“Kalau neraka distatistikkan, isinya hanya tentara dan kita para wartawan!”. Wartawan, di mana pun berada, memang suka berseloroh antar sesamanya. Namun kalimat yang pernah dikutip Bill Kovack itu bukan sekedar seloroh. Di dalamnya terkandung peringatan sekaligus trauma. Tanpa kehati-hatian dan kearifan, wartawan dapat terjerembab dalam kategori yang sangat antagonistik. Wartawan tiba-tiba dapat sama buruknya dengan para serdadu yang membunuh dan membinasakan atas nama perang. Yakni ketika wartawan berlomba-lomba untuk menyajikan berita-berita yang sensasional dan vulgar tentang konflik, kekerasan, perang, tanpa benar-benar mempertimbangkan dampak-dampak buruknya bagi perikemanusiaan.
Apa yang terjadi dalam tragedi bom dan penyerangan “November 26 Mumbai” 2008 adalah contoh yang gamblang tentang hal ini. Teror bom itu melahirkan cerita horor di mana pers justru memberi andil. Tak lama setelah setelah bom meluluh-lantahkan Taj Mahal Palace Hotel yang elegan itu, beberapa stasiun televisi India nekat melakukan siaran langsung atas proses evakuasi dan penanganan lokasi peristiwa. Pasukan anti teror India tidak berhasil melarang siaran langsung itu karena wartawan televisi melontarkan argumentasi yang sulit dibantah: publik berhak tahu atas apa yang terjadi di Taj Mahal Hotel yang remuk redam oleh serangan teroris. Yang tidak terpikirkan oleh para wartawan yang heroik itu, sejumlah pelaku penyerangan dari kelompok Deccan Mujahidin yang masih terjebak di dalam hotel, dengan menyandera banyak orang, juga turut menonton siaran langsung yang mereka tayangan. Dari layar televisi di dalam Taj Mahal Palace Hotel, mereka mengetahui gerak-gerik pasukan anti teror yang hendak menyerbu hotel. Begitu pasukan anti teror merangsek masuk ke dalam hotel, para teroris segera memberondong mereka dengan tembakan yang mematikan. Belasan polisi India tewas gara-gara kecerobohan stasiun televisi!
Realitas konflik menjadi sangat dilematis bagi pers. Hukum pasar yang bertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong media untuk menyajikan informasi semenarik dan sedramatis mungkin. Meskipun jarang sekali diakui, bahkan selalu disangkal, ramuannya cukup jelas: bad news is good news. Ramuan inilah yang menyebabkan realitas konflik (perang, pertikaian politik, kerusuhan, tawuran, demonstrasi yang anarkhis, dst) selalu menjadi primadona pemberitaan. “Konflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja-kerja jurnalistik,” begitu kata George Wangtang. Konflik selalu menyajikan sensasi dan daya magnetik yang besar bagi publik. Liputan konflik dapat secara signifikan menaikkan oplah, rating, hit, leverage sebuah media. CNN mampu membangun reputasi sebagai media berita utama di dunia melalui liputan-liputan konflik dari berbagai negara. Sejarah juga menunjukkan, salah-satu saat di mana media cetak nasional mencapai oplah tertinggi adalah tahun 1991, tatkala meletus perang Irak-Amerika. Dan hari-hari ini, kita dapat menyaksikan betapa sepuluh menit pertama dalam regular news program televisi-televisi kita, hampir selalu diisi dengan berita soal kerusuhan, demonstrasi yang ricuh, perkelahian atau peristiwa yang terkait dengan terorisme.
Moralitas Media
Namun ketika media lebih berkonsentrasi untuk semata-mata mem-blow up fakta-fakta kekerasan dan dampak-dampak dramatis dari suatu konflik (korban yang tewas, tubuh yang berdarah-darah, bangunan yang porak-poranda dst), muncul pertanyaan seputar moral concern media. Media dianggap kurang peka terhadap segi-segi kemanusiaan dari sebuah konflik dan cenderung memperlakukan konflik semata-mata dari sudut-pandang partikular dari pencari atau pemburu berita.
Dalam hal ini, secara umum media-media nasional dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, mereka dihadapkan pada keniscayaan atau kebutuhan untuk memberitakan konflik, kekerasan, tragedi secepat dan selengkap mungkin untuk memberikan gambaran yang sesungguhnya kepada khalayak. Pilihan ini mengandung resiko media akan dituduh memperunyam keadaan (conflict intensifier). Di sisi lain, media dihadapkan pada tuntutan berbagai pihak untuk turut menciptakan kondisi yang kondusif untuk menyelesaikan konflik (conflict diminisher). Memenuhi harapan ini mengandung resiko media harus menyeleksi --bahkan menutupi-- fakta-fakta yang dianggap sensitif bagi kelompok-kelompok tertentu.
Dilema itu muncul ketika meliput konflik Sara pada awal reformasi dulu : Ambon, Poso, Maluku Utara, Sampit, Pontianak dll. Studi yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menunjukkan, media nasional saat itu terbagi berdasarkan dua pilihan di atas. Di satu sisi, beberapa media menampilkan laporan-laporan yang bombastis, fulgar dan provokatif tentang konflik Sara di Kepulauan Maluku dan lain-lain. Media-media ini secara terang-terangan membagi pihak yang bertikai ke dalam dua kubu yang bermusuhan, serta merekonstruksi konflik yang terjadi dalam konteks “menang-kalah”, “ditundukkan-menundukkan”. Media-media ini juga terpola untuk menyoroti dampak-dampak konflik : ribuan orang yang terbantai, puluhan wanita yang diperkosa, ribuan rumah yang terbakar dan lain-lain. Corak pemberitaan semacam ini tentu saja dapat memperkuat rasa permusuhan di kedua belah pihak dan dapat membuat api konflik semakin membara.
Di sisi lain, banyak media mengembangkan sikap yang sangat berhati-hati dalam memberitakan konflik Sara. Tergerak untuk turut mendinginkan konflik yang tengah berlangsung, pihak media melakukan self-sensorsif secara ketat. Jika terpaksa, peristiwa-peristiwa pembantaian yang terjadi –dan layak diberitakan-- terpaksa tidak diberitakan, jika pemberitaan itu dipertimbangkan dapat menimbulkan pembalasan kelompok lain, baik yang berada di daerah konflik maupun diluar wilayah konflik.
Kedua jenis pemberitaan ini sama-sama mengandung kelemahan. Yang pertama dapat menyebabkan api konflik semakin membara, sedangkan yang keduanya tidak dapat memberikan gambaran tentang realitas konflik kepada khalayak dan tidak memberikan peringatan yang dibutuhkan masyarakat. Pada titik inilah dirasakan urgensi praktek jurnalistik yang tidak mempermasalahkan siapa yang bersalah dan siapa korban, siapa yang menang dan siapa yang pecundang dalam sebuah konflik. Jurnalisme yang dapat mendorong media untuk menyajikan berita yang komprehensif tentang konflik dan kekerasan tanpa dihantui ketakutan diprotes kelompok-kelompok tertentu.
Pada titik ini pulalah pers dituntut untuk berpikir dengan mengedepankan moralitas daripada formalitas. Secara formal, memberitakan konflik yang berdarah-darah bukanlah kesalahan media, bahkan bisa menjadi keharusan. Karena konflik selalu memiliki nilai berita tinggi dan masyarakat membutuhkan informasi sekomprehensif mungkin tentang konflik. Namun secara moral, pers mesti menimbang-nimbang akibat pemberitaan. Pers perlu memikirkan bahwa aturan, etika dan kelaziman-kelaziman jurnalistik yang berlaku dalam dalam kondisi yang normal barangkali perlu dipertimbangkan ulang ketika pers menghadapi situasi yang darurat atau abnormal : situasi konflik, bencana alam, dan lain-lain.
Solusi yang sering dikedepankan dalam hal ini adalah “jurnalisme damai”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Kursus Jurnalisme Perdamaian yang diselenggarakan di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, Agustus 1997. Jurnalisme damai merupakan kritik terhadap “jurnalisme perang” yang dikembangkan media-media Barat. Dalam meliput konflik atau perang di berbagai negara, media-media Barat terpola untuk menempatkan konflik sebagai persoalan “menang-kalah”, “ditundukkan-menundukkan”. Pemberitaan mereka juga terlalu berfokus pada tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi tanpa banyak mengkaji akar konflik, dampak-dampak dan apa pemecahannya.
Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri bagi. Jurnalisme damai melihat perang/pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan ekonomi dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.
Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik itu sendiri. Dalam konflik di Maluku beberapa tahun silam misalnya, jurnalisme damai akan cenderung untuk menceritakan kisah tragis dan traumatik orang-orang yang kehilangan sanak-saudara dan terusir dari kampung halaman; anak-anak yang kehilangan orang-tuanya, ibu yang kehilangan seluruh anggota keluarganya dan lain-lain.
Jurnalisme damai juga lebih berpretensi untuk menonjolkan harapan rekonsiliasi di kedua belah pihak. Harapan si Muslim untuk hidup berdampingan secara damai dan akrab dengan si Kristen yang pernah terwujud di kampungnya. Harapan si obet tentang persahabatannya yang hangat dengan si acan yang sekarang sudah menjadi pengungsi. Jurnalisme damai memberi porsi yang sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak. (majalah Pantau, Edisi 09, 2000:47).
Komodifikasi Kekerasan
Seorang perwira polisi berguling-guling kesakitan. Tangannya putus bersimbah darah setelah gagal menjinakkan sebuah bom di Komunitas Utan Kayu Jakarta Timur. Dengan kondisi mengenaskan, perwira polisi ini digotong menuju mobil ambulans. Seorang petugas keamanan yang juga menjadi korban ledakan bom tergeletak di halaman, beberapa orang berupaya menolongnya.
Sore 15 Maret 2011, horor bom Utan Kayu itu ditayangkan beberapa stasiun televisi. Detik-detik meledaknya bom, potongan tangan yang terlempar ke udara, darah berceceran, perwira polisi yang mengerang kesakitan sambil berguling-guling berulang-kali ditayangkan sepanjang sore hingga malam. Setelah beberapa kali disajikan apa adanya, baru tayangan itu pun disamarkan sehingga darah, potongan tubuh dan wajah korban tak lagi kelihatan.
Apa yang ditampilkan televisi ini benar-benar terjadi. Semuanya faktual, tanpa rekaan. Tak diragukan juga, masyarakat doyan berita semacam itu. Tayangan bermuatan kengerian dan sadisme itu konon sengaja diulang agar masyarakat dapat menangkap momen peristiwa secara utuh.
Persoalannya, karya jurnalistik tidak hanya perihal faktualitas, kecepatan dan ekslusivitas. Karya jurnalistik juga mesti menimbang kepatutan dan dampak. Ruang publik televisi bukan hanya harus memperhatikan apa yang membikin pemirsa memelototi layar televisi, namun juga apa dampak-dampak dari yang mengemuka di layar televisi tersebut. Menarik perhatian publik satu hal. Namun memastikan bahwa yang menarik itu aman bagi pemirsa adalah hal lain yang tak kalah penting.
Dalam konteks ini, persoalannya bukan mengapa sebuah peristiwa diberitakan, tetapi bagaimana pemberitaan dilakukan. Apakah sudah memenuhi kepatutan atau keutamaan ruang publik media? Titik pijaknya cukup jelas, Kode Etik Jurnalistik dan Standard Program Siaran. Kode Etik Jurnalistik menegaskan wartawan Indonesia harus menghindari penayangan berita yang bermuatan sadisme, kekejaman, dan tidak menghormati pengalaman traumatik korban. Standard Program Siaran lebih rinci menyatakan program siaran dilarang menampilkan “secara detail korban yang berdarah-darah, korban/mayat dalam kondisi tubuh yang terpotong, dan kondisi yang mengenaskan lainnya.”
Dari sudut-pandang kode etik dan standard siaran, cukup jelas problematik dalam pemberitaan televisi tentang Bom Utan Kayu. Pertama, ketika momen perwira polisi berguling kesakitan dengan tangan terputus ditayangkan di layar televisi, bagaimana kira-kira perasaan dia, keluarga, handai-taulan dan rekan-rekan kerjanya? Sedih, terguncang, malu, dan seterusnya. Dengan sedikit moralistik perlu dikatakan, media masa semestinya meringankan beban atau memberikan empati, tidak justru menambah kesedihan dan memperdalam trauma mereka.
Kedua, apakah kekerasan, kengerian dan horor dalam peristiwa bom Utan Kayu itu patut disajikan untuk masyarakat dari segala umur dan semua lapisan? Pengaturan pembatasan tayangan yang menampilkan kekerasan, sadisme dan kengerian sudah pasti didasarkan kepada asumsi dan pengalaman bahwa tayangan semacam ini berdampak buruk terhadap psikologi khayalak, khususnya anak-anak. Pemberitaan yang vulgar dan penuh kengerian tentang peristiwa kekerasan juga berpotensi mengintensifkan ketakutan atau kepanikan dalam masyarakat. Meskipun barangkali tujuan media adalah sebaliknya : meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Ketiga, yang juga patut diperhatikan adalah kemungkinan eksposure media televisi justru menginspirasi kelompok-kelompok ekstrim untuk melakukan tindakan teror lebih lanjut.
Keempat, eksposure media televisi yang tidak hati-hati dapat mengintensifkan kebencian atau syakwasangka oleh atau terhadap kelompok agama tertentu. Sebab dalam berita dan talkshow media, sadar atau tidak sadar disebut-sebut identitas seperti : Islam fundamentalis, Islam garis keras, kelompok ekstrim tertentu. Kasus ini dapat dilihat dalam dua frame : kasus kriminal atau kasus kebencian antar kelompok beridentitas agama. Tanpa sadar, media terlalu banyak menggunakan frame yang kedua, melihat kasus bom buku kurang-lebih sebagai masalah agama. Padahal fakta yang lebih gamblang dan jelas adalah kasus tersebut adalah kasus kriminal, dan ini penting untuk menekan penegak hukum agar mengusut tuntas kasus tersebut. Jika kasus seperti bom buku itu direduksi sebagai sekedar masalah agama, justru berpotensi memunculkan alasan bagi penegak hukum untuk membiarkannya dengan alasan kasusnya sensitif, dapat menimbulkan kerawanan sosial.
Terlepas dari beberapa kelemahannya, perspektif jurnalisme damai sangat relevans untuk kondisi Indonesia yang rawan konflik. Bukan hanya merujuk pada konflik-konflik etnis dan agama, namun juga konflik yang senantiasa mewarnai penyelenggaraan pemilu, konflik elit politik yang dapat menyeret konflik antar massa, dan konflik antar kampung, dan lain-lain.
Namun terkait dengan realitas konflik dan kekerasan, bukan jurnalisme damai yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Melainkan jurnalisme “hit and run”, sebagai terlihat dalam pemberitaan teror bom buku di atas. Jurnalisme yang mengedepankan aspek kecepatan penyampaian pesan, dengan mengabaikan kelengkapan, akurasi, keberimbangan, juga dampak pemberitaan. Data penyelesaian masalah pers di Dewan Pers menunjukkan, tingkat pelanggaan kode etik jurnalistik sangat tinggi, baik berupa pelanggaran prinsip keberimbangan, konfirmasi, keakurasian, pemisahan fakta dan opini, juga terkait dengan muatan-muatan pornografi, kekerasan dan sadisme. Kasus yang paling baru, kita dapat menyaksikan betapa fulgar liputan media tentang detik-detik terbunuhnya Muammar Qadhafi. Gambar Qadhafi yang berlumuran darah, menjadi sasaran amuk massa, dipukuli, didorong-dorong, diinjak-injak ditampilkan telanjang oleh beberapa media televisi, dan peristiwa sadistis itu baru disamarkan setelah berkali-kali ditayangkan).
Benturan antara kecepatan dan kelayakan. Inilah yang kerap dihadapi media ketika menghadapi momentum kekerasan. Hasrat untuk memburu kecepatan dan ekslusivitas berita berbenturan dengan imperatif untuk menjadikan ruang media kondusif bagi perwujudan nilai-nilai kepantasan dan keutamaan ruang publik. Dan ketika media memilih untuk mengedepankan kecepatan dan dramatisasi berita tanpa benar-benar mengindahkan dampak bagi berbagai pihak, maka media rentan dituduh mengintensifkan prasangka buruk, kekecewaan bahkan dendam antar kelompok (intensivier of conflict).
Di belakang benturan itu, tentu saja kita mendapati determinasi media-rating, share of audience, oplah, hit. Parameter kuantitatif kepermirsaan atau readership memang suatu keniscayaan dalam industri media. Persoalannya, parameter itu cenderung menjadi satu-satunya referensi dari proses produksi media. Padahal rating misalnya, hanya didesain untuk mengidentifikasi “apa yang sering ditonton masyarakat”, bukan “apa yang aman ditonton masyarakat” atau ”apa yang dibutuhkan masyarakat” dari media penyiaran. Parameter kuantitatif kepemirsaan seharusnya tidak menegasikan parameter kualitatif-voluntaristik: pemberdayaan, pencerdasan dan pengembangan ruang demokrasi dan solidaritas sosial. Karena di dalam diri media, selalu bersanding dua entitas sekaligus : institusi bisnis dan institusi sosial pengembangan keadaban publik.
Persoalannya bagaimana menyeimbangkan parameter kuantitatif kepemirsaan dengan parameter kualitatif-voluntaristik tersebut? Keseimbangan ini mutlak diperlukan agar ada keseimbangan antara fungsi media sebagai institusi bisnis dan sebagai institusi sosial. Namun di sinilah problem utama pers Indonesis dewasa ini. Parameter kepemirsaan atau readership semakin berciri “ideologis”, menjadi satu-satunya tolok-ukur media sekaligus menjadi sesuatu hal yang paling dikejar.
Partikularitas Media
Yang terjadi kemudian adalah kecenderungan komodifikasi yang semakin lama semakin menguat. Menghadapi masalah-masalah kekerasan, yang dipikirkan media (tidak semua) pertama-tama bukanlah bagaimana membantu menyelesaikannya, tetapi bagaimana memberitakannya sedramatis dan sebombastis mungkin sehingga menghasilkan oplah, rating, share atau hit yang tinggi. Ketika menghadapi realitas-realitas kekerasan dan ketika berhadap-hadapan dengan khalayaknya, yang menonjol pada diri media adalah pertimbangan partikular (bagaimana agar dapat sepopuler mungkin dihadapan khalayak dalam korelasinya dengan iklan), bukan pertimbangan universal (pemecahan masalah, rekonsiliasi, deliberasi).
Dengan kata lain kita dihadapkan pada suatu situasi di mana bahwa prioritas pertama media adalah menjaga kontinuitas kepentingan bisnisnya sendiri. Tanpa terlalu banyak mempertimbangkan apakah diskursus media tentang kekerasan dan konflik telah sesuai dengan kepantasan-kepantasan ruang publik atau tidak, dan apakah diskursus itu menghasilkan kemaslahatan bagi publik atau tidak. Meminjam cara berpikir Adam Smith, industri media sepertinya ingin meyakinkan kita semua bahwa, “dengan partikularitas kepentingan masing-masing pelaku media, dan dalam sistem persaingan bebas, pers akan dengan sendirinya memberikan kontribusi-kontribusi positip kepada publik.” Bahwa tanpa perlu banyak pembatasan dan norma-norma, atau dengan regulasi yang minimal, pers akan dapat memainkan peran demokratisnya. Bahwa persaingan antar media untuk mengejar kepentingan partikular masing-masing akan mencapai suatu titik keseimbangan, di mana terbentuk nilai bersama yang bersifat kondusif bagi perwujudan keutamaan-keutamaan publik. “Biarkanlah persaingan bebas dalam bisnis media berlangsung secara ”alami” tanpa banyak aturan dan etika, tanpa banyak complaint tentang norma-norma ruang publik media”.
Rasionalitas media pada titik ini paralel dengan gagasan the invisible hand. Dalam the invisible hand, berlaku prinsip ceteris paribus: hukum ekonomi sebagai satu-satunya unsur penggerak kehidupan. Ketika hukum ekonomi ini bekerja, hukum-hukum lain (etika, politik, moralitas, keadilan, hukum, dan lain-lain) dianggap tidak berperan dan dapat dikesampingkan. Implementasi prinsip ceteris paribus ini dapat kita temukan dalam fenomena media-rating. Rasionalitas rating kurang-lebih berbunyi: nomor-duakan pertimbangan kualitas, kelayakan, dampak, yang pertama perlu dipikirkan adalah bagaimana siaran televisi --tentang realitas kekerasan dalam hal ini-- ditonton banyak orang. “Biarkanlah rating yang menentukan apa yang layak bagi publik, biarkan stasiun televisi berlomba-lomba meraih peringkat tertinggi, eliminir aturan-aturan yang menghambat persaingan, maka dengan sendirinya akan tercapai kebaikan dan kebahagiaan bersama !”. Perlu digarisbawahi, rumus ini tentu tidak berlaku untuk program-program televisi yang memang berkualitas dan bermanfaat bagi publik.
Optimisme Smithian kelihatan di sini. Bahwa pencapaian kebaikan umum (bonum publicum) dalam konteks peran media dianggap tidak harus berawal dari kesengajaan atau niat untuk mengejar keutamaan-keutamaan ruang publik, tetapi lebih merupakan hasil sampingan (unintended consequences) dari kinerja setiap media dalam mengejar kepentingan partikularnya sendiri. Dengan kata lain, keadaban publik dalam ruang media terwujud bukan sebagai hasil solidaritas atau kepedulian media terhadap problem yang sedang dihadapi khalayaknya, tetapi hasil tidak disengaja dari tindakan setiap pelaku media dalam mengejar keuntungan bisnisnya. (Agus Sudibyo, anggota Dewan Perts dan alumnus Program Pascasarjana STF Driyakarya)