini juga bukan persoalan main-main.
Sejatinya, perempuan-perempuan yang dipinang parpol dan langsung mendapatkan nomor caleg itu adalah kader dadakan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka, tidak memiliki ilmu berorganisasi dan berpolitik yang mumpuni. Terlebih lagi untuk menghadapi momen seakbar pemilu dan pentas politik di wilayah legislatif.
Karena itu, jangan tanyakan kesiapan fisik dan mental. “Ah, mengalir saja seperti air. Ini sudah kehendak Allah,” sergah seorang caleg perempuan ketika menjawab keraguan sejawatnya.
Kesiapan memang menjadi barang mahal. Meski sangat diyakini bahwa Gedung DPR atau DPRD bukanlah arena bermain dan berlatih politik, para caleg perempuan itu ternyata cenderung mengabaikan sisi persiapan. Utamanya, ilmu dan mentalitasnya.
Sebaliknya bagi caleg perempuan yang merasa siap dengan keilmuan dan mentalitasnya juga bukan perkara mudah. Ingatlah kenyataan soal situasi ‘berburu’ dan ‘pinangan’ tadi. Tiba-tiba saya khawatir bahwa situasi itu bakal mengondisikan para kader terlatih dan mumpuni (dari kalangan lelaki) untuk memainkan semua jurus politiknya, termasuk mengorbankan keberadaan para caleg perempuan tadi. Dalam artian, para kader senior itu akan menutup akses dan tidak memberikan ruang bertanya sedikit pun kepada para yuniornya (kalangan perempuan) yang sebetulnya sangat butuh bimbingan.
Tak ada teman abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Pepatah ini memang menjadi milik para politisi. Karena itu, sah-sah saja para politisi lelaki memainkan jurus-jurus politiknya atau bersikap semau-maunya terhadap sejawatnya demi memenangkan pertarungan. Ini politik, Bung!
Tulisan ini saya urai berdasarkan cerita seorang caleg perempuan yang tiba-tiba kebingungan setelah partai memberikannya nomor cantik pada daftar calon sementara. Di sisi lain, ia merasakan aroma persaingan di tubuh partai itu dan membuatnya merasa sendiri.
“Tidak mudah menjadi politisi karena semua ruang merupakan arena persaingan,” katanya. “Tapi, kita, kaum perempuan dan dengan kemampuan kita, harus berada di lingkaran itu. Demi perubahan.”[RATNA S. HALIM]