Komodifikasi menghampar di seluruh program televisi. Ia menjelma dalam berbagai bentuk program televisi, baik program hiburan maupun program berita. Termasuk, dalam pengerangkaan realitas kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum?
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain [Burton: 2008]. “Dalam studi media, determinasi ekonomi mewujud dalam perspektif yang melihat media semata-mata sebagai capitalist venture. Fungsi-fungsi ideologi di balik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder,” tegas Oscar H. Gandy Jr [1997].
Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi), Vincent Mosco [2009] menyejajarkan komodifikasi dengan spasialisasi dan strukturisasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar, sedangkan spasialisasi mengarah pada persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk mengatasi kendala geografis dan strukturisasi mempertegas keberadaan proses hubungan sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras.
Baran dan Davis [2009] juga menyinggung persoalan fetisme komoditas atau pemujaan terhadap komoditas—istilah yang dikemukakan Karl Marx, yang menunjukkan keterkaitan produk buruh dengan produk komoditas—dalam konteks komodifikasi. Proses komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang bisa ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar.
Transformasi nilai produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial. Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”.
Jauh sebelumnya, Georg Lukács (1885-1971) dalam History and Class Consciousnes menjelaskan bahwa kapitalisme menguasai seluruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulkan keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi.
Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja. Menurut saya, tiga aspek yang ditawarkan Mosco itu merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif komodifikasi dalam industri media.
Transformasi pesan menjadi produk yang bisa diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih sederhana, konsep kunci itu bisa diartikan sebagai perlakuan atas isi media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar.
Graeme Burton mengartikan interaksi media dan khalayak sebagai hubungan pedagang dan pembeli. Media adalah pedagang yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan, sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu.
John Fiske [2010] juga memiliki catatan yang sama tentang komodifikasi isi media, “Kapitalisme adalah sebuah sistem, yang di atas semua yang lain, menghasilkan berbagai komoditas, sehingga membuat komoditas seolah-olah hal yang alami pada jantung kebanyakan praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat kita dalam artian komoditas yang diproduksi untuk memenuhi hasrat tersebut; kita belajar untuk berpikir atas permasalahan kita dalam artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.”
Semua kritik itu bersumber dari satu masalah, pesan ditransformasikan sebagai komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu harus bisa memenuhi hasrat dan mengatasi permasalahan “pembeli”nya. Dan, Idi Subandy Ibrahim [2011] memastikan bahwa logika komersialisme dan komodifikasi itu telah menjadi cara berpikir para pengelola pers dalam kegiatan jurnalistiknya. “Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa,” keluhnya.
Tentang komodifikasi khalayak, Mosco mendasarkannya pada pengujian yang dilakukan oleh Nicholas Garnham atas prinsif komodifikasi media, yakni produksi langsung produk media dan penggunaan media untuk menyempurnakan proses komodifikasi. Dari arah berbeda, Dallas Smythe (1977) mengadopsi batasan itu untuk menunjukkan bahwa khalayak merupakan komoditas utama media massa.
Media massa merupakan bagian dari proses yang melihat perusahaan media memproduksi khalayak untuk diantarkan kepada pengiklan. Para perancang program di media membuat program-program menarik untuk menarik minat khalayak. Dan, menurut Smythe, itu lebih dari sekadar “makan siang gratis”. Karena pada intinya, para programmer mengikat penonton untuk bertahan di kanalnya sambil menikmati iklan-iklan yang dihidangkan.
Pada akhirnya, keberadaan para penonton itu menjadi komoditas yang ditawarkan kepada pengiklan. Karena keberadaan penonton itu memperlihatkan segmentasi, target, dan positioning sebuah kegiatan pemasaran. Dan para pengiklan membeli dan mengisi jeda iklan dengan iklan-iklan produk didasarkan pada perhitungan segmentasi, target, dan positioning pemasaran tadi.
Berdasarkan asumsi tersebut, sesungguhnya khalayak juga merupakan “pekerja” dan kiprahnya menjadi bagian dari kegiatan “produksi” isi media. Ia dikondisikan agar senantiasa menjadi bagian dari komoditas media, karena ia menjadi penentu lahirnya rating dan share bagi televisi.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Philip Smith, khalayak—Karl Marx menyebutnya masyarakat—tidak lagi dipandang sebagai kehidupan bersama yang berciri sosial, melainkan dilihat semata-mata sebagai modal bisnis, yaitu aset pasar yang dapat menyerap produk-produk yang dihasilkan industri-industri mereka. Dan situasi itu sangat memungkinkan, karena menurut Baudrillard dalam Consumer Society [1998], kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model Marxisme), melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikansinya sewenang-wenang (arbitrer) dan tergantung kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya sebagai “kode” (the code).
Dalam kaitan pengujian komodifikasi isi media dan komodifikasi khalayak, menurut Mosco, ada kecerderungan mengabaikan aspek komodifikasi pekerja dan proses produksi. Mosco menunjukkan pemikiran Vraverman (1974) yang berupaya mengakhiri pemarjinalan itu. Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia juga bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana. Dalam proses komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan keahlian dipisahkan dari kemampuan melaksanakan pekerjaan.
Komodifikasi terkonsentrasi pada kekuatan konseptual di kelas manajerial sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi menjadikan pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari keahlian dan kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi, pekerja diasumsikan layaknya penonton.
Pemaparan Mosco tentang komodifikasi pekerja mengingatkan saya pada pemikiran Karl Marx dalam Das Kapital (volume pertama, 1867)—seperti dikutip Bima Saptawasana dan Haryanto Cahyadi dalam Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi: Diteropong dari Perspektif Para Eksponen Neo-Marxisme. Dalam buku tersebut Marx menjelaskan bahwa dari keterasingan manusia sebagai manusia dan status dirinya sebagai pekerja atas buruh pabrik mengakibatkan dampak budaya yang lebih parah: manusia sekadar menjadi buruh pabrik (proletar) yang tidak lagi semata-mata terasing dari dunia keberadaan dirinya sebagai manusia, melainkan sekadar menjadi alat produksi kapitalisme.
Georg Lukács menyebutkan kondisi itu sebagai reifikasi, yakni proses merosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda belaka: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku (agent) bagi dirinya sendiri karena lenyapnya kreativitas—konsep itu dikembangkan Lukács dengan mengaitkan konsep rasionalisasi Max Weber dan konsep fetisisme komoditi Karl Marx.
Lantas, bagaimana dengan perayaan kasus korupsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi?
Tak bisa dipungkiri, pekan-pekan terakhir ini nama Anas Urbaningrum menjadi “mitos” yang tengah dilanggengkan ranah jurnalisme televisi di Tanah Air. Nama itu nyaris setiap jam mengisi rundown program-program teresterial di seluruh stasiun televisi swasta nasional, dengan berbagai framing dan pengemasan.
Anas Urbaningrum menjadi newsmaker bukan hanya terkait kecerdasannya sebagai politisi muda dari sebuah partai pemenang pemilu, tapi juga keterkaitannya dengan kasus korupsi terpopular yang menjerat banyak nama di partainya, juga gerakan politis pasca-mundur sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dan intro-intro “nyanyian”nya yang menggoda iman para pengelola media. Dalam sekejap, media pun menghembuskan persoalan baru di luar konteks Koruspsi Hambalang.
Di luar itu semua, media (atas nama khalayak) sangat berharap banyak, ia bisa menjadi kunci untuk mengungkap selubung korupsi di partainya, orang-orang kuat di partainya, bahkan tokoh-tokoh kuat di pemerintahan. Plus, kalau boleh berhitung-hitungan politis, ada juga jawaban soal nasib Partai Demokrat dan calon presiden yang bakal diusung pada pemilu mendatang. Karena itu, ia dan orang-orang di sekelilingnya, kawan atau lawannya, atas nama framing, mendapatkan kesempatan lebih untuk dikutip seluruh opininya dalam wawancara secara doorstep atau acara-acara talkshow.
Para produser tidak ragu-ragu untuk menambah durasi kutipan dari di bawah 20 detik (standar durasi sound bite yang umumnya diberlakukan) menjadi lebih panjang dibandingkan durasi biasanya. Narasi seakan dianggap tidak mampu menggantikan kutipan itu. Bandingkan dengan hasil penelitian Daniel Hallin yang menyinggung pergeseran durasi “cuplikan suara” dari 60 detik pada 1968 menjadi 8,5 detik pada 1988 [Kitlet: 2000].
Penambahan durasi sound bite itu, menurut saya, menyimpan kepentingan tertentu. Yang paling kentara, tentu saja nilai jual para “aktor” di sekitar kasus korupsi tersebut!
Dalam bahasa berbeda, pemikir postmodernis Jean Baudrillard menyebutnya sebagai transparansi kejahatan (transparency of evil) di era media, yakni situasi ketika para aktor yang diduga kuat sebagai bagian dari pelaku konspirasi itu justru diberi ruang bersuara lantang pada jam-jam tayang utama (prime time) dan mengisi waktu luang dalam ruang keluarga.
Dan Idi Subandy Ibrahim mendeskripsikan situasi itu sebagai sebuah potret absurd bagaimana logika drama dan informasi politik telah berbaur di dalam logika industri infotainment yang membuat tayangan dan kejahatan harus dikemas dalam format hiburan agar menarik pemirsa, dan dengan demikian berarti pula meningkatkan rating dan menambah pemasukan iklan.
Alih-alih kemeriahan itu menghadirkan kejelasan akan kasus korupsi dan konteks di baliknya, khalayak justru makin dibuat bingung dengan keberlimpahan komunikasi itu. Karena, di era simulacrum ini sesungguhnya khalayak bukan hanya berhubungan dengan media televisi untuk mendapatkan informasi itu, tapi juga media cetak dan media online. Bahkan, jejalan info-info dari situs-situs jejaring sosial dan pertemanan.
Meski demikian, hal itu tidak serta-merta membuat media televisi berhenti memproduksi berita dan program-program nonteresterial bertemakan korupsi yang melibatkan para “actor” itu, sekaligus mempertarungkannya dengan berbagai program yang menghibur dan sensasional lainnya. “Pemberitaan di seputar perseteruan hukum dan skandal politik tingkat tinggi adalah pemberitaan yang sarat sensasi dan kontroversi. Media televisi akan berupaya melakukan politik sensasi ini dengan harapan khalayak semakin tertarik dan pada gilirannya rating meningkat,” sindir Idi Subandy Ibrahim.
Bahwa situasi sosiokultural yang menghimpun metafora media, sejarah media, sistem politik, regulasi pemerintah, dan kondisi sosial masyarakat, menjadi asupan-asupan utama bagi kelompok-kelompok usaha pemilik media yang tergabung dalam sebuah konglomerasi, juga pada industri media dan khalayak. Pada praktiknya, visi dan kekuatan konglomerasi menjadi invicible hand di balik seluruh kegiatan industri media.
Pada akhirnya, hegemoni yang dimetamorfosiskan dalam bentuk ekonomi politik media itu diimplementasikan dalam bentuk target perusahaan (baca: peraihan keuntungan). Dalam bahasa yang lebih sederhana, hal itu diterjemahkan media sebagai orientasi kepada khalayak (konsumen). Berdasarkan pijakan pemikiran itu, media pun harus membuka ruang selebar-lebarnya pada strategi komodifikasi, dimulai dari khalayak, organisasi (ruang redaksi), pekerja (para jurnalis), dan teks televisi (kasus-kasus korupsi), untuk ditawarkan kepada khalayak.
Barker [2012] menandai situasi itu sebagai model hegemonik, yang memberikan penegasan bahwa ideologi dalam berita diyakini bukan sebagai akibat dari intervensi langsung oleh pemilik atau bahkan bukan suatu usaha manipulasi secara sadar oleh para wartawan, melainkan akibat dari sikap rutin dan praktik kerja para staf. Wartawan berita mempelajari konvensi-konvensi dan kode-kode tentang “bagaimana harus melakukan”, mereproduksi ideologi sebagai suatu pendapat umum (common sense).
Pada akhirnya, strategi komodifikasi terkait kasus-kasus korupsi itu pun menjelmakan hiperealitas dan deaktualisasi. Atau, lebih tepatnya deaktualisasi di seluruh elemen: khalayak yang kritis, lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, para jurnalis televisi, dan teks televisi itu sendiri (hiperrealitas).
Artinya, perayaan realitas-realitas antikorupsi di televisi itu harus ditulis dengan tanda petik, “antikorupsi”, karena hal sesungguhnya sekadar drama dan tebaran hiburan berselubung program berita. Artinya lagi, khalayak tidak akan memperoleh kejelasan yang sejelas-jelasnya, apalagi seobjektif-objektifnya, dari kasus-kasus korupsi melalui penayangan berita-berita di televisi. Karena, televisi adalah ruang hampa yang sekadar memperkenalkan mitos-mitos, yang akan sangat jauh membawa khalayak ke alam yang tercerahkan.
Lebih jauh, Barker mengurai paradoks itu sebagai berikut: bahwa teks utama televisi, produksi berita menempati posisi yang strategis dalam debat tentang televisi dalam konteks pengaruh yang diduga, dan sering kali ditakuti, terhadap kehidupan publik. Di sisi lain, berita dianggapnya bukan lagi “jendela dunia” yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk “realitas”.
Dalam situasi seperti itu, menurut John McManus dalam Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware? (1994), tekanan pasar yang menggerakkan seluruh logika praktik berita mendesak idealisme profesi jurnalisme ke pinggir perbincangan dan etika jurnalistik disorot hanya ketika ada kasus-kasus besar seperti yang melibatkan kalangan pejabat di seputar kekuasaan.
Artinya, perayaan realitas kasus korupsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi adalah paradoks dalam dunia jurnalisme dan sekaligus memarjinalkan kesakralan idealisme profesi jurnalis televisi ke tepian tanpa kharisma. Dan, hal itu sangat terkait dengan satu kata kunci: komodifikasi.[]
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx sebagai “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain [Burton: 2008]. “Dalam studi media, determinasi ekonomi mewujud dalam perspektif yang melihat media semata-mata sebagai capitalist venture. Fungsi-fungsi ideologi di balik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder,” tegas Oscar H. Gandy Jr [1997].
Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi), Vincent Mosco [2009] menyejajarkan komodifikasi dengan spasialisasi dan strukturisasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar, sedangkan spasialisasi mengarah pada persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk mengatasi kendala geografis dan strukturisasi mempertegas keberadaan proses hubungan sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras.
Baran dan Davis [2009] juga menyinggung persoalan fetisme komoditas atau pemujaan terhadap komoditas—istilah yang dikemukakan Karl Marx, yang menunjukkan keterkaitan produk buruh dengan produk komoditas—dalam konteks komodifikasi. Proses komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang bisa ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar.
Transformasi nilai produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial. Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”.
Jauh sebelumnya, Georg Lukács (1885-1971) dalam History and Class Consciousnes menjelaskan bahwa kapitalisme menguasai seluruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulkan keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi.
Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja. Menurut saya, tiga aspek yang ditawarkan Mosco itu merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif komodifikasi dalam industri media.
Transformasi pesan menjadi produk yang bisa diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih sederhana, konsep kunci itu bisa diartikan sebagai perlakuan atas isi media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar.
Graeme Burton mengartikan interaksi media dan khalayak sebagai hubungan pedagang dan pembeli. Media adalah pedagang yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan, sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu.
John Fiske [2010] juga memiliki catatan yang sama tentang komodifikasi isi media, “Kapitalisme adalah sebuah sistem, yang di atas semua yang lain, menghasilkan berbagai komoditas, sehingga membuat komoditas seolah-olah hal yang alami pada jantung kebanyakan praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat kita dalam artian komoditas yang diproduksi untuk memenuhi hasrat tersebut; kita belajar untuk berpikir atas permasalahan kita dalam artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.”
Semua kritik itu bersumber dari satu masalah, pesan ditransformasikan sebagai komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu harus bisa memenuhi hasrat dan mengatasi permasalahan “pembeli”nya. Dan, Idi Subandy Ibrahim [2011] memastikan bahwa logika komersialisme dan komodifikasi itu telah menjadi cara berpikir para pengelola pers dalam kegiatan jurnalistiknya. “Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa,” keluhnya.
Tentang komodifikasi khalayak, Mosco mendasarkannya pada pengujian yang dilakukan oleh Nicholas Garnham atas prinsif komodifikasi media, yakni produksi langsung produk media dan penggunaan media untuk menyempurnakan proses komodifikasi. Dari arah berbeda, Dallas Smythe (1977) mengadopsi batasan itu untuk menunjukkan bahwa khalayak merupakan komoditas utama media massa.
Media massa merupakan bagian dari proses yang melihat perusahaan media memproduksi khalayak untuk diantarkan kepada pengiklan. Para perancang program di media membuat program-program menarik untuk menarik minat khalayak. Dan, menurut Smythe, itu lebih dari sekadar “makan siang gratis”. Karena pada intinya, para programmer mengikat penonton untuk bertahan di kanalnya sambil menikmati iklan-iklan yang dihidangkan.
Pada akhirnya, keberadaan para penonton itu menjadi komoditas yang ditawarkan kepada pengiklan. Karena keberadaan penonton itu memperlihatkan segmentasi, target, dan positioning sebuah kegiatan pemasaran. Dan para pengiklan membeli dan mengisi jeda iklan dengan iklan-iklan produk didasarkan pada perhitungan segmentasi, target, dan positioning pemasaran tadi.
Berdasarkan asumsi tersebut, sesungguhnya khalayak juga merupakan “pekerja” dan kiprahnya menjadi bagian dari kegiatan “produksi” isi media. Ia dikondisikan agar senantiasa menjadi bagian dari komoditas media, karena ia menjadi penentu lahirnya rating dan share bagi televisi.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Philip Smith, khalayak—Karl Marx menyebutnya masyarakat—tidak lagi dipandang sebagai kehidupan bersama yang berciri sosial, melainkan dilihat semata-mata sebagai modal bisnis, yaitu aset pasar yang dapat menyerap produk-produk yang dihasilkan industri-industri mereka. Dan situasi itu sangat memungkinkan, karena menurut Baudrillard dalam Consumer Society [1998], kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model Marxisme), melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikansinya sewenang-wenang (arbitrer) dan tergantung kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya sebagai “kode” (the code).
Dalam kaitan pengujian komodifikasi isi media dan komodifikasi khalayak, menurut Mosco, ada kecerderungan mengabaikan aspek komodifikasi pekerja dan proses produksi. Mosco menunjukkan pemikiran Vraverman (1974) yang berupaya mengakhiri pemarjinalan itu. Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia juga bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana. Dalam proses komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan keahlian dipisahkan dari kemampuan melaksanakan pekerjaan.
Komodifikasi terkonsentrasi pada kekuatan konseptual di kelas manajerial sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi menjadikan pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari keahlian dan kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi, pekerja diasumsikan layaknya penonton.
Pemaparan Mosco tentang komodifikasi pekerja mengingatkan saya pada pemikiran Karl Marx dalam Das Kapital (volume pertama, 1867)—seperti dikutip Bima Saptawasana dan Haryanto Cahyadi dalam Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi: Diteropong dari Perspektif Para Eksponen Neo-Marxisme. Dalam buku tersebut Marx menjelaskan bahwa dari keterasingan manusia sebagai manusia dan status dirinya sebagai pekerja atas buruh pabrik mengakibatkan dampak budaya yang lebih parah: manusia sekadar menjadi buruh pabrik (proletar) yang tidak lagi semata-mata terasing dari dunia keberadaan dirinya sebagai manusia, melainkan sekadar menjadi alat produksi kapitalisme.
Georg Lukács menyebutkan kondisi itu sebagai reifikasi, yakni proses merosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda belaka: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku (agent) bagi dirinya sendiri karena lenyapnya kreativitas—konsep itu dikembangkan Lukács dengan mengaitkan konsep rasionalisasi Max Weber dan konsep fetisisme komoditi Karl Marx.
Lantas, bagaimana dengan perayaan kasus korupsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi?
Tak bisa dipungkiri, pekan-pekan terakhir ini nama Anas Urbaningrum menjadi “mitos” yang tengah dilanggengkan ranah jurnalisme televisi di Tanah Air. Nama itu nyaris setiap jam mengisi rundown program-program teresterial di seluruh stasiun televisi swasta nasional, dengan berbagai framing dan pengemasan.
Anas Urbaningrum menjadi newsmaker bukan hanya terkait kecerdasannya sebagai politisi muda dari sebuah partai pemenang pemilu, tapi juga keterkaitannya dengan kasus korupsi terpopular yang menjerat banyak nama di partainya, juga gerakan politis pasca-mundur sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dan intro-intro “nyanyian”nya yang menggoda iman para pengelola media. Dalam sekejap, media pun menghembuskan persoalan baru di luar konteks Koruspsi Hambalang.
Di luar itu semua, media (atas nama khalayak) sangat berharap banyak, ia bisa menjadi kunci untuk mengungkap selubung korupsi di partainya, orang-orang kuat di partainya, bahkan tokoh-tokoh kuat di pemerintahan. Plus, kalau boleh berhitung-hitungan politis, ada juga jawaban soal nasib Partai Demokrat dan calon presiden yang bakal diusung pada pemilu mendatang. Karena itu, ia dan orang-orang di sekelilingnya, kawan atau lawannya, atas nama framing, mendapatkan kesempatan lebih untuk dikutip seluruh opininya dalam wawancara secara doorstep atau acara-acara talkshow.
Para produser tidak ragu-ragu untuk menambah durasi kutipan dari di bawah 20 detik (standar durasi sound bite yang umumnya diberlakukan) menjadi lebih panjang dibandingkan durasi biasanya. Narasi seakan dianggap tidak mampu menggantikan kutipan itu. Bandingkan dengan hasil penelitian Daniel Hallin yang menyinggung pergeseran durasi “cuplikan suara” dari 60 detik pada 1968 menjadi 8,5 detik pada 1988 [Kitlet: 2000].
Penambahan durasi sound bite itu, menurut saya, menyimpan kepentingan tertentu. Yang paling kentara, tentu saja nilai jual para “aktor” di sekitar kasus korupsi tersebut!
Dalam bahasa berbeda, pemikir postmodernis Jean Baudrillard menyebutnya sebagai transparansi kejahatan (transparency of evil) di era media, yakni situasi ketika para aktor yang diduga kuat sebagai bagian dari pelaku konspirasi itu justru diberi ruang bersuara lantang pada jam-jam tayang utama (prime time) dan mengisi waktu luang dalam ruang keluarga.
Dan Idi Subandy Ibrahim mendeskripsikan situasi itu sebagai sebuah potret absurd bagaimana logika drama dan informasi politik telah berbaur di dalam logika industri infotainment yang membuat tayangan dan kejahatan harus dikemas dalam format hiburan agar menarik pemirsa, dan dengan demikian berarti pula meningkatkan rating dan menambah pemasukan iklan.
Alih-alih kemeriahan itu menghadirkan kejelasan akan kasus korupsi dan konteks di baliknya, khalayak justru makin dibuat bingung dengan keberlimpahan komunikasi itu. Karena, di era simulacrum ini sesungguhnya khalayak bukan hanya berhubungan dengan media televisi untuk mendapatkan informasi itu, tapi juga media cetak dan media online. Bahkan, jejalan info-info dari situs-situs jejaring sosial dan pertemanan.
Meski demikian, hal itu tidak serta-merta membuat media televisi berhenti memproduksi berita dan program-program nonteresterial bertemakan korupsi yang melibatkan para “actor” itu, sekaligus mempertarungkannya dengan berbagai program yang menghibur dan sensasional lainnya. “Pemberitaan di seputar perseteruan hukum dan skandal politik tingkat tinggi adalah pemberitaan yang sarat sensasi dan kontroversi. Media televisi akan berupaya melakukan politik sensasi ini dengan harapan khalayak semakin tertarik dan pada gilirannya rating meningkat,” sindir Idi Subandy Ibrahim.
Bahwa situasi sosiokultural yang menghimpun metafora media, sejarah media, sistem politik, regulasi pemerintah, dan kondisi sosial masyarakat, menjadi asupan-asupan utama bagi kelompok-kelompok usaha pemilik media yang tergabung dalam sebuah konglomerasi, juga pada industri media dan khalayak. Pada praktiknya, visi dan kekuatan konglomerasi menjadi invicible hand di balik seluruh kegiatan industri media.
Pada akhirnya, hegemoni yang dimetamorfosiskan dalam bentuk ekonomi politik media itu diimplementasikan dalam bentuk target perusahaan (baca: peraihan keuntungan). Dalam bahasa yang lebih sederhana, hal itu diterjemahkan media sebagai orientasi kepada khalayak (konsumen). Berdasarkan pijakan pemikiran itu, media pun harus membuka ruang selebar-lebarnya pada strategi komodifikasi, dimulai dari khalayak, organisasi (ruang redaksi), pekerja (para jurnalis), dan teks televisi (kasus-kasus korupsi), untuk ditawarkan kepada khalayak.
Barker [2012] menandai situasi itu sebagai model hegemonik, yang memberikan penegasan bahwa ideologi dalam berita diyakini bukan sebagai akibat dari intervensi langsung oleh pemilik atau bahkan bukan suatu usaha manipulasi secara sadar oleh para wartawan, melainkan akibat dari sikap rutin dan praktik kerja para staf. Wartawan berita mempelajari konvensi-konvensi dan kode-kode tentang “bagaimana harus melakukan”, mereproduksi ideologi sebagai suatu pendapat umum (common sense).
Pada akhirnya, strategi komodifikasi terkait kasus-kasus korupsi itu pun menjelmakan hiperealitas dan deaktualisasi. Atau, lebih tepatnya deaktualisasi di seluruh elemen: khalayak yang kritis, lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, para jurnalis televisi, dan teks televisi itu sendiri (hiperrealitas).
Artinya, perayaan realitas-realitas antikorupsi di televisi itu harus ditulis dengan tanda petik, “antikorupsi”, karena hal sesungguhnya sekadar drama dan tebaran hiburan berselubung program berita. Artinya lagi, khalayak tidak akan memperoleh kejelasan yang sejelas-jelasnya, apalagi seobjektif-objektifnya, dari kasus-kasus korupsi melalui penayangan berita-berita di televisi. Karena, televisi adalah ruang hampa yang sekadar memperkenalkan mitos-mitos, yang akan sangat jauh membawa khalayak ke alam yang tercerahkan.
Lebih jauh, Barker mengurai paradoks itu sebagai berikut: bahwa teks utama televisi, produksi berita menempati posisi yang strategis dalam debat tentang televisi dalam konteks pengaruh yang diduga, dan sering kali ditakuti, terhadap kehidupan publik. Di sisi lain, berita dianggapnya bukan lagi “jendela dunia” yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk “realitas”.
Dalam situasi seperti itu, menurut John McManus dalam Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware? (1994), tekanan pasar yang menggerakkan seluruh logika praktik berita mendesak idealisme profesi jurnalisme ke pinggir perbincangan dan etika jurnalistik disorot hanya ketika ada kasus-kasus besar seperti yang melibatkan kalangan pejabat di seputar kekuasaan.
Artinya, perayaan realitas kasus korupsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi adalah paradoks dalam dunia jurnalisme dan sekaligus memarjinalkan kesakralan idealisme profesi jurnalis televisi ke tepian tanpa kharisma. Dan, hal itu sangat terkait dengan satu kata kunci: komodifikasi.[]