laporkan televisi yang MELANGGAR ETIKA PUBLIK


Saat ini kita akan berbicara mengenai satu tema yang sangat fundamental. Tema yang turut menentukan masa depan republik ini, terkait pentingnya literasi media. Dalam perbicangan ini secara khusus akan membahas tentang televisi. Televisi dapat menjadi berkah atau malapetaka. Hal ini tergantung bagaimana kita mengunakannya. Jika suatu siaran atau program yang ditayangkan terhadap publik dapat membuat masyarakat lebih cerdas, maka hal ini membawa pesan yang baik bagi Indonesia di masa depan. Tetapi jika kemudian sajian-sajian yang dihadirkan ke hadapan pemirsa ini ibarat racun, tentu ini akan menjadi suatu peringatan untuk masyarakat kita.

Nina Mutmainnah dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan lembaga penyiaran harus memperhatikan norma dan budaya masyarakat heterogen. Lembaga penyiaran seharusnya memiliki kesadaran ketika memakai frekuensi milik publik, maka harus berada pada koridor etika dan aturan. Sudah menjadi kewajiban bagi para pengelola televisi saat membuat program acara untuk selalu berpedoman pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Ansy Lema sebagai pewawancara dengan narasumber Nina Mutmainnah

Saat ini kita memiliki lembaga penyiaran publik yang bernama TVRI, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan juga lembaga penyiaran komunitas yang cukup banyak di Indonesia. Lembaga penyiaran ini menjadi berkah atau malapetaka bagi masyarakat?

Syukurnya untuk penyiaran lokal itu umumnya acaranya relatif aman. Kami dapat laporan dari KPID-KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) di berbagai provinsi, bahwa yang menjadi masalah adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki jaringan nasional. Banyak data mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi ini. Kalau lembaga penyiaran komunitas umumnya relatif aman dan bagus karena menyumbang manfaat bagi publik atau komunitasnya.

Apa saja persoalan yang kerap dilakukan oleh Lembaga Penyiaran Swasta berskala nasional tersebut?

Barangkali yang kita lihat dulu mengenai sejarahnya, misalnya munculnya stasiun televisi swasta seperti RCTI di awal tahun 1990-an. Sebenarnya pada saat itu tidak ada undang-undang penyiaran. Tahun 1997 baru ada undang-undang penyiaran yang sangat pro pemerintah. Undang-undang ini bisa dikatakan tidak berjalan dengan semestinya. Selanjutnya Departeman Penerangan dihapuskan dan dimulainya era kompetisi antar stasiun televisi.

Apakah kompetisi ini dapat menjadi pemicu bagi lembaga penyiaran swasta untuk kerap kali melanggar kaidah-kaidah penyiaran?

Kami lihat ada beberapa hal yang menyebabkan pelanggaran-pelanggaran. Pertama adalah orientasi profit yang luar biasa tinggi dari industri televisi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya acara yang dibuat tanpa dilakukan riset. Membuat acara dengan biaya sedikit tetapi menghasilkan penonton yang banyak. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan profit yang tinggi. Kompetisi dapat dilihat dengan adanya pola antar LPS yaitu "me too program". Maksudnya kalau stasiun TV lain membuat program yang menguntungkan, mengapa saya tidak.

Bisa dijelaskan bentuk-bentuk pelanggaran yang paling dominan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran televisi?

Dalam satu program biasanya terjadi beberapa pelanggaran. Kami mencatat pelanggaran yang utama dari data Januari sampai November yaitu pelanggaran norma kesopanan dan kesusilaan. Kedua, perlindungan anak dan remaja. Ketiga tentang materi seks. Keempat mengenai penggolongan program siaran. Sebuah siaran digolongkan menurut acara remaja, acara anak dan dewasa. Seringkali pelanggaran terjadi karena penggolongan program siaran tidak sesuai dengan kriteria program siaran tersebut. Kelima mengenai ketentuan iklan.

Program-program acara televisi seperti apa yang kerap kali melanggar kaidah-kaidah ini?

Bervariasi, yaitu siaran jurnalistik dan non jurnalistik. Kami lihat yang paling banyak mendapat sanksi ini adalah siaran non jurnalistik. Kalau dari sisi pengaduan publik, justru yang terbanyak adalah siaran jurnalistiknya.

Apakah mungkin pengaduan publik ini juga terkait dengan kesadaran publik terhadap kaidah-kaidah jurnalistik, sehingga kemudian mereka mengambil partisipasi dan peran aktif untuk menggugat?

Saya rasa bukan karena jenis programnya yang membuat mereka sadar akan jurnalistik, tapi karena siaran tersebut membawa dampak yang besar bagi publik. Melihat pengaduannya, saya rasa memang hanya kebetulan saja untuk siaran jurnalistik. Mereka sebenarnya melihat suatu dampak yang besar dari suatu siaran.

Kita tahu bahwa televisi menggunakan fasilitas berupa frekuensi publik, artinya ada kepentingan publik yang harusnya juga dilindungi atau dijaga. Bagaimana menjembatani antara yang profit dengan yang sifatnya publik?

Kami melihat bahwa seharusnya adanya kesadaran dari setiap insan lembaga penyiaran televisi dan radio, bahwa mereka menggunakan ranah publik. Ketika menggunakan ranah publik maka mereka harus sadar bahwa mereka menyampaikan siarannya kepada publik yang heterogen besar. Heterogen ini dari berbagai kelompok terutama usia, pendidikan dan sebagainya.

Artinya segmentasi pemirsa itu sangat beragam?

Betul, sangat beragam. Artinya kehati-hatian harus sangat diutamakan karena menyampaikan siarannya kepada kelompok yang beragam ini. Mereka harus berhati-hati dalam waktu penayangannya. Misalkan sebuah program anak-anak, apakah sudah sesuai dengan jam tayangnya atau tidak, serta lihat norma dan budaya penontonnya. Jangan lupa juga, khusus untuk televisi itu adalah media yang gampang sekali masuk ke ruang keluarga. Orang bisa menonton dari pagi sampai pagi lagi, jadi kemungkinan untuk ditonton oleh khalayak yang beragam ini juga sangat besar. Seharusnya ada kesadaran ketika memakai frekuensi milik publik, maka harus berada pada koridor etika dan aturan yang ada.

Dalam banyak kasus kerapkali kita menemukan ada hal-hal yang sifatnya privat yang dipaksakan menjadi program televisi. Mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi?

Seharusnya menyampaikan sesuatu hal kepada publik haruslah tepat dan etis. Seringkali inilah yang tidak menjadi perhatian dari lembaga penyiaran dan menyebabkan permasalahan. Lembaga penyiarannya tidak melihat hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang penting. Pelanggaran-pelanggaran penyiaran tersebut membuat kita bertanya, apakah pantas siaran tersebut dan di manakah hati nurani mereka untuk menyiarkan itu?

Jadi sebenarnya rujukan dari para pengelola televisi ini apa? Apakah rating, kepentingan publik atau tuntutan keuntungan dari pemiliknya?

Berdasarkan pertemuan saya dengan para SDM penyiaran dalam berbagai kesempatan diskusi dengan mereka seperti melalui workshop atau seminar, mereka seringkali mengatakan bahwa mereka dikejar oleh rating untuk mencari keuntungan, tetapi tidak terkena sanksi KPI. Tapi mereka seringkali kebablasan dalam menyiarkan, antara lain melanggar privasi. Mereka lupa dengan adanya aturan dari KPI.

Publik mencatat bahwa kerapkali ada acara tertentu yang kemudian sudah mendapatkan sanksi dari KPI kemudian mereka hanya berganti nama. Tetapi secara substansi, esensi dan formatnya itu sama. Apakah ini bisa dibenarkan dari sisi aturan?

Kasus yang sering kali dibicarakan publik adalah kasus "Empat Mata" menjadi "Bukan Empat Mata". Mudah-mudahan itu cerita masa lalu yang tidak akan terulang lagi. Waktu itu memang dalam aturan KPI belum mengatur tentang hal ini. Tapi saat ini sudah ada aturan tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2012. Ketika sebuah siaran mendapat sanksi dihentikan sementara, maka dia tidak boleh menampilkan acara tersebut meskipun nama acaranya diganti. Bagaimanapun ketika dikenakan sanksi dia harus grounded dulu siarannya, dia tidak boleh berganti nama, dan tidak boleh berganti baju begitu saja.

Apakah P3SPS sudah disosialisasikan kepada insan televisi?

Kami punya kewajiban mensosialisasikan dan itu sudah kami sosialisasikan. Menurut undang-undang, stasiun televisi sendiri wajib mensosialisasikan P3SPS ke internalnya masing-masing.

Seringkali pihak televisi berdalih memproduksi acara karena keinginan dari masyarakat. Bagaimana KPI menangggapi hal ini?

Keinginan pemirsa sering kali jadi debat dan kontroversi, apa iya karena keinginan pemirsa. Keinginan pemirsa itu dibentuk oleh siapa? Dibentuk oleh televisi juga kan? Persoalan yang ada selama ini adalah televisi tidak memberikan tontonan alternatif. Kita ambil contoh sinetron "Para Pencari Tuhan". Sinetron ini baru saja mendapat penghargaan sebagai Program Ramadhan Terbaik dalam Anugerah KPI 2012 kemarin. Sinetron ini merupakan tontonan alternatif dan terbukti bisa populer. Tapi kita tahu bahwa sinetron ini dipersiapkan dengan cara yang berbeda dengan sinetron-sinetron mainstream lainnya. Naskahnya bagus, pemainnya bagus dan membawa suatu pesan. Harapan kami dan tentu juga harapan masyarakat bahwa tayangan-tayangan semacam inilah yang hadir di televisi kita.

Jadi atas dasar apa mereka membuat acara?

Apakah proyeksi acara ini menguntungkan atau tidak, acara ini berbeda dengan yang lain dan sebagainya. Saya melihat peniruan dilakukan oleh satu stasiun televisi kepada stasiun televisi lainnya atau disebut "me too program". Kalau satu stasiun televisi sukses membuat suatu acara atau program, maka biasanya ditiru oleh stasiun televisi lainnya. Kemiripan antar acara itu banyak terjadi, dan itu sebenarnya menyedihkan. Di manakah kreatifitas? Padahal yang namanya kreatifitas, bukankah itu jadi inti dalam industri kreatif yang bernama televisi?

Apakah suatu sanksi diberikan kepada suatu program acara atau bahkan sampai dengan host nya?

Menurut Undang-Undang yang bertanggung jawab adalah lembaga penyiarnya. Kami mengirim surat peringatan yang ditujukan unutk direktur utama dan disebutkan untuk program acara apa yang diberi sanksi. Lembaga penyiaran sering menyebut surat teguran adalah "surat cinta KPI".

Berapa jumlah sanksi sejauh ini?

Sampai saat ini sudah 91 sanksi administratif. Sanksi yang berupa teguran pertama, teguran kedua, pemberhentian sementara, sampai pembatasan durasi. Kami juga bukan hanya memberikan sanksi tapi juga himbauan.

Bagaimana dengan pengaduan publik?

Kami melakukan pengawasan isi siaran melalui dua mekanisme. Pertama memantau isi siaran. Kami memantau 11 stasiun televisi yang bersiaran dengan sistem berjaringan. Pemantauan ini dilakukan 24 Jam. Ada analis-analis yang duduk 24 jam di depan layar dan mencatat "dosa-dosanya" televisi dengan berpedoman pada P3SPS. Tapi kami juga menerima pengaduan publik dan memprosesnya. Sebanyak apapun pengaduan publik, akan kami verifikasi terlebih dahulu. Kami akan melihat rekamannya, kalau itu menyangkut pengaduan stasiun televisi di daerah maka kami meyerahkan kepada KPID untuk menyelesaikannya. Hingga akhir November ini, pengaduan publik ini sudah berjumlah 43 ribu dan ini terbanyak dalam sejarah KPI. Pengaduan terbanyak itu 31.500 pengaduan pada bulan September yang terkait dengan kasus Rohis (Ekstrakulikuler Rohani Islam di sekolah-red) di Metro TV. Jadi ada talkshow yang dianggap menyudutkan kelompok Rohis. Pengaduannya datang dari kelompok Rohis se-Indonesia. Kami senang karena pengaduan publik yang datang belakangan ini terkait isi siaran di lembaga penyiaran TV maupun Radio itu ditujukan ke KPI. Pengaduan terakhir yang terbanyak terkait kasus Super Trap.

Seperti apa persisnya kasus tersebut?

Ini kasus menjebak orang di toilet umum. Pengaduan ini mengenai program yang menjebak publik dan terdapat kamera di toilet umum. Hal ini merupakan suatu yang tidak pantas. Toilet adalah tempat yang sangat privasi, jadi bagaimana privasi itu dilanggar sangat luar biasa dalam kasus ini. Lembaga penyiarnya membuat toilet umum dengan sistem hidrolik. Orang masuk ke dalam toilet untuk dijebak dan dikagetkan dengan adanya air memancar. Kemudian lantai naik ke atas dan atap terbuka sehingga nongol keluar, dan orang yang ada di luar tertawa. Sangat tidak pantas melihat ada orang masuk toilet, kemudian agak di-blur bagian pahanya seolah-olah dia menggunakan kloset. Artinya orang tersebut masuk ke toilet untuk urusan sesuai dengan tujuannya, kemudian digambarkan di bagian tengah dengan emoticon. Hal itu sangat tidak pantas, walupun pihak stasiun Trans TV mengatakan bahwa itu diperankan oleh talent.

Berarti ada harapan sebenarnya untuk lebih mengontrol Televisi kita?

Pengaduan publik itu sangat berarti untuk KPI, untuk publik itu sendiri, dan untuk lembaga penyiaran. Harus disadari bagi publik seluruhnya, bahwa frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran adalah milik publik. Jadi pemilik sah stasiun TV dan Radio sesungguhnya adalah publik, bukan bos stasiun TV. Publik harus dapat mengapresiasi bila ada acara yang bagus dan bermanfaat, dan publik harus bisa protes kalau ada acara yang buruk.

Televisi ini memiliki beberapa fungsi, seperti menghibur, mendidik, dan memberi informasi kepada masyarakat. Indonesia adalah negara yang sangat plural karena ada nilai-nilai keberagaman. Bagaimana Anda melihat televisi yang ada saat ini telah memfasilitasi ke arah sana?

Dalam beberapa hal kami melihat ada sejumlah tayangan yang sangat bagus karena menampilkan atau membuka ruang yang sangat demokratis dan menampilkan budaya yang sangat luar biasa. Tapi kami juga melihat ada di beberapa stasiun televisi, di mana acara-acara semacam ini makin lama makin bergeser oleh hiburan. Misalnya banyak acara siaran berita yang dahulu muncul di primetime dan harusnya ditunggu publik karena bermanfaat, namun menjadi bergeser karena sinetron. Itu banyak terjadi pada beberapa stasiun TV.

Ada sebuah acara investigasi atau talkshow yang membuka ruang demokratis dan bermanfaat bagi publik itu hilang, dikarenakan ada acara hiburan yang jauh lebih menguntungan dan memiliki rating yang tinggi. Oleh karena itu pada P3SPS, kami menerapkan siaran layanan umum atau disebut Public Service Content. Televisi dan radio harus menyiarkan atau memberikan porsi yang lebih besar kepada siaran layanan umum yang memberikan manfaat kepada publik.

Literasi media itu penting. Bentuk-bentuk edukasi terhadap publik supaya lebih sadar media itu apa?

KPI punya program yang dipersiapkan secara serius. Di hulu kami membuat regulasi, kami telah terapkan sanksi dan menganalisi isi siaran. Di hilirnya masyarakat harus berbuat sesuatu kalau ada siaran yang tidak sehat. KPI atau KPID tidak bisa sendirian dalam hal mengajarkan pendidikan keterampilan literasi media kepada masyarakat. Oleh karena kami bersinergi dengan kelompok lain seperti LSM, di kampus, dan kelompok sosial keagamaan. Kelompok-kelompok ini memiliki peran yang sangat besar dalam hal ini.

Televisi di Indonesia umumnya muncul dan bangkit setelah pasca reformasi. Jelang 2014 nanti, banyak pemilik-pemilik stasiun TV yang bersinggungan dengan kepentingan politik. Bagaimana Anda melihat kepentingan untuk membangun demokrasi dengan kepentingan profit dan kepentingan politik?

Dugaan-dugaan bahwa frekuensi dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik ini sudah nampak. Kami mengatur di P3SPS tentang pasal-pasal jurnalistik yang tidak boleh dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik. Newsroom harus tetap bebas dari kepentingan-kepentingan tersebut, namun dalam prateknya tidak bisa. Hal yang mudah dilihat adalah iklan. Kita sudah sangat jelas melihat iklan-iklan muncul mengenai ini. Sejumlah pengaduan sudah banyak ke KPI yang mengatakan ini mencuri start. Kami bicara dengan KPU dan Panwaslu, tetapi aturan tentang ini belum ada, karena aturan hanya mengatur saat masa kampanye. Netralitas siaran harus dijaga agar penyiaran harus bebas dari intervensi dan netral karena frekuensi siaran itu milik publik.

Televisi yang sehat itu seperti apa?

Gampangnya adalah televisi yang tidak melanggar peraturan KPI, sudah ada aturan-aturannya. Jadi tinggal diikuti saja dan tentu yang bermanfaat juga bagi publik.[Naskah & Foto: PERSPEKTIF BARU]