Jakarta, GATRAnews - Peringatan Natal 2012 menjadi
tonggak sejarah bagi majalah ternama Newsweek yang berbasis di Amerika
Serikat (AS). Sehari menjelang Natal, persisnya pada Senin, 24 Desember
2012 waktu AS, Newsweek menerbitkan edisi cetak terakhir. Majalah yang
pernah hampir merajai pasar media cetak puluhan tahun itu akhirnya
tergerus dengan arus zaman digitalisasi.
Setelah hampir 80 tahun berkiprah dalam bentuk majalah, akhirnya
Newsweek memutuskan beralih ke digital dan mengakhiri edisi cetak
mereka. Seperti diberitakan New Straits Times pada Selasa (25/12/2012),
majalah terbesar kedua di Amerika Serikat ini mengalami penurunan jumlah
pembaca dan penghasilan dari iklan.
Sejak bergabung dengan Daily Beast, majalah nomor dua terbesar di AS
setelah TIME ini mengalami penurunan drastis di edisi cetak mereka.
Dalam 10 tahun terakhir, penjualan mereka menurun 51,5 persen ke angka
1,5 juta. Akhirnya, pengelola majalah itu merasa perlu melakukan migrasi
total ke digital untuk menyesuaikan dengan era internet yang meruyak di
seluruh dunia.
Edisi pamungkas Newsweek itu menampilkan judul besar di halaman
depannya, "#LASTPRINTISSUE". Newsweek menampilkan foto klasik gedung
mereka di tengah kota Manhattan. Memasang tanda pagar (#) di depan
kalimat, New York Post dalam sebuah artikelnya menuliskan bahwa Newsweek
mencoba memakai gaya bahasa "pembunuhnya" yaitu Twitter. Edisi terakhir
ini berisikan kenangan dan perjalanan para punggawa Newsweek dalam
menyajikan berita.
Redaktur Newsweek, Tina Brown, dalam edisi cetak terakhir itu
menegaskan, "Edisi di tangan Anda ini adalah edisi cetak terakhir
Newsweek. Terkadang, perubahan tidak hanya baik, tapi perlu".
Brown berjanji, pada edisi selanjutnya di minggu pertama Januari,
Newsweek akan hadir di iPad, Kindle, dan telepon seluler. "Pada akhir
Februari, Anda akan melihat evolusi total Newsweek Global, yang baru dan
digital, yang saat ini sedang dikembangkan," katanya.
Ironisnya, selama puluhan tahun, majalah ini bersaing ketat dengan
majalah nomor satu di AS: Time. Didirikan sejak tahun 1933 oleh beberapa
keluarga kaya AS pada masa itu - Whitney, Mellons dan Harriman -
Newsweek menapaki puncak popularitasnya saat dibeli oleh Washington Post
pada tahun 1961. Di bawah pimred Osborn Elliot dari tahun 1961 sampai
1973, Newsweek berkutat di isu-isu hak-hak sipil, Perang Vietnam,
perubahan budaya dan korupsi di Washington.
Ketenaran Newsweek meroket setelah mendapatkan banyak penghargaan
jurnalistik dari dalam dan luar negeri, di antaranya National Magazine
Awards, Overseas Press Club Awards dan Gerald Loeb Awards. Penghargaan
yang diterima majalah ini lebih banyak daripada majalah lain di masa
itu.
Andalan majalah ini terletak pada desain sampulnya yang
kontroversial. Terbitan pertama pada 17 Februari 1933, majalah ini
menampilkan tujuh foto yang menjadi bahan berita selama sepekan,
termasuk foto Adolf Hitler di Berlin.
Tahun 1998, Newsweek mulai menjajaki era digital dengan menerbitkan
Newsweek.com. Lebih dari empat juta orang per minggunya pada tahun 2004
mengunjungi situs ini. Namun, New York Post mengungkapkan, kecenderungan
pembaca online yang lebih menyukai berita ringan dan hiburan mematikan
Newsweek yang mengandalkan berita berbobot.
Pada Desember 2003, Newsweek masih menampilkan cover kontroversial
dengan foto Saddam Hussein yang tertangkap plus tulisan besar: "Kami
menangkap dia." Toh gerusan jaman digital tak mampu dibendung. Majalah
ini pun terperosok dalam kemelaratan.
Tahun 2010, melihat trendnya yang semakin turun dan hampir bangkrut,
Washington Post Co sebagai perusahaan induk Newsweek menjual media ini
hanya seharga US$1 kepada miliuner Sidney Harman. Selanjutnya, Newsweek
digabungkan dengan media Daily Beast yang dikelola Harman dan mitranya.
Setelah digenggam grup Daily Beast, majalah ini tetap ingin eksis
dengan menyuguhkan isu-isu terpanas. Pada 2011, cover Newsweek memicu
protes lantaran menampilkan sampul mendiang Putri Diana di samping Kate
Middleton, digabungkan dengan teknik komputer.
Mei tahun ini pun sampul Newsweek kembali menarik perhatian. Majalah
ini menampilkan wajah besar Barack Obama dengan lingkaran halo berwarna
pelangi, headline-nya: 'Presiden Gay Pertama'.
Toh akhirnya Newsweek edisi cetak tumbang juga. Edisi terakhir
Newsweek menjelang pergantian tahun 2012 ke 2013 telah menandai akhir
era print media. Pilihan yang tak terelakkan bagi bagi hampir semua
majalah di dunia adalah beralih dari cetak ke digital.
Meskipun melakukan transisi total ke digital, Newsweek tetap
diramalkan berdarah-darah. Diperkirakan tahun depan, perusahaan media
ini masih akan merugi sekitar US$20 juta. Sebelumnya, Newsweek Daily
Beast dikabarkan telah memecat 60 pegawai demi perampingan anggaran.
Tidak hanya Newsweek cetak yang harus bertekuk lutut dihantam arus
digitalisasi. Pada tahun 2008 dan 2009, banyak perusahaan koran yang
mengalami penurunan pendapatan dari iklan. Beberapa babak belur dan
akhirnya bangkrut.
Beberapa perusahaan media AS yang mengakhiri edisi cetak, di
antaranya adalah Rocky Mountain News, Seattle Post Intelligencer dan the
Ann Arbor News. Yang lainnya mengajukan perlindungan pailit, di
antaranya Tribune Company, Minneapolis Star Tribune, Philadelphia
Newspapers, Chicago Sun Times, Journal Register Co., American Community
Newspapers, Freedom Communications, Heartland Publications, Creative
Loafing dan Columbian newspaper di Vancouver.
Akhir tahun ini, para pembesar di salah satu koran terbesar Inggris
The Guardian tengah berdiskusi soal menghapuskan versi cetak dan
menggantinya dengan online. Dalam beberapa tahun terakhir, Guardian rugi
44 juta pound sterling per tahun.
Berbagai cara koran dan majalah cetak untuk menghemat uang mereka dan
mempertahankan versi kertas. Di antaranya adalah melakukan perampingan,
pemotongan gaji, bermitra dengan media lain untuk rubrikasi,
menghilangkan kolom tidak favorit seperti daftar harga saham atau
mengurangi jumlah halaman.
Beberapa di antaranya mengubah strategi pemberitaan demi menarik
lebih banyak pembaca. Media yang menerapkan strategi ini tidak
menuliskan breaking news, yang sudah pasti kalah dengan internet, dan
lebih menampilkan tulisan analisis dan kontekstual. Untuk tetap
menjaring pembaca 'tradisional' dan modern, beberapa media menerapkan
pemberitaan cetak dan online. Jadi, selain mencetak koran, mereka juga
membuat koran versi digital di internet.
Namun, semua trik itu tidak juga mampu mengembalikan keuntungan
media-media tersebut. Bahkan, media televisi pun terkena dampak
berkembangnya era internet. Wall Street Journal beberapa tahun lalu
menuliskan, salah satunya yang terdampak adalah stasiun televisi NBC.
Tahun 2009, stasiun televisi ini memecat 15 pegawai atau sekitar 6
persen dari jumlah pekerjanya. Jumlah penontonnya juga menurun dari
tahun ke tahun. Solusinya, dia terus melakukan perampingan,
menggabungkan departemen dan menggunakan kembali perangkat lama.
Nah, bagaimana di Indonesia. Ternyata mayoritas media nasional masih
tetap menerbitkan versi print atau cetak. Namun sebagain di antaranya
sudah mulai melakukan tranformasi ke media digital. Selain membangun
news online, media nasional yang umumnya digenggam oleh kerajaan
konglomerasi besar, juga mengemas majalah digital yang bisa diakses
lewat komputer tab dan smartphone.
Bagi media yang tidak mengantisipasi arus digitalisasi, tentunya
tinggal menunggu hari. Siap-siap dilibas era baru media massa: Era
Digital! (HP)