KABAR apa yang datang dari daerah di luar Jakarta? Dari televisi Jakarta kita tahu, kalau bukan kepedihan dan kemurungan, kabar tentang “mereka” adalah kedunguan, keberingasan, dan keterbelakangan.
Bukankah keberingasan, kalau kabar dari Makassar melulu adalah tawuran atau kriminalitas? Bukankah keterbelakangan, kalau yang dianggap sebagai sebuah diskursus publik lokal adalah berita dari Sumatera mengenai seorang ibu yang menghukum anak dengan menjemurnya? Bukankah oleh televisi kita diharuskan menjadi murung, ketika menyimak berita tentang seorang ibu di Sulawesi yang memelihara buaya sungai sebagai anaknya; dibaringkan di kasur, diberi makan, dan dimandikan?
Potongan cerita di atas cumalah sederet kecil potret mengenai daerah di luar Jakarta yang dibingkai oleh perusahaan televisi Jakarta. Berita mengenai “mereka”, dibuat semenarik mungkin—kalau perlu yang mampu bikin geleng-geleng kepala—khususnya bagi orang Jakarta. Karena tentu yang menarik mengenai “mereka” bukanlah persoalan politik, sosial, atau budayanya yang substantif, yang menyangkut kehidupan “mereka” yang terdalam. Sesuatu yang aneh, sensasional, dan bombastis, justru adalah rumusan yang cihui untuk merampas perhatian “pemirsa yang dibayangkan” oleh para pekerja televisi Jakarta. Apakah kemudian berita-berita itu relevan dan penting bagi daerah tempat sumber berita, itu tidaklah penting bagi perusahaan televisi Jakarta.
Perusahaan-perusahaan yang dimaksud adalah kesepuluh stasiun televisi asal Jakarta yang bersinnya menyebar ke seantero Indonesia. Mereka adalah TV One, RCTI, Trans TV, ANTV, Indosiar, Metro TV, MNC TV, Global TV, Trans 7, dan SCTV. Dengan keistimewaannya bersiaran nasional, mereka tak melakukan—juga pasti tak mampu—kerja berperspektif nasional. Pasalnya, negeri ini terlalu besar untuk dirangkum, terlalu beragam untuk dilipat. Usaha merangkum atau melipatnya, hanya berujung pada reduksi dan melenyapkan banyak hal. Karena itulah, UU Penyiaran, sejak terbitnya pada 2002, sebenarnya sudah melarang stasiun televisi swasta bersiaran nasional. Namun hingga kini, aturan ini tak pernah ereksi, sehinggamembuat industri pertelevisian nasional tumbuh lebih liar daripada pedagang kaki lima.
Sentralistiknya sistem penyiaran di Indonesia ini tentu mempengaruhi segala aspek kerja stasiun televisi. Kebanyakan stasiun, misalnya, tak memiliki atau sangat sedikit memiliki biro atau kantor di luar Jakarta. Misalkan ada, pekerjaan yang sifatnya substantif biasanya dipegang oleh pegawai yang berasal dari Jakarta. Dengan kondisi demikian, ide tentang “menyerap aspirasi lokal” tentu merupakan hal yang buang-buang waktu. Slogan “Milik Kita Bersama” milik Trans TV atau “Untuk Keluarga Indonesia” milik Global TV tentu tak berlaku buat “mereka” di Ende, Bukit Tinggi, Subang, Sorong, Palu, Gresik, Aceh, Singkawang, atau mungkin Jakarta sekalipun.
Benar, bahwa ada kontributor lokal yang siap memasok berita dari luar Jakarta. Tapi sistem kerja yang honorer, yang hanya mendapat bayaran ketika beritanya dimuat, membuat para kontributor ini mengirim berita yang sesuai dengan selera redaksi di Jakarta. Dan bagi redaksi di Jakarta, pengandaian tentang penonton adalah orang Jakarta (atau setidaknya mereka yang tinggal di beberapa kota besar), sehingga kriteria sebuah berita dari daerah lain mestilah sebuah isu yang sedang ramai dibicarakan, tinggi dalam jumlah (korban kerusuhan atau demonstrasi), bombastis, atau sensasional.
Maka jangan heran kalau isi berita dari daerah melulu soal konflik, kekerasan, kriminalitas, sampai yang absurd. Namun kabar mengenai prestasi suatu kabupaten, kasus korupsi pejabat lokal (kecuali kalau melibatkan “aktor nasional” atau populer), harga karet mentah di Pontianak, atau terbengkalainya fasilitas publik di Lampung, tidak pernah diangkat. Sekalipun ada, porsinya tak pernah adil: disiarkan dengan kualitas jurnalistik yang buruk, dengan persentase durasi tayang yang kecil, sampai berita itu ditaruh pada bagian akhir tayangan. Alhasil, masyarakat di daerah luar Jakarta terpaksa menyantap apa saja yang berseliweran di layar televisi, sekalipun itu tak punya relevansi bagi kehidupan mereka: kemacetan Jakarta, korupsi pejabat Jakarta, tabrakan di Tugu Tani, payudara Melinda Dee, sampai berita tentang polisi ganteng dan Briptu Norman. Luberan masalah khas Jakarta pada berita di televisi seakan ingin mengatakan bahwa daerah lain tidak punya masalahnya sendiri. Di sana tak ada korupsi. Tak ada masalah transportasi. Tak ada aktivitas ekonomi yang bisa dijadikan bahan diskursus publik. Tak ada manusia dengan kehidupannya.
Seorang karib yang jeli dalam melihat fenomena ini, bersungut dengan mengambil contoh kasus ketika pada 2010 kantor redaksi Tempo di Proklamasi, Jakarta, dilempar bom oleh orang tak dikenal. Media nasional ramai memberitakannya. Padahal pada hari yang sama, warga di Papua tengah memperingati Tragedi 6 Juli 1998,di manaketika itu orang-orang di Biak ditembak mati oleh tentara republik karena mengibarkan Sang Bintang Fajar pada menara air setinggi 35 meter. Lantas bagaimana pemberitaan mengenainya? Sepi.
Dengan pola sentralistik sedemikian, sebuah kesadaran baru sebenarnya sedang terkondisikan, yakni relasi pemirsa terhadap “mereka” yang diberitakan. Mereka yang disorot kamera dan dijadikan materi berita selalu diposisikan sebagai “mereka”, bukan “kita”, karena tak pernah ada “kita” dari sebuah imperialis budaya bernama televisi Jakarta. Pun bagi warga Jakarta, tak ada “kita” di televisi, karena semua yang tampak pada berita adalah tentang “mereka”. Memang tak ada—juga tak usah mencari—“kita” di televisi, karena di sana tak ada pembayangan akan sebuah komunitas dan kehidupan bersama. Berita pedih maupun gembira, keduanya sama-sama dimaksudkan hanya sebagai sebuah jeda dari keseharian manusia yang cepat. Televisi tahu, manusia butuh jeda untuk iba, jeda untuk mengutuk, atau jeda untuk menertawai.
“Kita”telah dibunuh di televisi. Yang kini hidup adalah “seolah-olah kita”. Dengan demikian, yang kerap televisi lakukan adalah “seolah sedang membicarakan kita”. Masing-masing penonton adalah subyek berbeda yang tak memahami tentang “mereka” yang diberitakan. Beritahanyalah perangkat untuk sekadar tahu tentang kemalangan “mereka”, untuk kemudian mensyukuri diri, mensyukuri normalitas kehidupan yang dimilikinya. Masing-masing penonton tidaklah terhubung oleh suatu narasi atau riwayat sosial bersama, melainkan terhubung sebagai sesama konsumendeterjen yang tidak selalu “mengalami”—atau setidaknya berempati—dengan apa yang dialami oleh “obyek” pemberitaan.
Oh ya, Bung tahu, di sela-sela merampungkan paragraf-paragraf terakhir tulisan ini, sedikitnya tujuhtelevisi “nasional” sedang menyiarkan pelantikan gubernur-wakil gubernur baru DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Bung punya komentar?[Naskah: ROY THANIAGO]