freedomn OF THE PRESS

Media massa perlu dikontrol dan dikendalikan oleh sistem regulasi yang jelas, cerdas, serta transparan, agar tercipta sistem media yang bertanggung jawab dalam kerangka freedom of the press dan demokratisasi.

Esensi kebebasan pers seperti yang terkandung dalam Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers:
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenankan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memeroleh dan menyampaikan gagasan dan informasi
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

Membaca keempat ayat itu sepintas akan memunculkan kebanggaan bahwa pemerintah telah berubah dalam menyikapi kehidupan pers dibandingkan masa Orde Baru. Pemerintah telah mampu bersikap konstruktif dan proporsional terhadap pers. Pemerintah telah sadar bahwa untuk melindungi hak-hak publik atas informasi, pembatasan terhadap fungsi-fungsi media sebagai institusi sosial harus dihapuskan, termasuk praktik penyensoran dan pembredelan seperti yang pernah dialami majalah mingguan berita Tempo, Editor, dan tabloid Detik usai memberitakan kasus pembelian kapal bekas dari Jerman pada tahun 1992-an.

Kemerdekaan pers benar-benar diberikan kepada seluruh insan pers sebagai hak asasi warga negara. Artinya, pemerintah memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi kalangan wartawan dan media untuk melakukan kegiatan jurnalistik tanpa dihantui ancaman telepon, surat teguran, dan berbagai tekanan dari pemerintah atau lembaga-lembaga tertentu seperti dialami kalangan pers pada zaman Orde Baru. Bahkan, penyensoran yang biasa menjadi momok serius pada orde itu, juga pembredelan atau pencabutan SIUPP, dijamin tidak akan diberlakukan lagi. Termasuk penghalangan kegiatan penyiaran.

Jaminan kemerdekaan itu benar-benar mesti dirayakan bila mencermati isi ayat 3, yang seakan tidak ada lagi tembok penghalang atau firewall yang bakal menghalangi tugas jurnalistik, dari peliputan dan penerbitan atau penyiaran. Dan ayat 4 makin memperjelas keberadaan ”tameng” pers dari ancaman pihak-pihak yang terganggu atas isi pemberitaan melalui pemberian hak tolak. Artinya, wartawan atau media bisa lolos dari kewajiban membocorkan identitas narasumber saat dihadirkan di pengadilan.

Kontrol sosial dari UU tersebut mampu mengakomodir tekanan politik terhadap isi media

Semangat reformasi yang menjadi inspirasi dalam penerbitan ketentuan hukum itu merupakan angin segar bagi kalangan pers yang selama 30 tahun diikat dalam sistem pers Pancasila yang cenderung otoritarian. Artinya, kini saatnya media menikmati alam kebebasan seperti diterapkan dalam kehidupan pers di lingkungan sistem tanggung jawab sosial.

Meski demikian, cobalah perhatikan Pasal 13 UU itu yang mencantumkan pelarangan. Perusahaan pers dilarang memuat iklan: yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau meggangu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Artinya, atas nama iklan bermasalah, pemerintah bakal berkesempatan menggunakan tangan besinya kepada media. Termasuk, sensor atau pembredelan? Bisa jadi. Dan sejak UU ini masih berupa RUU, pasal tersebut memang menjadi sorotan kalangan pers. Bahkan, sebelumnya, pasal itu dilengkapi kata ”berita” dan dicantumkan sebagai ayat 5 Pasal 4 atau melengkapi empat pasal kebebasan pers di atasnya. Dan tidak ada kejelasan soal bagaimana memutuskan masalah tersebut, apa pertimbangannya, dan siapa yang berwenang untuk mengklaim pelanggaran itu?

Kontradiktif pasal-pasal itu bisa menjadi pembuktian soal kecenderungan politik pemerintah terhadap pelembagaan kebebasan pers di Indonesia. Politik kebijakan pemerintah di bidang pers tidak benar-benar didasarkan pada suatu imperatif untuk menciptakan ruang publik media yang demokratis-delibratif, tetapi lebih didasarkan pada rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktik bermedia yang kondusif bagi kepentingan dan legitimasi politik pemerintah.

Penjelasan di atas juga bisa pembalikan atas kekhawatiran pada awal era reformasi bahwa kelompok massa, ormas, dan satgas adalah ancaman paling serius terhadap kebebasan pers pasca-1998. Ingat kasus penyerangan ”pasukan” Tommy Winata ke kantor majalah Tempo terkait pemberitaan Pasar Tanah Abang. Karena, ketentuan hukum yang disodorkan pemerintah dan disetujui DPR dengan label UU No. 40 Tahun 1999 itu justru masih mencerminkan adanya tekanan politis pemerintah terhadap media. Pemerintah sesungguhnya belum mengikhlaskan reformasi di bidang pers, antiketerbukaan, antidemokratis, sekaligus bertendensi menyubordinasikan kebebasan pers kepada kepentingan establishment kekuasaan.

Selain itu perlu juga diwaspadai politik legislasi pemerintah yang bertendensi mengancam institusionalisasi kebebasan pers melalui keberadaan UU KUHP, UU Rahasia Negara, UU Intelejen, UU Pornografi, UU Kebahasaan, juga UU ITE.
Dengan penjabaran tersebut, Penulis berpendapat:
 Masyarakat perlu mencermati ”cacat” UU No. 40/1999 itu untuk dijadikan bahan usulan jucial review ke Mahkamah Konstitusi agar ”cacad” itu dihilangkan. Dengan demikian masyarakat ikut berperan dalam kontrol sosial terhadap ancaman kebebasan pers yang didasarkan UU tersebut.
 Masyarakat perlu mencermati ”cacat” UU No. 40/1999 itu sebagai bahan kontrol sosial bila di masa mendatang pemerintah terbukti menggunakan tangan besinya dalam penyingkiran hakekat kebebasan pers, misalnya dengan melakukan class action atau tekanan-tekanan langsung yang melibatkan massa.
 Masyarakat juga perlu mencermati keberadaan seperangkat UU lain yang bertendensi mengancam institusionalisasi kebebasan pers sebagai bahan kontrol sosial bila di masa mendatang pemerintah terbukti menggunakan tangan besinya dalam penyingkiran hakekat kebebasan pers, misalnya dengan melakukan class action atau tekanan-tekanan langsung yang melibatkan massa.

UU No. 40/1999 mengakomodir pengaruh ekonomi (bisnis) terhadap isi media

UU No. 40 Tahun 1999 juga mengatur aspek ekonomi, seperti tercantum pada Bab IV. Pasal 9:
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia

Pasal 9 memberikan peluang seluas-luasnya bagi siapa pun (baca: pengusaha dan negara) untuk beramai-ramai melakoni bisnis media. Artinya, ranah ini tidak lagi murni berisikan kalangan jurnalis yang ingin menorehkan ”idealisme”nya melalui bisnis media. Siapa pun Anda, asal memiliki cukup modal dan badan hukum yang sah, maka berhak berbisnis media dan menjadi bagian dari kehidupan jurnalisme, termasuk merasakan kesakralan freedom of the press—bahkan kebebasan pers yang diartikan sebagai peraihan keuntungan. Kenyataan ini membuat media-media yang tergolong yellow journalism pun berdiri dan bergerak bebas, tanpa ada kekhawatiran ”diganggu” persoalan nilai atau moral. Karena, negara telah menyediakan peluang dan menjamin kelangsungannya.

Sanat masuk di akal, bila media ”sekelas” majalah Playboy Indonesia atau surat kabar Lampu Hijau bisa leluasa menyeruak di antara media lain, yang dirintis untuk menyuntikkan informasi dan pendidikan seperti di atur secara rinci dalam UU Pers. Persoalan tuntutan Front Pembela Islam atas majalah Playboy Indonesia adalah masalah lain. Yang penting, ketentuan hukumnya menyediakan ruang itu.

Pasal 11: Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pasal ini membuka peluang bagi pengusaha-pengusaha asing, kalangan pers atau bukan, untuk ikut merayakan suka cita reformasi di bidang media di negara ini. Artinya, era modernisasi (kapitalisme) semakin menganga dan mendapat kesempatan besar untuk menekan kehidupan media di negeri melalui sisi ekonomi. Ketika modal besar bicara, ketika untung-rugi diperhitungkan, ketika idealisme sekadar bingkai artefak yang bakal difosilkan, maka media pun harus bersiap-siap merayakan suka cita komodifikasi ala ekonomi politik media, seperti dipaparkan Vincent Molco.

Menurut Penulis keberadaan dua pasal dalam UU No. 40/1999 itu sangat mengakomodir pengaruh ekonomi (bisnis) terhadap isi media. Melalui ketentuan hukum itu, perancang UU itu benar-benar sangat mempersiapkan lahan kapitalisme di bidang media di negeri ini dengan begitu luasnya. Gol akhir dari regulasi ekonomi itu adalah kekuasaan yang tertumpu pada persaingan secara terbuka dan sebebas-bebasnya (market-based powers). Media terkuat dan terkaya akan memainkan hegemoninya kepada khalayak seraya melindas media-media kecil yang lemah dan bermodal alakadarnya. Pada puncaknya, menurut Penulis, media cetak hanyalah berisi sampah-sampah senilai dua ribu atau tiga ribu perak dan media televisi berisikan dosa-dosa yang bisa dinikmati dengan kesediaan mencumbui iklan-iklan.[]