Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, negeri ini kembali dihadapkan
pada pesta demokrasi lima tahunan bernama pemilu. Khusus bagi partai
polilitik dan Komisi Pemilihan Umum, kesibukan itu telah dimulai
sekarang karena audisi bagi para calon legislator telah dibuka.
Kesibukan itu ternyata bukan hanya milik parpol berserta para calegnya
dan KPU, tapi juga sejumlah instansi terkait.
“Caleg, ya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan dari para petugas di kantor kepolisian, rumah sakit, rumah sakit jiwa, kelurahan, hingga Pak RT. Yang ditanya pun akan menghamburkan beragam ekspresi: ada yang senyum-senyum sumringah karena merasa mendapatkan perhatian, ada yang langsung pasang tampang wibawa karena merasa harus memulai pencitraan, ada yang pura-pura tidak peduli karena langsung curiga bakal ‘dikerjai' uangnya, dan sebagainya.
Yang pasti, berbagai wajah dengan berbagai ekspresi itu bertebaran dan akan gampang ditemui di tempat itu. Dan bagi saya, situasi itu memberikan hiburan tersendiri yang jauh lebih menarik dibandingkan kompetisi ajang bakat semacam X Factor Indonesia di RCTI. Lebih tepatnya, hiburan yang satire.
Mereka, para calon legislator itu, datang dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Perbedaan-perbedaan di antara mereka bisa dibuktikan melalui pakaian, bahasa tubuh, cara bertutur, dan isi tuturannya.
Dari sisi pakaian: ada yang berupaya tampil necis dengan jas dan dasi, ada yang berupaya tampil ala kadarnya dengan batik dan kemeja, ada yang mengenakan sepatu bermerk tapi tidak memakai kaos kaki, ada juga yang mengapit tas KW bagi caleg perempuan dengan busana muslimah yang dipaksa ngetrend. Pokoknya, Anda bisa senyum-senyum sendiri bila berkesempatan menyaksikan pemandangan-pemandangan itu.
Dari segi isi tuturan, ini makin menarik dicermati. Ada yang mengeraskan suaranya dan berupaya sewibawa mungkin, ada yang terasa begitu lugu dengan logat daerah yang kental, ada juga yang temperamen dan langsung kumat darah tingginya ketika merasa tidak mendapatkan pelayanan maksimal, atau ada juga yang rajin mengumbar senyum dan tebar pesona ke sekelilingnya.
Di sisi lain, para petugas juga ternyata cukup ‘terampil' dalam memanfaatkan situasi. Dengan gaya bermuka-mukanya, mereka tidak segan-segan langsung memuji-muji dan mencoba menarik perhatian sang caleg. Bagi caleg yang dirasa memiliki ketidaklengkapan data atau surat pengantar, mereka tak segan-segan mengajaknya bicara lebih dekat seraya menawarkan jasa. Buntut-buntutnya, sang caleg mesti merogoh kantongnya.
Maka, di tengah pengurusan surat-surat dari kepolisian, serta surat kesehatan jasmani dan surat kesehatan rohani dari rumah sakit, dengan antrean panjang dan ujian kesabaran yang melelahkan, para caleg itu sesungguhnya tengah dihadapkan pada kegairahan menyambut pesta demokrasi. Kegairahan yang bukan main-main. Karena, di luar kesibukan mengurusi persoalan administrasi, ia juga mesti menyiapkan para relawan atau tim sukses, serta menyusun strategi-strategi politik.
Berat?
Tidak juga. Kenyataannya, para caleg begitu bahagia dan sangat menikmati suasana baru itu. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak malu-malu untuk mengalkukasi biaya operasional sejak pendaftaran hingga hari H nanti. Entah untuk biaya operasional tim relawan, manajemen saksi, manajemen TPS, atau pos-pos lain.
Bagi yang sadar, maka akan terasa, betapa biaya operasional itu sangat tidak sebanding dengan sisi materi yang bakal didapat nanti. Ini diasumsikan, caleg itu sekadar berharap mendapat materi dari gaji. Lantas ia juga mesti memenuhi kewajiban memberikan upeti kepada partai dan konstituen yang terus merongrong. Lantas?
Saya sangat tahu bahwa tidak ringan menjadi caleg karena dalam hitungan bulan ia mesti menghimpun dana, relawan, dan kekuatan prima, demi meraih suara terbanyak dan tidak digerogoti oleh teman separtai atau petugas-petugas nakal. Ini pekerjaan super berat dan hanya manusia-manusia tangguh dan teruji yang bisa mengemban tugas itu.
Pada bagian ini, saya juga ingin bertanya juga, bagaimana kesiapan mereka setelah terpilih nanti? Bukankah di gedung mewah sana bukan sekadar datang dan duduk dengan jas mahal sambil bersenda-gurau? Tapi, bukankah ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan sebagai akuntabilitas politiknya?
Lantas, kalau selama bulan-bulan ini masih sibuk berjibaku dengan persoalan-persoalan dana, relawan, dan kekuatan prima demi meraih suara terbanyak, bagaimana persiapan kelimuan dan mental untuk berada di sana? Dan bagaimana kesiapan menghadapi panggung depan dan panggung belakang di gedung mewah itu?
Bagi saya, menjadi caleg itu tidak mudah. Tapi menjadi legislator itu justru yang benar-benar tidak mudah. Karena itu, bagi caleg yang benar-benar ingin menyemarakkan pesta demokrasi kali ini dengan akuntabilitas politik seideal-idealnya, maka pikirkanlah dua kondisi tadi: sebelum pemilihan dan sesudah terpilih.
Khusus untuk situasi sebelum pemilihan, maka kini saatnya para caleg itu juga mengajak masyarakat untuk mendapatkan pemimpin berkualitas di negeri karena pilihan hatinya, dan bukan karena serangan fajar dan money politic. Percayalah, serangan fajar dan money politic telah menjerat banyak legislator itu ke arah lembah korupsi.[RATNA S HALIM]
“Caleg, ya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan dari para petugas di kantor kepolisian, rumah sakit, rumah sakit jiwa, kelurahan, hingga Pak RT. Yang ditanya pun akan menghamburkan beragam ekspresi: ada yang senyum-senyum sumringah karena merasa mendapatkan perhatian, ada yang langsung pasang tampang wibawa karena merasa harus memulai pencitraan, ada yang pura-pura tidak peduli karena langsung curiga bakal ‘dikerjai' uangnya, dan sebagainya.
Yang pasti, berbagai wajah dengan berbagai ekspresi itu bertebaran dan akan gampang ditemui di tempat itu. Dan bagi saya, situasi itu memberikan hiburan tersendiri yang jauh lebih menarik dibandingkan kompetisi ajang bakat semacam X Factor Indonesia di RCTI. Lebih tepatnya, hiburan yang satire.
Mereka, para calon legislator itu, datang dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Perbedaan-perbedaan di antara mereka bisa dibuktikan melalui pakaian, bahasa tubuh, cara bertutur, dan isi tuturannya.
Dari sisi pakaian: ada yang berupaya tampil necis dengan jas dan dasi, ada yang berupaya tampil ala kadarnya dengan batik dan kemeja, ada yang mengenakan sepatu bermerk tapi tidak memakai kaos kaki, ada juga yang mengapit tas KW bagi caleg perempuan dengan busana muslimah yang dipaksa ngetrend. Pokoknya, Anda bisa senyum-senyum sendiri bila berkesempatan menyaksikan pemandangan-pemandangan itu.
Dari segi isi tuturan, ini makin menarik dicermati. Ada yang mengeraskan suaranya dan berupaya sewibawa mungkin, ada yang terasa begitu lugu dengan logat daerah yang kental, ada juga yang temperamen dan langsung kumat darah tingginya ketika merasa tidak mendapatkan pelayanan maksimal, atau ada juga yang rajin mengumbar senyum dan tebar pesona ke sekelilingnya.
Di sisi lain, para petugas juga ternyata cukup ‘terampil' dalam memanfaatkan situasi. Dengan gaya bermuka-mukanya, mereka tidak segan-segan langsung memuji-muji dan mencoba menarik perhatian sang caleg. Bagi caleg yang dirasa memiliki ketidaklengkapan data atau surat pengantar, mereka tak segan-segan mengajaknya bicara lebih dekat seraya menawarkan jasa. Buntut-buntutnya, sang caleg mesti merogoh kantongnya.
Maka, di tengah pengurusan surat-surat dari kepolisian, serta surat kesehatan jasmani dan surat kesehatan rohani dari rumah sakit, dengan antrean panjang dan ujian kesabaran yang melelahkan, para caleg itu sesungguhnya tengah dihadapkan pada kegairahan menyambut pesta demokrasi. Kegairahan yang bukan main-main. Karena, di luar kesibukan mengurusi persoalan administrasi, ia juga mesti menyiapkan para relawan atau tim sukses, serta menyusun strategi-strategi politik.
Berat?
Tidak juga. Kenyataannya, para caleg begitu bahagia dan sangat menikmati suasana baru itu. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak malu-malu untuk mengalkukasi biaya operasional sejak pendaftaran hingga hari H nanti. Entah untuk biaya operasional tim relawan, manajemen saksi, manajemen TPS, atau pos-pos lain.
Bagi yang sadar, maka akan terasa, betapa biaya operasional itu sangat tidak sebanding dengan sisi materi yang bakal didapat nanti. Ini diasumsikan, caleg itu sekadar berharap mendapat materi dari gaji. Lantas ia juga mesti memenuhi kewajiban memberikan upeti kepada partai dan konstituen yang terus merongrong. Lantas?
Saya sangat tahu bahwa tidak ringan menjadi caleg karena dalam hitungan bulan ia mesti menghimpun dana, relawan, dan kekuatan prima, demi meraih suara terbanyak dan tidak digerogoti oleh teman separtai atau petugas-petugas nakal. Ini pekerjaan super berat dan hanya manusia-manusia tangguh dan teruji yang bisa mengemban tugas itu.
Pada bagian ini, saya juga ingin bertanya juga, bagaimana kesiapan mereka setelah terpilih nanti? Bukankah di gedung mewah sana bukan sekadar datang dan duduk dengan jas mahal sambil bersenda-gurau? Tapi, bukankah ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan sebagai akuntabilitas politiknya?
Lantas, kalau selama bulan-bulan ini masih sibuk berjibaku dengan persoalan-persoalan dana, relawan, dan kekuatan prima demi meraih suara terbanyak, bagaimana persiapan kelimuan dan mental untuk berada di sana? Dan bagaimana kesiapan menghadapi panggung depan dan panggung belakang di gedung mewah itu?
Bagi saya, menjadi caleg itu tidak mudah. Tapi menjadi legislator itu justru yang benar-benar tidak mudah. Karena itu, bagi caleg yang benar-benar ingin menyemarakkan pesta demokrasi kali ini dengan akuntabilitas politik seideal-idealnya, maka pikirkanlah dua kondisi tadi: sebelum pemilihan dan sesudah terpilih.
Khusus untuk situasi sebelum pemilihan, maka kini saatnya para caleg itu juga mengajak masyarakat untuk mendapatkan pemimpin berkualitas di negeri karena pilihan hatinya, dan bukan karena serangan fajar dan money politic. Percayalah, serangan fajar dan money politic telah menjerat banyak legislator itu ke arah lembah korupsi.[RATNA S HALIM]