homogenitas PROGRAM TELEVISI

Konten media televisi Indonesia masih berkutat pada tayang-tayang homogen yang memiliki kualitas buruk, seperti sinetron, infotainment, dan lain sebagainya. Hal ini bisa disebabkan kepemilikan media, rating, agenda setting pihak tertentu, bahkan hegemoni budaya. Bagaimana menguraikan benang kusut itu? Strategi dan taktik apa yang harus dilakukan sebagai solusi? Buat juga uraian keterlibatan seluruh stakeholders, tanpa ada lembaga kontrol publik penyiaran atau para pekerja.

Untuk menjawab permasalahan di atas, Penulis akan mengurainya dengan pendekatan cultural studies. Penulis merupakan penonton kritis yang mencoba membongkar seluruh kekusutan itu beranjak dari teks televisi sebagai artefak budaya popular. Uraian ini mengacu pada analisis wacana kritis ala Norman Fairclough, yang dimulai dari teks televisi (mikro), produksi teks televisi (meso) yang menghadirkan agenda setting dalam mengonstruksi wacana bermakna berupa teks televisi dengan pendekatan komodifikasi, hingga media televisi sebagai situs budaya popular (makro) yang berada di lingkungan ekonomi politik media.

Ketika teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)—analisis wacana kritis yang dikembangkan Halliday dan Hassan, akan menjelaskan penanda-penanda yang ada di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya.

Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah, ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya mengedepankan aspek idealisme ikut menuhankan rating dan share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining.

Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal “aspek-aspek dan kepentingan” itu agar tetap mendapatkan informasi tentang lingkungannya —bahkan meski dalam keadaan bias. “Watak kolusif genre—produser dan khalayak punya kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama—menyeret perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara, sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada pemirsa,” kata Graeme Burton.

Hubungan sinergis itulah yang menjadikan pesan media dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar. Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media yang secara ketat di bawah kekuasaan Negara (state-based power).

Agus Sudibyo menggambarkan secara kritis fenomena state-based power dalam penyelenggaraan kegiatan penyiaran pada masa Orde Baru. Persisnya, ketika pemerintah memegang kendali penuh atas izin frekuensi, izin usaha, dan pengawasan, stasiun-stasiun televisi yang milik segelintir pengusaha. Memasuki era reformasi, ketika semangat mengembalikan kepemilikan ranah publik ke publik melalui Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 membara, sempat mencercahkan sedikit cahaya public-based power.

Belakangan, tambah Sudibyo, atas dasar kompromi-kompromi para politisi, pemerintah, dan pengusaha, perlahan-lahan public-based power bermetamorfosis menjadi bauran state-based power dan market-based powers. Dalam artian, penguasaan kegiatan penyiaran yang dikendalikan Negara dan keinginan pasar (baca: pengusaha media).

Dalam kondisi itu, masalah objektivitas dalam penyajian berita di televisi pun mulai dipertanyakan. Ketika rating dan share mendapatkan kesempatan menjadi “dewa”, mungkinkah media masih memperlihatkan rona idealismenya? Dalam pengertian, tetap objektif, netral, dan independen? Jangan-jangan kondisi ekonomi dan politik media membentuk format berita menjadi makin tidak objektif? Bahkan, tidak malu-malu memuat kekerasan simbolis, yakni kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan dari korbannya sejauh mereka tidak sadar melakukan atau menderitanya—seperti dikemukakan Pierre Bourdie dalam Sur la Television, Paris: Raison d’Agir.

Parahnya, seluruh stasiun televisi ikut bersama-sama merayakan kekonyolan-kekonyolan itu. Lantas, bagaimana mengurai benang kusut itu?

Berikut ini paparan sederhananya:
a. Sejarah industri penyiaran Indonesia dilahirkan tidak dengan cetak biru sistem penyiaran yang jelas. Munculnya RCTI sebagai stasiun televisi swasta nasional pertama lebih menunjukkan keharmonisan hubungan Negara (state-based power) dan pengusaha dari Cendana (market-based powers). Termasuk juga pemunculan stasiun televisi swasta nasional lainnya.
b. Modal besar dan upaya mengembalikan modal, bahkan meraih keuntungan selekas-lekasnya, sangat disokong pemerintah, dengan membiarkan RCTI melepaskan decodernya. Bahkan, peluang itu ramai-ramai dinikmati stasiun televisi swasta lain, sekaligus mematisurikan TVRI. Persaingan peraihan pemirsa yang bertumpu pada rating dan share pun tak terhindarkan.
c. Datangnya era reformasi menjadi momen berharga bagi kalangan reformis untuk mengembalikan private-sphere yang dikuasai sekelompok pengusaha kepada public sphere. Karena sesungguhnya angkasa milik publik, bukan milik Negara apalagi pengusaha. Maka, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran pun dilahirkan, dengan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai representasi publik dan menghilangkan peran Kementrian Komunikasi dan Informasi.
d. Bulan madu public-sphere seperti digagas Jurgen Habermas ternyata perlahan-lahan menguap seiring dengan kegigihan pengusaha yang ingin usahanya langgeng, pemerintah yang ingin bernostalgia dengan masa keemasannya sebagai penguasa tunggal seluruh bisnis penyiaran, dan kalangan legislatif yang tak kuat iman. Konspirasi itu pun sepakat melahirkan sejumlah Peraturan Pemerintah (49, 50, 51, dan 52) yang “semangat”nya mengebiri UU No. 32/2002, sekaligus mengerdilkan KPI dan mengherokan kembali peran pemerintah. Maka, bulan madu public-sphere itu pun berakhir dengan tampilnya kolaborasi paling dasyat state-based power (pemerintah) dan market-based powers (pengusaha).
e. Untuk mengembalikan kepemilikan sah angkasa kepada khalayak (public-based power), khalayak harus mendesak anggota dewan dan pemerintah untuk menganulir peraturan pemerintah yang mengerdilkan UU No. 32/2002. Dengan begitu peran perizinan frekuensi dan pengawasan mutlak berada di tangan masyarakat (diwakili KPI).
f. DPR harus mendesak pemerintah untuk tidak lagi terlibat dalam praktik perizinan dan melepaskan kenangan nostalgianya kepada publik, serta tidak lagi memberi peluang bagi pengusaha dan pemerintah untuk melanjutkan “bulan madu”nya.
g. Kalangan pengusaha media harus bersiap-siap menyambut pemberlakukan UU No. 32/2002 yang di antaranya menyelenggarakan siaran berjaringan. Sehingga ketentuan hokum itu bisa segera diberlakukan dan karut-marut pertelevisian ini menjadi lebih panjang. Penuhanan terhadap rating dan share segera dihentikan. Dan saatnya memberikan kesempatan kepada khalayak untuk mendapatkan apa-apa yang sesungguhnya dibutuhkan, bukan justru menjadikan khalayak sebagai audience commodification.[]