catatan bedah POSTKOMODIFIKASI MEDIA & CULTURAL STUDIES

Acara ini berlangsung Sabtu, 14 April 2012, jam 14.00-17.00 WIB, bertempat di UPBJJ-UT Jakarta Lt. 3, pembicara syaiful HALIM, redaktur liputan6.com, penulis buku tersebut. Berikut beberapa catatan yang dapat saya bagi kepada teman-teman.

Acara diawali dengan cerita tentang kasus video porno Ariel & Luna Maya yang sempat sangat heboh beberapa waktu lalu. Pertanyaannya: apakah itu termasuk peristiwa yang istimewa atau luar biasa? Bagi sebagian besar orang mungkin jawabannya "ya". Tapi menurut Pak Syaiful, bahwa hal itu adalah peristiwa biasa-biasa saja. Apa pasal?

Sebab semuanya adalah rekayasa kerja media semata (bersifat fiktif). Semua tayangan atau cerita yang ada di televisi hanyalah bentuk komodifikasi dari para pekerja media. Lebih dari itu, ketika pengadilan atau lembaga hukum belum menetapkan status hukum Ariel, media telah memberikan vonis kepadanya: bahwa Ariel bersalah, bahwa begitulah kehidupan para artis, dan sebagainya.

Sebenarnya kita bekerja untuk televisi. Mengapa demikian? Bukankah kita menontonnya secara gratis? Sebagian besar masyarakat Indonesia masih suka menonton televisi, bahkan ada yang menghabiskan banyak waktu untuk duduk di depan televisi. Dari sinilah akan bisa diketahui acara apa yang paling banyak digemari, jam berapa saja mereka paling sering nonton, dan berbagai perilaku masyarakat terkait kebiasaan menonton (kajian cultural studies).

Setelah data terkumpul, maka akan diberikan kepada pihak pemasang iklan agar lebih tertarik untuk memasang iklan di media tertentu. Media akan sangat mempengaruhi perilaku dan gaya hidup masyarakat. Pada kondisi tertentu, masyarakat akan mengalami ekstasi komunikasi yang diakibatkan oleh komodifikasi media.

Mereka sejenak ingin melepaskan diri dari kepenatan dan kesulitan hidup, terbuai oleh harapan dan impian semu (hidup glamor dan mewah), mencari hiburan dan menghindari stres, dan berbagai bentuk pelarian lainnya dari realitas hidupnya. Proses mitosisasi media.

Hampir semua acara media televisi adalah tontonan, bukan tuntunan. Sekalipun yang ditayangkan itu adalah progam keagamaan (ceramah, dakwah, audisi, dll) maupun acara yang bernilai pendidikan atau ada sentuhan manusiawi. Intinya adalah komoditas.

Semua tayangan televisi takkan pernah bisa lepas dari profit oriented. Bagaimana memperoleh keuntungan yang besar, bagaimana agar cepat balik modal dan membayar kepada pemberi modal. Maka tak jarang banyak tayangan yang tidak mendidik, tidak berkualitas, berbau porno, tayangan/berita sampah dll.

Komisi penyiaran pun tak dapat berbuat banyak, karena mereka sebenarnya adalah kawan atau agen dari media itu sendiri. KPI hanyalah formalitas semata. Terkait dengan UU atau peraturan yang mengatur media, tak jarang dikebiri oleh media, sehingga tak sedikit media yang malah melanggar.

Postkomodifikasi media tidak saja terjadi pada televisi komersial, tapi televisi yang berbasis news maupun televisi lokal. Walau televisi lokal sering menonjolkan soal budaya dan lokalitas, tapi bagaimana mereka ke depan akan bisa bertahan jika tetap memegang idealismenya. Memang benar bahwa siapa yang menguasai media akan menguasai dunia.

Bagi saya pribadi, pengaruh televisi membawa pengaruh yang cukup besar terhadap gaya hidup dan perilaku masyarakat, cara pandang dan pola pikir, keyakinan dan panutan. Demikian sedikit catatan dari saya.

Pembicara lebih banyak bercerita daripada mengungkap isi buku itu sendiri secara lebih mendalam. Terlebih buku itu juga tidak dijual saat acara berlangsung, sehingga peserta banyak yang belum membaca bukunya. Bagi yang sudah membaca bukunya, akan lebih bagus jika dibuat resensinya.[Trimanto]
gado-gado SANG JURNALIS