Hakikat berita media cetak dan media televisi sebenarnya tidak jauh berbeda. Batasan atau definisi berita, tanpa melihat medianya, tetap sama. Yang membedakannya hanyalah teknik pelaporan karena terkait keunikan masing-masing media. Sebuah berita dengan fakta peristiwa dan pendapat yang sama akan berbeda ketika ditampilkan untuk media cetak, media online, media radio, atau media televisi.
Media cetak dan online menampilkan fakta dengan kekuatan utama pada bahasa tulisan. Media cetak disiapkan untuk segmen pembaca yang selektif, kritis, dan terburu-buru. Karena itu berita ditulis dengan struktur baku piramida terbalik dan penekanan unsur-unsur 5W + H secara sistematik dan disiplin. Kalau perlu pembaca bisa langsung memahami inti berita dengan sekadar membaca judul berita.
Media online disajikan untuk segmen pembaca yang selektif, aktif berselancar, dan malas untuk berlama-lama menikmati sebuah berita. Karena itu, berita ditulis dalam bahasa lugas, ringkas, sederhana, tidak bertele-tele, dan sesingkat mungkin. Foto atau video merupakan faktor pendukung untuk mengikat pembaca—atas nama prinsif multimedialitas.
Berita dalam media radio dirancang untuk para pendengar yang cenderung selektif, terfokus pada kegiatan lain—mendengar radio sekadar sambilan—dan tergolong terburu-buru. Karena itu, berita disusun dalam bahasa tutur yang ringkas, sederhana, tidak bertele-tele, dan mudah dipahami.
Sedangkan berita televisi memadukan kekuatan suara dan gambar dalam menghidangkan berita. “The major difference between radio and TV news is, of course, pictures. When you write for television, pictures are always crucial to a story. In radio, you must create pictures in your mind—as did Edward R. Murrow and other great broadcasters who used the medium effectively—and then find the words to paint those pictures for your audience. In television, you can show the actual pictures,” tulis Ted White dalam Broadcast News Writing, Reporting, and Producing (1996).
Dalam bahasa lain, perbedaan utama antara berita radio dan televisi adalah gambar. Gambar menjadi elemen krusial untuk membuat berita televisi. Di radio, Anda bisa mengkreasikan gambar di otak—seperti dikatakan Edward R. Murrow dan broadcaster lain yang menggunakan medium itu secara efektif—dan mencari kata-kata untuk melukiskan gambar-gambar kepada pemirsa.
White menegaskan pemahaman bahwa televisi identik dengan gambar. Tanpa gambar tidak ada berita. Karena itu, gambar sangat krusial. Berdasarkan gambar, jurnalis televisi menuliskan naskah berita. Dengan demikian, pembahasan tentang berita televisi utamanya menyangkut pelaporan konstruksi realitas yang diperdengarkan melalui suara dan diperlihatkan melalui gambar.
Lebih daripada media cetak atau online, media televisi lebih kental dengan “tradisi” mengonstruksi realitas—dalam bahasa Norman Fairclough (1995) dikatakan, “Gambar atau suara sebagai rekaman atas realitas harus dikontruksi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikan realitas baru melalui rekaman suara dan gambar. Atau dalam bahasa teknik: spoken dan visual.”
“Poor pictures, short stories; good pictures, long stories!” tegas White (1996).
Begitu pentingnya unsur gambar, sehingga ia berpengaruh pada panjang dan pendeknya pelaporan atas suatu realitas. Sehingga juga, televisi sangat tidak mentolerir kehadiran realitas yang tidak disertai gambar. Sekali lagi: tanpa gambar, maka tidak ada berita.
“Ketersediaan gambar videotape dan kualitasnya menentukan apakah item tertentu muncul dalam berita ataukah tidak. Kekuatan gambar menjadi nilai berita dan terkait dengan bentuk atau penyikapan. Gambar mengautentikkan suatu item berita ditinjau dari segi penghadiran tempat dan reporter kepada peristiwa dan menjadikannya nyata,” jelas Graeme Burton (2007).
Berita televisi tidak juga terlepas dari upaya dramatisasi. Burton memaparkan, “Sebagaimana halnya fiksi, berita bisa melakukan dramatisasi melalui penempatan gambar yang disengaja dengan dampak emosional ada poin tertentu dalam narasi.”
Kata kunci pernyataan itu adalah “penempatan”. Peletakan sequence gambar tidak lagi didasarkan struktur piramida terbalik ala produksi berita media cetak, tapi gambar-gambar itu diurutkan menurut nilai drama. Misalnya saja dalam pelaporan berita sidang janda pahlawan terkait penempatan rumah milik Perum Pegadaian yang dimulai dengan tangisan sang janda usai mendengar vonis. Setelah itu, berita berlanjut pada aksi massa di ruang sidang yang mendukungnya. Lantas berita ditutup dengan berbalik ke suasana sidang saat majelis hukum membacakan vonisnya.
Cara bercerita seperti itu memperlihatkan drama demi drama dan membiarkan esensi sidang itu tertutupi drama—lepas dari tujuan framing tertentu dan kesengajaan menghilangkan keberadaan konteks. Namun, teknik itu sepenuhnya bertujuan mengutamakan drama ketimbang informasi.
“Jika kita berbicara tentang dramatisasi, kita mengemukakan suatu daya tarik yang disengaja kepada pemirsa dan pilihan terhadap laporan materi berita yang menyimpang dari kemungkinan laporan yang lebih objektif. Pengaitan berita dengan fiksi meruntuhkan perbedaan dominan antara fakta dan fiksi dalam programming televisi,” tegas Burton. “Dramatisasi juga merupakan segi narasi. Sebagaimana halnya fiksi, berita bisa melakukan dramatisasi melalui penempatan gambar yang disengaja dengan dampak emosional pada poin tertentu dalam narasi.”
Burton juga menegaskan konsep narasi bahwa isi kunci di sini adalah bagaimana narasi membentuk makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi) memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan konflik antara ide-ide yang berbeda. Artinya, keberadaan konflik itu sesungguhnya hanya ada di wilayah narasi yang mempertarungkan perbedaan ide-ide. Dan pertarungan itu adalah kontruksi yang dibangun jurnalis televisi. Sekali lagi, lepas dari persoalan tujuan framing tertentu dan kesengajaan menghilangkan keberadaan konteks, sekaligus menjadikan berita itu bias.
Dalam situasi seperti itu, mestikah kita berharap objektivitas bakal dihadirkan dari sebuah berita televisi? Butuh jawaban panjang untuk mengurut benang kusut terkait objektivitas di media televisi.
Namun, terkait fenomena pemberitaan dari media televisi yang belakangan ini kian jauh dari impian objektif, maka saya merasa perlu menghadirkan pernyataan ilmuwan Mazhab Frankfrut Theodore Adorno tentang industri media. Katanya, kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumanisasi lewat kebudayaan. "Rasionalisasi dan komodifikasi kebudayaan sebagai satu manifestasi dari pencerahan palsu tidak saja menghambat aspirasi dan kreativitas individu, akan tetapi, lebih buruk lagi menghapus mimpi-mimpi manusia akan kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya," jelasnya (Piliang, 2010).[]
Media cetak dan online menampilkan fakta dengan kekuatan utama pada bahasa tulisan. Media cetak disiapkan untuk segmen pembaca yang selektif, kritis, dan terburu-buru. Karena itu berita ditulis dengan struktur baku piramida terbalik dan penekanan unsur-unsur 5W + H secara sistematik dan disiplin. Kalau perlu pembaca bisa langsung memahami inti berita dengan sekadar membaca judul berita.
Media online disajikan untuk segmen pembaca yang selektif, aktif berselancar, dan malas untuk berlama-lama menikmati sebuah berita. Karena itu, berita ditulis dalam bahasa lugas, ringkas, sederhana, tidak bertele-tele, dan sesingkat mungkin. Foto atau video merupakan faktor pendukung untuk mengikat pembaca—atas nama prinsif multimedialitas.
Berita dalam media radio dirancang untuk para pendengar yang cenderung selektif, terfokus pada kegiatan lain—mendengar radio sekadar sambilan—dan tergolong terburu-buru. Karena itu, berita disusun dalam bahasa tutur yang ringkas, sederhana, tidak bertele-tele, dan mudah dipahami.
Sedangkan berita televisi memadukan kekuatan suara dan gambar dalam menghidangkan berita. “The major difference between radio and TV news is, of course, pictures. When you write for television, pictures are always crucial to a story. In radio, you must create pictures in your mind—as did Edward R. Murrow and other great broadcasters who used the medium effectively—and then find the words to paint those pictures for your audience. In television, you can show the actual pictures,” tulis Ted White dalam Broadcast News Writing, Reporting, and Producing (1996).
Dalam bahasa lain, perbedaan utama antara berita radio dan televisi adalah gambar. Gambar menjadi elemen krusial untuk membuat berita televisi. Di radio, Anda bisa mengkreasikan gambar di otak—seperti dikatakan Edward R. Murrow dan broadcaster lain yang menggunakan medium itu secara efektif—dan mencari kata-kata untuk melukiskan gambar-gambar kepada pemirsa.
White menegaskan pemahaman bahwa televisi identik dengan gambar. Tanpa gambar tidak ada berita. Karena itu, gambar sangat krusial. Berdasarkan gambar, jurnalis televisi menuliskan naskah berita. Dengan demikian, pembahasan tentang berita televisi utamanya menyangkut pelaporan konstruksi realitas yang diperdengarkan melalui suara dan diperlihatkan melalui gambar.
Lebih daripada media cetak atau online, media televisi lebih kental dengan “tradisi” mengonstruksi realitas—dalam bahasa Norman Fairclough (1995) dikatakan, “Gambar atau suara sebagai rekaman atas realitas harus dikontruksi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikan realitas baru melalui rekaman suara dan gambar. Atau dalam bahasa teknik: spoken dan visual.”
“Poor pictures, short stories; good pictures, long stories!” tegas White (1996).
Begitu pentingnya unsur gambar, sehingga ia berpengaruh pada panjang dan pendeknya pelaporan atas suatu realitas. Sehingga juga, televisi sangat tidak mentolerir kehadiran realitas yang tidak disertai gambar. Sekali lagi: tanpa gambar, maka tidak ada berita.
“Ketersediaan gambar videotape dan kualitasnya menentukan apakah item tertentu muncul dalam berita ataukah tidak. Kekuatan gambar menjadi nilai berita dan terkait dengan bentuk atau penyikapan. Gambar mengautentikkan suatu item berita ditinjau dari segi penghadiran tempat dan reporter kepada peristiwa dan menjadikannya nyata,” jelas Graeme Burton (2007).
Berita televisi tidak juga terlepas dari upaya dramatisasi. Burton memaparkan, “Sebagaimana halnya fiksi, berita bisa melakukan dramatisasi melalui penempatan gambar yang disengaja dengan dampak emosional ada poin tertentu dalam narasi.”
Kata kunci pernyataan itu adalah “penempatan”. Peletakan sequence gambar tidak lagi didasarkan struktur piramida terbalik ala produksi berita media cetak, tapi gambar-gambar itu diurutkan menurut nilai drama. Misalnya saja dalam pelaporan berita sidang janda pahlawan terkait penempatan rumah milik Perum Pegadaian yang dimulai dengan tangisan sang janda usai mendengar vonis. Setelah itu, berita berlanjut pada aksi massa di ruang sidang yang mendukungnya. Lantas berita ditutup dengan berbalik ke suasana sidang saat majelis hukum membacakan vonisnya.
Cara bercerita seperti itu memperlihatkan drama demi drama dan membiarkan esensi sidang itu tertutupi drama—lepas dari tujuan framing tertentu dan kesengajaan menghilangkan keberadaan konteks. Namun, teknik itu sepenuhnya bertujuan mengutamakan drama ketimbang informasi.
“Jika kita berbicara tentang dramatisasi, kita mengemukakan suatu daya tarik yang disengaja kepada pemirsa dan pilihan terhadap laporan materi berita yang menyimpang dari kemungkinan laporan yang lebih objektif. Pengaitan berita dengan fiksi meruntuhkan perbedaan dominan antara fakta dan fiksi dalam programming televisi,” tegas Burton. “Dramatisasi juga merupakan segi narasi. Sebagaimana halnya fiksi, berita bisa melakukan dramatisasi melalui penempatan gambar yang disengaja dengan dampak emosional pada poin tertentu dalam narasi.”
Burton juga menegaskan konsep narasi bahwa isi kunci di sini adalah bagaimana narasi membentuk makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi) memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan konflik antara ide-ide yang berbeda. Artinya, keberadaan konflik itu sesungguhnya hanya ada di wilayah narasi yang mempertarungkan perbedaan ide-ide. Dan pertarungan itu adalah kontruksi yang dibangun jurnalis televisi. Sekali lagi, lepas dari persoalan tujuan framing tertentu dan kesengajaan menghilangkan keberadaan konteks, sekaligus menjadikan berita itu bias.
Dalam situasi seperti itu, mestikah kita berharap objektivitas bakal dihadirkan dari sebuah berita televisi? Butuh jawaban panjang untuk mengurut benang kusut terkait objektivitas di media televisi.
Namun, terkait fenomena pemberitaan dari media televisi yang belakangan ini kian jauh dari impian objektif, maka saya merasa perlu menghadirkan pernyataan ilmuwan Mazhab Frankfrut Theodore Adorno tentang industri media. Katanya, kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumanisasi lewat kebudayaan. "Rasionalisasi dan komodifikasi kebudayaan sebagai satu manifestasi dari pencerahan palsu tidak saja menghambat aspirasi dan kreativitas individu, akan tetapi, lebih buruk lagi menghapus mimpi-mimpi manusia akan kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya," jelasnya (Piliang, 2010).[]