Saya cukup tersentak ketika seorang teman menyodorkan kata kunci “outsourcing broadcaster” dalam sebuah diskusi tentang media beberapa waktu lalu. Bahkan, ia juga sedikit memprovokasi saya untuk menguraikan teori-teori yang bisa memperlihatkan persoalan outsourcing yang menjamur di berbagai media televisi secara ilmiah. Atau, katakanlah, pura-puranya ilmiah.
Merasa terdesak lantaran dalam hitungan menit mesti mendongeng sambil berargumen sebisa-bisanya, maka saya pun mesti mencomot materi tesis yang saya bukukan dalam Postkomodifikasi Media & Cultural Studies sebagai bahan contekan. Biar saja dibilang agak memaksa. Yang penting, saya bisa menyodorkan argumen “ilmiah” untuk menjawab tantangan itu.
Seperti diuraikan dalam tulisan terdahulu bahwa terkait persoalan komodifikasi, Vincent Mosco (2009) mencurigai adanya pengabaian aspek pekerja dalam proses produksi. Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia juga bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana [baca: Komodofikasi Anas Urbaningrum di Televisi].
Dalam proses komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan keahlian dipisahkan dari kemampuan melaksanakan pekerjaan. Komodifikasi terkonsentrasi pada kekuatan konseptual di kelas manajerial sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi menjadikan pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari keahlian dan kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi, pekerja diasumsikan layaknya penonton.
Situasi itu, jelas Karl Marx dalam Das Kapital (volume pertama, 1867), membangun keterasingan manusia sebagai manusia. “Status dirinya sebagai pekerja atas buruh pabrik mengakibatkan dampak budaya yang lebih parah: manusia sekadar menjadi buruh pabrik (proletar) yang tidak lagi semata-mata terasing dari dunia keberadaan dirinya sebagai manusia, melainkan sekadar menjadi alat produksi kapitalisme,” katanya.
Dalam konteks “outsourcing broadcaster”, maka saya berkeyakinan bahwa langkah outsourcing di lingkungan media televisi bukan sekadar persoalan ketenagakerjaan demi mendapatkan tenaga kerja dengan upah murah dan tanpa banyak tuntutan, tapi hal itu juga merupakan bagian dari strategi komodifikasi pekerja. Realitas yang saya himpun saat penelitian, kebijakan outsourcing bukan hanya terjadi pada kalangan staf pelaksana semacam office boy, pengemudi, atau petugas keamanan, tapi juga translater, kamerawan, petugas teknik, dan banyak bagian lagi.
Artinya, pihak media memang sedang sangat bersemangat untuk menerapkan kebijakan outsourcing di semua lini, termasuk kelompok pekerja yang selama ini ditamengi standar profesional dan hard skill tertentu. Dalam situasi yang lebih “bersahabat”, suasana outsourcing itu juga bisa dimodifikasi dalam bentuk pekerja kontrak untuk jangka waktu yang tidak pendek, bahkan tanpa kejelasan kapan mereka bakal diangkat sebagai pekerja tetap.
Pola rekrutmen gila-gilaan dengan menyewa stadion hingga berhasil mendapatkan ribuan calon pekerja, yang selanjutnya bakal diberdayakan sebagai pekerja kontrak, adalah gambaran kekusutan penanganan sumber daya manusia yang katanya profesional dan memiliki hard skill mumpuni tersebut. Pada saat bersamaan, mereka juga bersanding dengan para presenter atau penampil yang dikontrak untuk episode tertentu (dengan bayaran yang lebih besar, tentu saja).
Di luar pola pekerja outsourcing dan pekerja kontrak, media televisi juga sangat bergairah untuk memberdayakan tenaga-tenaga lepas dengan kontrak khusus semacam kontributor atau koresponden. Disebut kontrak khusus karena mereka dibayar hanya terkait berita-berita yang ditayangkan stasiun televisi itu. Jadi tidak ada upah tetap per minggu atau per bulan.
Dengan ragam pekerja berikatan “khusus” itulah, para pekerja tetap di setiap media televisi mesti menghindangkan program atau isi media kepada khalayak. Silakan mencermati hubungan lahiriah dan batiniah antara para pekerja berikatan “khusus” itu dengan media yang bersangkutan. Silakan mencermati hubungan lahiriah dan batiniah antara para pekerja berikatan “khusus” itu dengan pekerja tetap di media tersebut. Pada akhirnya, cermati isi media yang setiap hari menyapa di layar kita dengan suka cita.
Kalau mengacu pada hasil penelitian saya: isi media itu tak lebih dari hiperrealitas (realitas yang memiliki objek alias rekayasa alias kebohongan alias sampah) dan para pekerja di media itu pun tak pernah memiliki aktualisasi sebagai pekerja profesional atau pekerja dengan hard skill mumpuni. Strategi komodifikasi sangat bernafsu mendeaktualisasi para pekerja profesional atau pekerja dengan hard skill mumpuni tersebut.
Bagi saya, kenyataan itu menggoda diri untuk membangun kesimpulan bahwa media televisi yang bergairah menerapkan kebijakan outsourcing, maka ia memang sangat bernafsu untuk menjalankan strategi komodifikasi. Bahwa media televisi yang sangat bernafsu untuk menjalankan strategi komodifikasi, maka ia memang sangat bersyahwat untuk menjejalkan program atau isi media yang cenderung hiperrealitas.
Pada akhir dongeng saya dalam diskusi tersebut, saya mencoba mengingatkan persoalan masyarakat kritis dan masyarakat konsumtif yang secara gencar menghujani otak khalayak televisi melalui program dan iklan. Dan itu semua terjadi, ketika khalayak asyik memainkan remote control televisi, serta sudah pasti, tidak pernah menggubriskan ideologi media televisi yang sangat rating and share oriented dan profit oriented.
Ketika media televisi memandangkan tekad rating and share oriented dan profit oriented, maka startegi komodifikasi atau kebijakan outsourcing bukanlah persoalan yang harus diharamkan. Maka, selamat berjaya, Outsourcing Broadcaster!