Dalam teori konflik, Ralf Dahrendorf (1958) yang non-Marxian menjelaskan bahwa konflik sosial erat dengan peran kewenangan seoseorang dalam jabatan dan kepentingan (beda dengan pemikiran Marx tentang konflik kelas), sehingga membentuk polarisasi antara kelas penguasa dan kelas yang ditundukkan.
Perbedaan nyata antara pemikiran Marx dan Dahrendorf dalam melihat situasi media
Teori konflik Marx atau Dahrendorf didasarkan pada pemahaman Max Weber dalam melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memilki makna subjektif. Karena itu, perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial itu menjadi ”sosial”, kalau yang dimaksud subjektif atas perilaku sosial itu membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat.
Menurut Karl Marx, kehidupan sosial-budaya ditentukan dari pertentangan antara dua kelas yang terlibat dalam proses produksi, yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat-alat produksi dan kaum proletariat yang diandaikan hanya berhak melahirkan keturunan. Sedangkan pandangan Ralf Dahrendorf terhadap pendekatan fungsionalisme bahwa setiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Tiap-tiap unsur itu berintegrasi satu sama lain dengan baik.
Yasraf Amir Piliang memandang teori konflik Karl Marx itu sebagai konsep kekuasaan dalam kerangka hubungan yang mutlak antara kelas-kelas yang mendominasi dan yang didominasi dalam masyarakat—antara yang menekan (oppressor) dan yang tertekan (oppressed), antara yang menyisihkan (alienating) dan yang tersisihkan (alienated). Kekuasaan, menurut versi Marxisme adalah kekuasaan yang dibutuhkan oleh kelas sosial (kelas penguasa) untuk mereproduksi model produksinya yang dominan—kekuasaan untuk mengeksploitir kelas yang dikuasai.
Batasan di atas memilah hubungan dua kelas di tengah masyarakat, yakni kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. Dalam teks lain, kekuasaan itu disebut juga sebagai ideologi: Karl Marx (1818-1883) dan dan Fredrich Engels ((1820-1895) melihat ideologi sebagai fabrikasi atau pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat.
Teori kekuasaan ala Karl Marx itu identik dengan ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. Dalam batasan-batasan lain, hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. Selain itu, politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu, seperti diuraikan Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss di bawah ini: Marx meyakini bahwa masyarakat adalah sarana produksi yang menentukan struktur dari masyarakat itu. Disebut hubungan superstruktur dasar (base-superstructure), gagasan ini adalah ide bahwa ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Marx paling prihatin dengan akibat kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi, memercayai bahwa keuntungan berasal dari produksi… Ekonomi berasal dari politik, yang oleh Marxisme klasik sering disebut kritik ekonomi politik (the critique of political economy).
Dengan demikian teori konflik Karl Marx yang identik dengan kekuasaan atau ideologi memuat poin-poin:
(1) kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan.
(2) ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat.
(3) hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme.
(4) politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu.
Sebaliknya dengan teori konflik Ralf Dahrendorf yang melihat masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Tiap-tiap unsur itu berintegrasi satu sama lain dengan baik. Kata kunci atas gagasan Dahrendorf adalah liberalisme atau pertarungan sebebas-bebasnya seluruh komponen masyarakat tanpa ada campur tangan pemerintah. Kekuasaan diserahkan kepada masyarakat sebagai subjek sekaligus objek. Teori dioperasionalisasikan, menurut Penulis, bisa dilihat pada dimensi kedua model peristiwa komunikatif, yakni discourse practice yang meleburkan ”pertarungan” produksi teks dan konsumsi teks.
Pemerintah sebagai regulator bertindak sebagai wasit yang baik, tanpa ikut campur tangan dalam wilayah operasional. Contoh kasus ini adalah ”kekuasaan” Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menjadi representasi masyarakat untuk menangani dan mengawasi penyelengaraan dunia penyiaran di Tanah Air. Dsan tugas penanganan dan pengawasan itu bukan lagi wewenang Kementerian Komunikasi dan Informasi—bandingkan dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Depertemen Penerangan pada era orde baru dulu. Lebih jauh tentang jabaran gagasan Dahrendorf bini dipaparkan pada poin di bawah ini.
Teori konflik Dahrendorf menjelaskan pemanfaatan media oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik dan bisnis
Sejak bergulirnya era reformasi, tidak bisa dipungkiri lagi, media menikmai euphoria yang teramat sangat. Lebih dari 30 tahun dikerangkeng dalam penjara Pers Pancasila (baca: otoritarian ala Orde Baru) membuat media hiruk-pikuk merayakan alam bebas berpolitik, berpendapat, dan berdemokrasi, juga berekonomi. Pemberlakukan Undang-undang Pers membuat media merasa memiliki alasan untuk menikmati kebebasan itu dalam alam liberalism. Khalayak juga dihadapkan banyak pilihan terhadap hegemoni-hegemoni baru di era reformasi. Para pemilik modal di belakang media merupakan kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Euforia itu juga ditandai perayaan-perayaan memainkan objek wacana. Wacana-wacana yang didesain dengan makna khusus (baca: memburu jumlah tiras di media cetak (rating dan share di media elektronik) seakan menjadi pembuktian kebenaran model komunikasi televisual ilmuwan dari Mazhab Birmingham Stuart Hall melalui publikasi dalam Encoding and Decoding the Televisual Discourse. Bahwa jauh sebelum teks budaya popular itu disuntikkan kepada khalayak, sesungguhnya media telah “menyiapkan” wacana yang “bermakna”. Dan “wacana bermakna” itu adalah pencapaian tiras serta rating dan share.
Singkatnya, awal orde reformasi merupakan perayaan hegemoni media paling akbar yang pernah terjadi di Tanah Air. Media, apa pun jenisnya, berkesempatan mengumbar kekuasaan-kekuasaan kelas minoritasnya yang diyakini bakal mengusai kelas mayoritas yang disinggung Jean Boudrillard sebagai mayoritas yang diam—massa yang tidak membutuhkan kekuasaan untuk mendominasi, memperjuangan ideologi leluhur, menguasai territorial, akan tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan diferensi (perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan sebagainya).
Belakangan hegemoni itu, terutama media televisi, makin disemarakkan perayaan hedonism dan upaya memuaskan mayoritas yang diam tadi. Teks budaya yang dihidangkan media merupakan teks yang jauh dari pemenuhan nilai estetis. Program berita menjadi tidak percaya diri dan ikut berlomba laksana program infotainment demi memburu rating dan share. Pemunculan kasus video porno mirip artis di seluruh program berita di televisi menjadi pembuktian matinya nilai estetis dan objektivitas yang selama beratus-ratus menjadi nilai sakral para jurnalis.
Dan kalau melirik program hiburan, maka teks budaya popular itu makin memperlihatkan keberadaan hegemoni yang berkiblat pada ekonomi politik media. Misalnya saja, program Bukan Empat Mata di Trans7 yang menempatkan pelawak jebolan Srimulat Tukul Arwana sebagai host dari kalangan modern: dengan wardrobe yang berganti-ganti dan bermerk, gaya bertutur yang mencoba cerdas dengan sesekali menyelipkan kosa kata bahasa Inggris, etika pergaulan seperti kalangan modern lengkap dengan “cipika-cipiki”nya, tamu-tamu dialog dari kalangan selebritas yang juga tak kalah modis dan glamor, keakraban dengan teknologi komputer, dan tepuk-tangan penonton yang diminta mengamini pencitraan modernnya. Simbol-simbol itu sudah cukup menjelaskan premis program bahwa fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman se”kaum”, dan gempita perhatian orang lain, akan mencitrakan kaum modernitas. Bahkan, tanpa menimbang latar belakang atau “tampilan” sejatinya.
Atau, nikmati juga perayaan penciptaan efek mitologisasi itu dalam panggung megah Indonesia Mencari Bakat (IMB) di layar TransTV. Di bawah gemerlap lampu berkekuatan ribuan Watt, properti yang disulap mengikuti tema-tema tertentu, busana dan kostum para peserta yang tidak main-main, tata rias dan model rambut peserta yang mengubahnya menjadi “orang lain”, iringan grup musik yang luar biasa, juri-juri yang merupakan ikon-ikon budaya populer dengan pencitraan modernnya, juga riuh penonton sebagai penyaksi langsung penobatan ikon-ikon budaya popular baru itu. Dalam tempo delapan bulan, nama-nama Klantink, Putri Ayu, Brandon, Hudson, Rumingkang, dan sejumlah nama atau kelompok lain, ber”metamorfosis” tanpa bisa diduga dan dibendung. Khalayak tidak pernah mempertanyakan latar belakang atau kondisi nyata mereka, meski sesekali stasiun itu memutar video tape (VT) kondisi nyata mereka. Tiba-tiba, panggung megah itu menyulapnya menjadi “selebritas” atau mitos-mitos baru panggung hiburan, dengan “framing” standar: fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman se”kaum”, dan gempita perhatian orang lain.
Kedua program itu juga menjadi pembuktian keberhasilan penerapan komodifikasi yang oleh Vincent Mosco dilukiskan sebagai cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga program televisi, dalam bingkai ekonomi politik media, mesti dikomodifikasi sebagai komoditas yang benar-benar disukai khalayak (content comodification), meski hal itu sesungguhnya bukan kebutuhan khalayak. Bahkan, khalayak pun dijadikan komoditas yang bukan sebatas dipaksa menimati pencitraan produk-produk yang diiklankan dalam dalam commercial break, tapi juga dipancing untuk mengirimkan short message service (SMS) dengan ongkos yang tak murah.
Menurut Penulis, itulah gambaran kekuasaan hegemoni di dunia pertelevisian saat ini. Media cetak sudah lebih berpengalaman bermain-main dengan kekuasaan politik atau ekonomi. Analisis wacana atau analisis wacana kritis—dengan varian apa pun—akan membongkar rupa-rupa hegemoni di balik teks budaya popular yang diproduksi media di Tanah Air.
Harapan terbaik teori konflik dari Dahrendorf apabila melihat situasi media kita sekarang
Gagasan utama atas teori konflik Dahrendorf dalam kondisi media di Tanah Air saat ini sejalan dengan gagasan Yasraf Amir Piliang: kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest) yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang dtawarkannya. Media yang seharusnya menjadi ruang publik (public sphere) berubah menjadi ranah pribadi. Publik dan masyarakat pada umumnya, berada di antara dua kepentingan utama media, yang menjadikan mereka sebagai mayoritas yang diam, yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi di ranah publik (public sphere) milik mereka sendiri. Pada akhirnya, kepentingan-kepentingan itu menjelmakan hiper-realitas media—istilah yang digagas Jean Baudrillard, yang di dalamnya objektivitas, kebenaran, keadilan, dan makna sebagai kepentingan publik dikalahkan oleh subjektivitas, kesemuan, dan pemainan bahasa (language game); politisasi media; dan kekerasan simbolik. Dampak atas ketiga penjelamaan itu adalah disinformasi (informasi tak layak dipercaya), depolitisasi (pembentukan mayoritas diam), banalitas informasi (informasi tak bermanfaat), fatalitas informasi (pembiakan informasi ke titik ektrem ke arah bencana), skizoprenia (keterputusan antar pertandaan), dan hiper-moralitas (lenyapnya batas-batas moral).
Untuk mencehah berkembangnya hiper-realitas, politisasi media, dan kekerasan simbolik, menurut Piliang: menciptakan kondisi dehiper-realitas (de-hyper-reality), yaitu pengendalian ekstremitas komunikasi dan informasi melalui regulasi, sampai pada sebuah batas, yang di dalamnya informasi yang dapat diinterpretasikan dan dicerna oleh masyarakat secara logis dan bermakna; memperkuat jaringan civic education untuk menciptakan masyarakat warga sebagai mayoritas yang kritis (the critical majorities), yaitu warga yang mempunyai daya kritis, daya tangkal, dan daya resistensi yang kuat terhadap informasi, bukan massa sebagai mayoritas yang diam (the silet majorities); dan menciptakan countermedia, yaitu media-media publik (televisi publik, radio publik, koran publik), yang tumbuh dari publik, diawasi oleh publik, dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik yang sangat beraneka ragam keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan kebebasan).
Menarik mencermati ketiga gagasan itu. Namun, dalam konteks Indonesia, Penulis pesimistis atas pelaksanaan ketiga gagasan secara bersamaan. Sebagai langkah permulaan, Penulis masih sangat menaruh harapan kepada pemerintah dan para anggota legislatif untuk lebih memahami dampak-dampak hiperrealitas, polisatisasi media, dan kekerasan simbolik. Gagasan dehiperrealitas itu harus diawali dari niat baik pemerintah dan anggota legislatif untuk menghidupkan kembali gagasan reformasi dalam cetak biru penyelengaraan kegiatan media dan penyiaran dalam bentuk regulasi. Pemerintah dan anggota dewan harus mencabut peraturan-peraturan pemerintah yang mengkerdilkan ”kekuasaan” Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengkerdilan peran KPI.
Dengan KPI yang lebih bernyali diharapkan niat mengembalikan ranah pribadi yang selama ini digenggam pemilik modal (atas nama pasar) bisa diberikan kembali kepada masyarakat selaku pemilik ranah publik. Dengan begitu, para pengelola media bisa lebih berhati-hati dan mulai mempertimbangkan wacana-wacana yang lebih bermakna (tanpa tanda kutip) khalayak. Inilah langkah awal dehiperrealitas itu.
Di saat bersamaan, kalangan khalayak kritis sudah harus memulai “mengampanyekan” gagasan mayoritas yang kritis untuk menstimuli mayoritas yang diam. Ruang publik yang disediakan media untuk khalayak harus dimanfaatkan seluas-luasnya untuk memulai langkah pengkritikan dan pengawasan atas media. Proses ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tapi, dengan cara kritis kalangan khalayak kritis ini akan menjadi penjaga public sphere yang bisa diandalkan di tengah kondisi sosial budaya yang tak menentu. Bahkan, gagasan inilah yang akan menjadi pemicu “kebaikan dan kelengahan” pemerintah dan anggota dewan dalam pembuatan dan penerbitan regulasi. Poin ini sejalan dengan gagasan Jurgen Habermas, pelanjut proyek Max Horkheimer, untuk mengembangkan teori kritis masyarakat berdimensi praksis perubahan sosial.
Sedangkan gagasan ketiga masih berbenturan dengan ketersediaan modal dan sumber daya manusia. Bahkan, TVRI yang harusnya mulai membuka diri sebagai televisi publik (yang benar-benar untuk kepentingan publik dan bukan sekadar corong pemerintah). Gagasan tentang countermedia memang masih impian.[]