perahu kertas, LAUTAN DIGITAL (1)

Media massa tercetak, akan mati atau terus hidup, atau hidup setengah mati? Saya tak mau menduga-duga secara cepat, dan saya harap Anda pun tidak.

Profesor Alwi Dahlan mengungkapkan salah satu (lagi!) bayangan suram tentang media massa "tradisional", khususnya media berbasis kertas dan cetak (print media). Dalam pemberitaan Kompas, Sabtu, 28 Februari 2009, Dahlan menyebut beberapa contoh kematian media cetak di Amerika Serikat dan peralihan majalah ke media online. Lalu ia dikutip wartawan mengatakan, "Kekuatan dan kekuasaan informasi tak lagi dikuasai pada redaksi, tetapi pada pribadi-pribadi." [maaf, saya edit kalimatnya supaya lebih terbaca].

Kabar suram tentang suratkabar tentunya menggelisahkan (khususnya bagi orang yang hidupnya bergantung pada kabar dan suratkabar..hehehehe). Benarkah media kertas dan cetak akan mati? Ini barangkali pertanyaan paling menjemukan bagi para pengamat dan teoritisi, serta pertanyaan paling getir bagi praktisi dan pengusaha media. Sejak 1970an, ketika para jawara dan filsuf komunikasi mengumandangkan jargon paperless society, berkali-kali muncul prediksi tentang kematian yang sebenarnya tak kunjung tiba itu. Mengapa kelihatannya kita gemar sekali membayangkan kepunahan sebuah tradisi?

Saya menduga ada beberapa perihal yang tak teramati, sehingga bayangan-bayangan tentang kematian itu jadi mengerikan dan berlebihan, kadang juga menggelikan!

The medium is the message

Saya ingin mulai dengan perihal saluran dan makna. Orang yang percaya wejangan McLuhan bahwa the medium is the message sering menyangka bahwa ini artinya saluran lebih penting daripada isi atau makna yang disampaikan, the channel supersedes the content in importance. Kalau dikenakan pada bayangan tentang perubahan teknologi dan kematian koran, maka seringkali orang lalu berkonsentrasi pada perubahan dan pergantian teknologi: dari mulut, ke tanah liat, ke kertas, ke listrik, dan sekarang ke digital. Orang juga lalu percaya, di setiap pergantian teknologi itu ada kematian makna. Alasannya gampang saja: mediumnya sudah punah, begitu pula pesan dan maknanya.

Mungkin perlu sedikit pelurusan. McLuhan tentunya tak bicara soal koran doang. Medium, baginya, adalah perluasan atau ekstensi manusia, baik itu berupa mulut dan tangan, maupun tanah liat, kertas, dan handphone beserta serangkaian gadgetnya. Akan halnya "pesan" (message), ia berkata tentang "the change of scale or pace or pattern" setiap kali ada temuan baru atau inovasi dalam perluasan manusia tersebut. Jadi, perubahan ini bukan melulu soal perubahan teknologinya, tetapi perubahan dalam hubungan antar manusia yang mungkin terbawa oleh teknologi baru.

Kalau kita percaya bahwa teknologi langsung dan pasti mengganti skala, kecepatan, dan pola hubungan antar manusia, maka diskusi kita harus sudah berhenti di sini. Ini ranahnya para penganut determinisme teknologi dan saya harus segera pamit dari ranah itu sebab tak termasuk orang yang percaya tentang keserba-pastian seperti itu.

Menurut saya, daripada serba-pasti mendingan kita simak baik-baik sinyalemen profesor Dahlan tentang "Kekuatan dan kekuasaan informasi tak lagi pada redaksi, tetapi pada pribadi-pribadi." Berhubung sinyalemen itu saya dapat dari koran, mohon maaf kalau saya tidak melakukan konfirmasi ke sang profesor, dan melakukan interpretasi terhadap kalimat itu saja.

Lautan digital dan pilar keempat

Sinyalemen itu, menurut saya, mengandung beberapa asumsi tentang hubungan antar manusia yang ada di tengah suasana yang saya sebut sebagai "lautan digital". Khususnya, sinyalemen itu mengerucut ke sebuah hubungan antara "manusia redaksi" dan "manusia pribadi". Hubungan kedua mahluk berbeda jenis ini sekarang terjadi di tengah luapan (dus, lautan) informasi berbentuk digital -yaitu segala yang ada di layar komputer dan ponsel Anda, baik tersambung dengan, maupun terputus dari, Internet.

Di tengah lautan digital kita berasumsi setiap orang adalah produsen sekaligus konsumen, setiap orang adalah procumer. Asumsi ini terkadang agak ekstrim sehingga kita membayangkan ada orang yang mengonsumsi apa yang diproduksinya untuk kepentingan dirinya saja. Misalnya, dia memuat fotonya di Internet dan memandangi fotonya itu sendiri, dan tersenyum-senyum bangga sendiri ketika melakukannya. Ini namanya narsis abissss hehehehe.. Dalam skala besar memang sedang terjadi hal seperti ini. Silakan saja -kalau kalian ada waktu- hitung berapa banyak blog yang diproduksi dan dikonsumsi oleh satu orang -yaitu si produsen dan konsumennya itu sendiri! Di lautan digital, blog seperti itu adalah riak yang hilang setelah tiba di pantai kesadaran.

Apakah "sikon" seperti itu yang akan mengubah hubungan "mahluk redaksi" dan "mahluk pribadi"? Itulah pertanyaan pokok kita!! Seharusnya kita menjawab pertanyaan itu dahulu, sebelum berani mengumumkan kematian koran kertas. Dalam dunia kertas, yang saya bayangkan sebagai "perahu kertas"-nya Sapardi Djoko Damono, hubungan mahluk redaksi dan mahluk pribadi terbangun sebagai pilar kokoh dari sebuah masyarakat ideal tertentu. Kita membayangkannya sebagai "pilar keempat" dari sebuah demokrasi. Kalau kita mengasumsikan perubahan hubungan "mahluk redaksi" dan "mahluk pribadi", kita seyogyianya berani membayangkan perubahan "pilar keempat" tersebut.

Kita harus berani bertanya, seperti anak kecil di sajak Sapardi bertanya tentang nasb perahu kertasnya. Kita harus berani membayangkan, apakah kita akan mengalami yang tertulis di sajak Sapardi itu:

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, "Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."[Putu Laxman Pendit]
gado-gado SANG JURNALIS