Ki Slamet Gundono adalah dalang ternama dari Tegal, yang mempopulerkan Wayang Suket—wayang yang terbuat dari rumput. Dalam bahasa Jawa, suket berarti “rumput”. Dan, dengan kreativitasnya, Ki Dalang bertubuh tambun itu memadukan keterampilan mendalang, berteater, dan bermusik, sambil memainkan lakon-lakon pewayangan klasik yang diaktualkan dengan peristiwa nyata. Di tangannya, suket menjelma menjadi wayang-wayang yang memiliki “otak” dan “hati”.
Dalam satu kesempatan di depan “publik”nya di Solo, Ki Dalang mempertontonkan pertarungan dua murid Pandita Durna, Raden Arjuna dan Bambang Ekalaya. Bila Arjuna murid resmi yang setiap hari isi absen, duduk, memperoleh penjelasan, dan rapor, maka sebaliknya dengan Bambang Ekalaya. Sebenarnya, Durna adalah guru imajinernya.
Durna dijadikan guru lantaran nafsu nan tak terkendali Bambang Ekalaya yang benar-benar ingin dijadikan murid. Padahal, ia dan Durna tidak pernah bertemu dan berurusan. Proses belajar, sepenuhnya di dalam bayangan. Tapi, ketekunan Bambang Ekalaya membuatnya cerdas laksana anak-anak Laskar Pelangi. Ia belajar apa pun, seperti Arjuna belajar kepada Durna, benar-benar secara otodidak. Sehingga, pada waktunya, ia merasa percaya diri untuk “bertarung” keilmuan dengan “kakak seperguruannya” itu.
Akhirnya, Durna jadi repot. Karena, demi memenuhi nafsu muridnya yang ingin dibilang pintar, cerdas, dan mumpuni di segala hal, ia harus menyiapkan soal-soal ujian dan bentuk penilaian. Maunya Durna, ya berkelahi saja Arjuna dan Bambang Ekalaya seperti raja-raja tempo dulu. Namun, karena zaman menuntut kejujuran, transparansi, dan demokrasi, maka formula pertarungan pun diubah. Supaya tidak terlalu pusing, maka ia mengadu kedua dalam ruangan khusus, dengan penonton khusus, diliput media massa nasional, plus konsumsi dan ongkos penonton yang memadai. Mereka tak ubahnya Obama dan Romney dalam acara Debat Presiden.
Keduanya ditempatkan di dua mimbar, saling berhadapan, dan bisa menyapa penonton. Sedangkan, Durna sebagai host merangkap juri berada di bawah panggung, dengan tubuh menancap pada batang pisang. Seperti biasa, Ki Slamet Gundono duduk bersila di tengah podium sambil merogoh “jeroan” kedua wayang suket itu. “Pertanyaan pertama, silahkan Ananda jelaskan makna demokrasi yang sejelas-jelasnya,” kata Durna.
Raden Arjuna langsung menarik mikrofon dengan penuh kesombongan. Ia tak hiraukan Bambang Ekalaya yang masih komat-kamit membaca doa. Seakan, ia sengaja melepas Arjuna untuk bicara terlebih dahulu. “Demokrasi adalah permainan kekuasaan: untuk merebut, mempertahankan, dan menjaganya mati-matian agar kekuasaan itu langgeng sepanjang masa. Sistem itu menuntut kecerdasan para pelaku dan rakyatnya. Dan, hasilnya seperti terlihat di negara-negara maju. Para pemimpin yang dipilih rakyat terlihat cerdas, berwibawa, berwawasan luas. Ya, seperti di Amerika Serikat itu. Dan, hanya ksatria dengan wawasan sekelas Obama atau Romney yang bisa tampil ke permukaan,” kata Arjuna seraya melirik tajam ke arah lawannya.
Penonton bertepuk tangan. Durna ikut tertawa terkekeh-kekeh. Bangga dan haru menjadi satu. Tidak sia-sia menempa sang ksatria Pandawa itu siang dan malam karena hasilnya sekarang sudah terlihat. Sementara Bambang Ekalaya tertunduk agak malu. Penonton melihatnya “mati angin”.
“Apa yang dikatakan Kakanda Arjuna memang tepat. Karena definisi itu, orang-orang jadi mati-matian mempelajari ilmu merebut kekuasaan. Orang-orang jadi bersemangat belajar ilmu mempertahankan kekuasaan. Sehingga, orang-orang lupa tujuan berkuasa itu sendiri: menyejahterakan rakyat atau membangun terus tiang-tiang kekuasaannya? Orang jadi lupa, melaksanakan amanah atau mengkhianati amanah?
Amerika Serikat memang contoh paling bagus. Orang-orang ramai nonton Debat Presiden Obama dan Romney. Rating dan share televisi di negara itu melonjak karena tayangan itu. Pameran kecerdasan dan kharisma memang tengah digelar. Tapi, pernahkah terpikir, bila ada sebagian penonton lain tengah menghitung-hitung risiko: berapa banyak lagi kilang minyak negara-negara Timur Tengah yang bakal dirampok, siapa lagi tokoh-tokoh Islam yang bakal dicap teroris, negara mana yang bakal digoyang politik dan ekonominya, dan citra apalagi yang terus dijual pemimpin Negara Adidaya itu? Debat Presiden kan etalse penjualan citra yang sekarang ditiru banyak pemimpin negara berkembang. Padahal, setelah terpilih, ah bohong semua. Tidak ada janji yang menjadi bukti. Tidak ada tawaran yang menjadi nyata….”
“Cukup!” Tiba-tiba Durna memotong penjelasan Bambang Ekalaya. Ia khawatir penjelasan itu justru akan memperlihatkan “citra” baru murid imajinernya itu. Tapi, penonton yang kadung suka, tepuk tangan tanpa diminta. Sebagian lagi melakukan standing ovation.
“Kalau Adinda menyangka sistem yang diperlihat Negara Adidaya itu buruk, apa kita harus berkiblat ke Yogya? Apa perlu kira seperti rakyat Yogya yang tidak percaya diri hingga harus menggelar sidang rakyat, hanya untuk memastikan bahwa Sultannya bisa menjadi gubernur seumur hidup? Apa itu bukan pembodohan?! Sultan yang kharismatik, punya segudang ilmu spiritual, dan memiliki segala kekuatan yang tidak dimiliki manusia biasa, kok bisa-bisanya takut kehilangan pengaruh? Apa itu bukan gambaran kemerosotan nilai-nilai monarki? Dan, kalangan itu takut dilindas roda demokrasi?” Arjuna makin sombong.
“Kakanda juga betul. Zaman memang membuat rakyat jadi terbiasa dijejali janji manis pilkada dan pemilu, biasa disogoki uang serangan fajar, dan diiming-imingi sebungkus sebangko dan tetek-bengek lainnya, sehingga mereka lupa soal memilih pemimpin yang arif. Demokrasi atau reformasi hanya membuat semua orang berkesempatan membangun citra dan menjualnya dengan suka cita. Sehingga, Sultan yang pendiam dan selalu menjaga wibawa, lama-lama jadi khawatir juga, dengan popularitas Tukul Arwana, Iwan Fals, atau Mbak Oneng…”
“Cukup!!” Suara Durna menggelagar memotong penjelasan Bambang Ekalaya. Penonton yang semula menahan nafas, akhirnya berteriak-teriak sambil melemparkan botol air mineral. Arjuna tak kalah sewotnya. Ia langsung mencabut keris dan memburu Bambang Ekalaya. Yang diburu, kabur! Cari selamat. Penonton justru berteriak-teriak kegirangan.
Bambang Ekalaya berlari. Kadang ia bersembungi di balik ketiak Ki Slamet Gundono. Kadang, ia menyelusup ke balik celana gombrang Ki Dalang. Kadang, ia terus masuk ke bagian terlarang sang Pengatur Cerita. Tapi, Arjuna terus saja memburu. Akhirnya, Durna terbengong-bengong. Penonton tenganga. Dan, Ki Slamet Gundono naik pitam. Kedua wayang suket itu diraihnya, lalu ditancapkan di atas batang pisang, dijajarkan dengan Durna. Arah ketiga wayang itu menghadap sang Dalang. Kali ini, ganti Ki Slamet Gundono emosi dan memarahi ketiganya.
“Kalian ini bagaimana, disuruh adu kecerdasan, kok malah berkelahi! Disuruh adu kepintaran, kok malah mencaci! Kamu juga, Durna, jabatanmu saja pandita, tapi ketidakjujuran dan ketidakadilanmu laksana preman! Menyesal aku menampilkan kalian di panggung ini! Menyesal tenan! Gusti, opo salahku?!
Yang namanya demokrasi atau monarki atau sistem apa pun namanya, tetap saja menghadirkan risiko dan akibat-akibat. Semuanya, karena ‘pemain-pemain’nya lupa dengan kendali diri dan Yang Memainkan diri ini. Kalau saja sampean-sampean ini tahu siapa yang menggerakkan tubuh rapuh sampean, maka tidak ada cakar-cakaran, tidak hujat-hujatan, dan tidak peduli dengan sistem. Cape aku! Wis, bubar, bubar, bubar…!”
“Huuu..,” penonton berteriak-teriak. Arena adu kecerdasan berubah laksana stadion sepak bola.
“Kok, sampeyan jadi seperti Tuhan!” protes Bambang Ekalaya tiba-tiba.
Dasar murid tanpa guru memang jadinya sangat bandel. Melebihi kenakalan murid yang punya guru. Kendali cangkemnya itu lho, yang sudah bablas. Penonton kembali menemukan gairah.
“Di panggung ini, aku tuhan. Jadi, ndak ada yang bisa melawan kekuasaanku. Nah ini, asal sampeyan-sampeyan tahu, puncak dari kekuasaan itu tak lebih dari kekayaan, kekuasaan, dan kemashuran. Aku berkuasa atas kalian, meski aku ndak kaya dan termashur,” Ki Slamet Gundono terus nyerocos.
Buih keluar dari mulutnya tanpa terkendali. Ia jadi lupa, lakon adu kecerdasan Arjuna versus Bambang Ekalaya adalah untuk memaparkan makna “tahu diri”. Karena, setiap manusia memiliki kodratnya masing-masing. Jadi, masing-masing sudah mendapat jatah posisi dan jabatan tertentu. Karena, Gusti Allah sudah mengatur dan mengundang-undangkannya di Lauh Mahfudz.
Ki Slamet Gundono melemparkan semua wayang-wayang suket itu ke dalam kotak. Persis seperti Izroil mencabuti nyawa manusia-manusia. Ah, Ki Dalang sudah lupa daratan! Lupa mengontrol emosinya. Bahkan, tiba-tiba ia mengaku sebagai tuhan. Dia lupa, padahal ada tuhan lain yang tengah mengaturnya. Buktiknya, pakem yang sudah disusunnya rapih bisa saya rombak sekehendak hati—dengan kapasitas sebagai sutradara film dokumenter, tentunya.
Mohon maaf, bila tiba-tiba, sekarang saya pun jadi begitu perkasa hingga juga menjadi pengatur cerita, sekaligus menentukan premis, drama, dan klimaks. Padahal, maunya saya, ya sekadar merekam saja apa yang terjadi di panggung. Lalu, menjelaskan gambar-gambar yang didapat. Ya, seperti konsep membuat news feature. Tapi, ini kan film dokumenter! Ya, harus beda.
Karena itu, di luar informasi, estetika, dan drama, maka pesan moral laksana ustadz pun sah-sah saja disisipkan dalam film dokumenter ini. Toh, saya pemilik konsep penceritaan. Tujuan utamanya, saya pun bisa menjejalkan “jeritan batin” yang sering dijadikan doa. Isinya sederhana saja: semoga Tukul Arawana istiqomah menjadi host acara Bukan Empat Mata, Iwan Fals konsisten dengan lagu-lagu kritik sosialnya, Oneng juga tetap setia dengan Bang Bajuri-nya, Andrea Hirata terus saja menulis novel-novel inspiratif, dan saya pun tetap saja berdoa untuk mereka.
Maksudnya, agar mereka tak pernah terpikir, apalagi latah, untuk tiba-tiba menjadi calon-calon pemimpin di negara tercinta ini, dalam porsi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, termasuk Ketua RT. Karena, Gusti Allah memang telah menyediakan space sendiri untuk para pemimpin yang dilahirkan sebagai pemimpin.[]
* Tulisan ini didedikasikan kepada sahabat saya, Ki Slamet Gundono.
Dalam satu kesempatan di depan “publik”nya di Solo, Ki Dalang mempertontonkan pertarungan dua murid Pandita Durna, Raden Arjuna dan Bambang Ekalaya. Bila Arjuna murid resmi yang setiap hari isi absen, duduk, memperoleh penjelasan, dan rapor, maka sebaliknya dengan Bambang Ekalaya. Sebenarnya, Durna adalah guru imajinernya.
Durna dijadikan guru lantaran nafsu nan tak terkendali Bambang Ekalaya yang benar-benar ingin dijadikan murid. Padahal, ia dan Durna tidak pernah bertemu dan berurusan. Proses belajar, sepenuhnya di dalam bayangan. Tapi, ketekunan Bambang Ekalaya membuatnya cerdas laksana anak-anak Laskar Pelangi. Ia belajar apa pun, seperti Arjuna belajar kepada Durna, benar-benar secara otodidak. Sehingga, pada waktunya, ia merasa percaya diri untuk “bertarung” keilmuan dengan “kakak seperguruannya” itu.
Akhirnya, Durna jadi repot. Karena, demi memenuhi nafsu muridnya yang ingin dibilang pintar, cerdas, dan mumpuni di segala hal, ia harus menyiapkan soal-soal ujian dan bentuk penilaian. Maunya Durna, ya berkelahi saja Arjuna dan Bambang Ekalaya seperti raja-raja tempo dulu. Namun, karena zaman menuntut kejujuran, transparansi, dan demokrasi, maka formula pertarungan pun diubah. Supaya tidak terlalu pusing, maka ia mengadu kedua dalam ruangan khusus, dengan penonton khusus, diliput media massa nasional, plus konsumsi dan ongkos penonton yang memadai. Mereka tak ubahnya Obama dan Romney dalam acara Debat Presiden.
Keduanya ditempatkan di dua mimbar, saling berhadapan, dan bisa menyapa penonton. Sedangkan, Durna sebagai host merangkap juri berada di bawah panggung, dengan tubuh menancap pada batang pisang. Seperti biasa, Ki Slamet Gundono duduk bersila di tengah podium sambil merogoh “jeroan” kedua wayang suket itu. “Pertanyaan pertama, silahkan Ananda jelaskan makna demokrasi yang sejelas-jelasnya,” kata Durna.
Raden Arjuna langsung menarik mikrofon dengan penuh kesombongan. Ia tak hiraukan Bambang Ekalaya yang masih komat-kamit membaca doa. Seakan, ia sengaja melepas Arjuna untuk bicara terlebih dahulu. “Demokrasi adalah permainan kekuasaan: untuk merebut, mempertahankan, dan menjaganya mati-matian agar kekuasaan itu langgeng sepanjang masa. Sistem itu menuntut kecerdasan para pelaku dan rakyatnya. Dan, hasilnya seperti terlihat di negara-negara maju. Para pemimpin yang dipilih rakyat terlihat cerdas, berwibawa, berwawasan luas. Ya, seperti di Amerika Serikat itu. Dan, hanya ksatria dengan wawasan sekelas Obama atau Romney yang bisa tampil ke permukaan,” kata Arjuna seraya melirik tajam ke arah lawannya.
Penonton bertepuk tangan. Durna ikut tertawa terkekeh-kekeh. Bangga dan haru menjadi satu. Tidak sia-sia menempa sang ksatria Pandawa itu siang dan malam karena hasilnya sekarang sudah terlihat. Sementara Bambang Ekalaya tertunduk agak malu. Penonton melihatnya “mati angin”.
“Apa yang dikatakan Kakanda Arjuna memang tepat. Karena definisi itu, orang-orang jadi mati-matian mempelajari ilmu merebut kekuasaan. Orang-orang jadi bersemangat belajar ilmu mempertahankan kekuasaan. Sehingga, orang-orang lupa tujuan berkuasa itu sendiri: menyejahterakan rakyat atau membangun terus tiang-tiang kekuasaannya? Orang jadi lupa, melaksanakan amanah atau mengkhianati amanah?
Amerika Serikat memang contoh paling bagus. Orang-orang ramai nonton Debat Presiden Obama dan Romney. Rating dan share televisi di negara itu melonjak karena tayangan itu. Pameran kecerdasan dan kharisma memang tengah digelar. Tapi, pernahkah terpikir, bila ada sebagian penonton lain tengah menghitung-hitung risiko: berapa banyak lagi kilang minyak negara-negara Timur Tengah yang bakal dirampok, siapa lagi tokoh-tokoh Islam yang bakal dicap teroris, negara mana yang bakal digoyang politik dan ekonominya, dan citra apalagi yang terus dijual pemimpin Negara Adidaya itu? Debat Presiden kan etalse penjualan citra yang sekarang ditiru banyak pemimpin negara berkembang. Padahal, setelah terpilih, ah bohong semua. Tidak ada janji yang menjadi bukti. Tidak ada tawaran yang menjadi nyata….”
“Cukup!” Tiba-tiba Durna memotong penjelasan Bambang Ekalaya. Ia khawatir penjelasan itu justru akan memperlihatkan “citra” baru murid imajinernya itu. Tapi, penonton yang kadung suka, tepuk tangan tanpa diminta. Sebagian lagi melakukan standing ovation.
“Kalau Adinda menyangka sistem yang diperlihat Negara Adidaya itu buruk, apa kita harus berkiblat ke Yogya? Apa perlu kira seperti rakyat Yogya yang tidak percaya diri hingga harus menggelar sidang rakyat, hanya untuk memastikan bahwa Sultannya bisa menjadi gubernur seumur hidup? Apa itu bukan pembodohan?! Sultan yang kharismatik, punya segudang ilmu spiritual, dan memiliki segala kekuatan yang tidak dimiliki manusia biasa, kok bisa-bisanya takut kehilangan pengaruh? Apa itu bukan gambaran kemerosotan nilai-nilai monarki? Dan, kalangan itu takut dilindas roda demokrasi?” Arjuna makin sombong.
“Kakanda juga betul. Zaman memang membuat rakyat jadi terbiasa dijejali janji manis pilkada dan pemilu, biasa disogoki uang serangan fajar, dan diiming-imingi sebungkus sebangko dan tetek-bengek lainnya, sehingga mereka lupa soal memilih pemimpin yang arif. Demokrasi atau reformasi hanya membuat semua orang berkesempatan membangun citra dan menjualnya dengan suka cita. Sehingga, Sultan yang pendiam dan selalu menjaga wibawa, lama-lama jadi khawatir juga, dengan popularitas Tukul Arwana, Iwan Fals, atau Mbak Oneng…”
“Cukup!!” Suara Durna menggelagar memotong penjelasan Bambang Ekalaya. Penonton yang semula menahan nafas, akhirnya berteriak-teriak sambil melemparkan botol air mineral. Arjuna tak kalah sewotnya. Ia langsung mencabut keris dan memburu Bambang Ekalaya. Yang diburu, kabur! Cari selamat. Penonton justru berteriak-teriak kegirangan.
Bambang Ekalaya berlari. Kadang ia bersembungi di balik ketiak Ki Slamet Gundono. Kadang, ia menyelusup ke balik celana gombrang Ki Dalang. Kadang, ia terus masuk ke bagian terlarang sang Pengatur Cerita. Tapi, Arjuna terus saja memburu. Akhirnya, Durna terbengong-bengong. Penonton tenganga. Dan, Ki Slamet Gundono naik pitam. Kedua wayang suket itu diraihnya, lalu ditancapkan di atas batang pisang, dijajarkan dengan Durna. Arah ketiga wayang itu menghadap sang Dalang. Kali ini, ganti Ki Slamet Gundono emosi dan memarahi ketiganya.
“Kalian ini bagaimana, disuruh adu kecerdasan, kok malah berkelahi! Disuruh adu kepintaran, kok malah mencaci! Kamu juga, Durna, jabatanmu saja pandita, tapi ketidakjujuran dan ketidakadilanmu laksana preman! Menyesal aku menampilkan kalian di panggung ini! Menyesal tenan! Gusti, opo salahku?!
Yang namanya demokrasi atau monarki atau sistem apa pun namanya, tetap saja menghadirkan risiko dan akibat-akibat. Semuanya, karena ‘pemain-pemain’nya lupa dengan kendali diri dan Yang Memainkan diri ini. Kalau saja sampean-sampean ini tahu siapa yang menggerakkan tubuh rapuh sampean, maka tidak ada cakar-cakaran, tidak hujat-hujatan, dan tidak peduli dengan sistem. Cape aku! Wis, bubar, bubar, bubar…!”
“Huuu..,” penonton berteriak-teriak. Arena adu kecerdasan berubah laksana stadion sepak bola.
“Kok, sampeyan jadi seperti Tuhan!” protes Bambang Ekalaya tiba-tiba.
Dasar murid tanpa guru memang jadinya sangat bandel. Melebihi kenakalan murid yang punya guru. Kendali cangkemnya itu lho, yang sudah bablas. Penonton kembali menemukan gairah.
“Di panggung ini, aku tuhan. Jadi, ndak ada yang bisa melawan kekuasaanku. Nah ini, asal sampeyan-sampeyan tahu, puncak dari kekuasaan itu tak lebih dari kekayaan, kekuasaan, dan kemashuran. Aku berkuasa atas kalian, meski aku ndak kaya dan termashur,” Ki Slamet Gundono terus nyerocos.
Buih keluar dari mulutnya tanpa terkendali. Ia jadi lupa, lakon adu kecerdasan Arjuna versus Bambang Ekalaya adalah untuk memaparkan makna “tahu diri”. Karena, setiap manusia memiliki kodratnya masing-masing. Jadi, masing-masing sudah mendapat jatah posisi dan jabatan tertentu. Karena, Gusti Allah sudah mengatur dan mengundang-undangkannya di Lauh Mahfudz.
Ki Slamet Gundono melemparkan semua wayang-wayang suket itu ke dalam kotak. Persis seperti Izroil mencabuti nyawa manusia-manusia. Ah, Ki Dalang sudah lupa daratan! Lupa mengontrol emosinya. Bahkan, tiba-tiba ia mengaku sebagai tuhan. Dia lupa, padahal ada tuhan lain yang tengah mengaturnya. Buktiknya, pakem yang sudah disusunnya rapih bisa saya rombak sekehendak hati—dengan kapasitas sebagai sutradara film dokumenter, tentunya.
Mohon maaf, bila tiba-tiba, sekarang saya pun jadi begitu perkasa hingga juga menjadi pengatur cerita, sekaligus menentukan premis, drama, dan klimaks. Padahal, maunya saya, ya sekadar merekam saja apa yang terjadi di panggung. Lalu, menjelaskan gambar-gambar yang didapat. Ya, seperti konsep membuat news feature. Tapi, ini kan film dokumenter! Ya, harus beda.
Karena itu, di luar informasi, estetika, dan drama, maka pesan moral laksana ustadz pun sah-sah saja disisipkan dalam film dokumenter ini. Toh, saya pemilik konsep penceritaan. Tujuan utamanya, saya pun bisa menjejalkan “jeritan batin” yang sering dijadikan doa. Isinya sederhana saja: semoga Tukul Arawana istiqomah menjadi host acara Bukan Empat Mata, Iwan Fals konsisten dengan lagu-lagu kritik sosialnya, Oneng juga tetap setia dengan Bang Bajuri-nya, Andrea Hirata terus saja menulis novel-novel inspiratif, dan saya pun tetap saja berdoa untuk mereka.
Maksudnya, agar mereka tak pernah terpikir, apalagi latah, untuk tiba-tiba menjadi calon-calon pemimpin di negara tercinta ini, dalam porsi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, termasuk Ketua RT. Karena, Gusti Allah memang telah menyediakan space sendiri untuk para pemimpin yang dilahirkan sebagai pemimpin.[]
* Tulisan ini didedikasikan kepada sahabat saya, Ki Slamet Gundono.