ranah PUBLIK

Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Jurgen Hambermas (1962-1989) menyebutkan bahwa ruang publik adalah perantara yang mempertemukan kepentingan negara (state) dan masyarakat (civil society) dalam menciptakan proses komunikasi yang adil, bijak, dan dalam menciptakan pertukaran wacana yang membangun.

“Opini Publik” dalam Kerangka Habermas

Menurut Habermas—seperti juga pemikiran Jaques Derrida, terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empiris-analitik, historis heurmeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (teknis, praktis, atau yang bersifat emansipatoris), walau tidak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan. Sebagai pemburu teori kritis Mazhab Franbkrut, sesungguhnya Habermas melanjutkan proyek Max Horkheimer untuk mengembangkan teori kritis masyarakat berdimensi praksis perubahan sosial.

Pada hakekatnya keberadaan “opini publik” adalah tempat mediasi pertukaran ide di antara masyarakat melalui institusi-institusi yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni ideologi. Antonio Gramsci menyebut institusi dan strukturnya sebagai alat hegemoni (hegemonic apparatuses), seperti sekolah, masjid, gereja, media massa, bahkan arsitektur atau nama jalan. Sesuai dengan namanya, alat hegemoni itu dapat digunakan untuk menyosialisasikan dan mempertahankan ide-ide atau ideologi hegemoni.

Gagasan Habermas tentang “opini publik” ini menunjukkan kebebasan berpendapat dan bertukar gagasan apa pun di ruang-ruang yang disebutkan Gramsci tadi, tapa khawatir atau dihantui ancaman kekuatan negara yang dikondisikan senantiasa mengancam dan menekan masyarakat—ingat konsep penjagaan stabilitas nasional di era orde baru atau negara-negara komunis. Aparatus negara menjadi penjaga masyarakat yang disiplin memberangus pemunculan gagasan-gagasan tentang kebebasan dan demokrasi.

Bagi Habermas, bahasa menjadi medium pertukaran dalam solidaritas simbolik. Bahasa adalah interaksi, intersubjektivitas simbolik yang sifatnya universal. Dan syarat utama interaksi komunikatif ialah ruang publik harus dihormati. Partisipasi dalam debat harus melibatkan sebanyak mungkin peserta yang mempunyai kepentingan langsung. Maka debat tidak boleh dibatasi oleh urgensi untuk segera mengambil keputusan atau bertindak.


“Publisitas” dalam Kerangka Habermas

Media merupakan ruang yang menyediakan pertukaran ide-ide itu melalui bahasa dan simbol-simbol yang diproduksi dan disebarluaskan. Media membentuk sebuah tempat berlangsungnya perang bahasa dan perang symbol (symbolic battle field), untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dan di dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tandingan oleh pelbagai hegemoni tandingan lainnya (counter hegemony). Gagasan ini menunjukkan media sebagai ruang publisitas pertukaran ide-ide hegemoni tadi—sebagai public sphere.

Media adalah perjumpaan antara rasionalitas komunikasi dan rasionalitas strategis. Pada satu sisi, media adalah institusi sosial yang memfasilitasi masyarakat menjalankan diskursus sosial. Di sisi lain, media juga institusi ekonomi yang beroperasi berdasarkan rasionalitas bisnis. Dua sisi ini melahirkan konsekuensi bahwa hubungan antara publik dan media penyiaran tidak sekadar hubungan konsumen dan produsen informasi, tetapi juga hubungan antara paemilik dan penyewa kekayaan publik. Media penyiaran mempunyai beban lebih besar dalam mewujudkan praktik, bermedia yang benar-benar mencerminkan keberagaman minat, kebutuhan, dan nilai masyarakat.


Konsep Ruang Publik dalam Teori Hegemoni Gramsci

Seperti juga teori-teori kritis pada era poststructuralism, teori hegemoni yang digagas Gramsci, penerus Marxisme atau Neo-Marxisme, dibangun berdasarkan teori kekuasaan yang dikembangkan Karl Marx (1818-1883). “Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnya—sebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Hegemoni dapat terjadi dalam berbagai cara dan berbagai keadaan; intinya, hal ini terjadi ketika peristiwa atau teks diartikan dengan sebuah cara yang mengangkat ketertarikan dari satu kelompok terhadap yang lainnya. Hal ini dapat menjadi proses cerdik dalam memaksakan untuk memilih minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideologi dominan,” jelas Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss.

Inti batasan yang dikemukan Littlejohn dan Foss adalah dominasi kelompok dominan (baca: minoritas) atas kelompok lain (baca: mayoritas atau khalayak) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut. Batasan itu menguraikan keberadaan dua kelompok di tengah masyarakat, dengan kelompok minoritas yang berperan “menyuntikkan” ideologinya, sedangkan kelompok mayoritas atau khalayak menjadi pengikut atau sasaran penerimaan ideologi itu.

“Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah,” jelas Eriyanto. “Media secara tidak sengaja menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana dominan yang dianggap benar hingga meresap dalam benak khalayak dan dianggap kebenaran. Sebaliknya, wacana lain diangap salah.”

Dua kutipan di atas menegaskan tujuan kekuatan hegemoni, yakni menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu. Di tingkat makro, Gramsci memetakan pertarungan ideologi-ideologi yang bertemu dan saling berkompetisi, sekaligus memperlihatkan rupa penggagasnya.

Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, Alex Sobur melihat berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. “Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan,” jelas Eriyanto.

Untuk menjawab permasalahan di atas, Penulis akan mengurainya dengan analisis wacana kritis ala Norman Fairclough, yang dimulai dari teks televisi (mikro), produksi teks televisi (meso) yang menghadirkan agenda setting dalam mengonstruksi wacana bermakna berupa teks televisi dengan pendekatan komodifikasi, hingga media televisi sebagai situs budaya popular (makro) yang berada di lingkungan ekonomi politik media.

Ketika teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)—analisis wacana kritis yang dikembangkan Halliday dan Hassan, akan menjelaskan penanda-penanda yang ada di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya.

Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah, ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya mengedepankan aspek idealisme ikut menuhankan rating dan share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining.

Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal “aspek-aspek dan kepentingan” itu agar tetap mendapatkan informasi tentang lingkungannya —bahkan meski dalam keadaan bias. “Watak kolusif genre—produser dan khalayak punya kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama—menyeret perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara, sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada pemirsa,” kata Graeme Burton.

Hubungan sinergis itulah yang menjadikan pesan media dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar. Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media yang secara ketat di bawah kekuasaan negara (state-based power).

Paparan ini berkaitan erat dengan teori konflik Ralf Dahrendorf, yakni berupa pendekatan fungsionalisme bahwa setiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Kata kunci atas konsep ruang publik tersebut dalam teori hegemoni dari Gramsci di media massa saat ini adalah perampasan ruang publik atas nama kekuatan pasar atau regulasi yang berpihak kepada pemilik modal.[]