Perry Anderson melakukan kritik pedas tentang teori hegemoni kultural dan intelektual Gramsci, dengan mengatakan bahwa Gramsci terlalu mempermudah pemahaman tentang ruang kebebasan publik (pers) dan kekuatan politik koersif dari negara dan pemerintah terhadap pers.
Apa gambaran luas tentang teori hegemoni Antonio Gramsci?
Seperti juga teori-teori kritis pada era poststructuralism, teori hegemoni pun dibangun berdasarkan teori kekuasaan yang dikembangkan Karl Marx (1818-1883). Teori ini dirintis dan dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang disebut-sebut sebagai penerus Marxisme atau Neo-Marxisme. Teori ini sangat berperan dalam pembacaan teks budaya popular secara kualitatif, khususnya terkait pembongkaran teks dan produksi teks media menu menurut metodologi semiotika sosial atau analisis wacana kritis.
“Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnya—sebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Hegemoni dapat terjadi dalam berbagai cara dan berbagai keadaan; intinya, hal ini terjadi ketika peristiwa atau teks diartikan dengan sebuah cara yang mengangkat ketertarikan dari satu kelompok terhadap yang lainnya. Hal ini dapat menjadi proses cerdik dalam memaksakan untuk memilih minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideologi dominan,” jelas Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss.
Inti batasan yang dikemukan Littlejohn dan Foss adalah dominasi kelompok dominan (baca: minoritas) atas kelompok lain (baca: mayoritas atau khalayak) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut. Batasan itu menguraikan keberadaan dua kelompok di tengah masyarakat, dengan kelompok minoritas yang berperan “menyuntikkan” ideologinya, sedangkan kelompok mayoritas atau khalayak menjadi pengikut atau sasaran penerimaan ideologi itu. Ideologi?
Pemaparan Eriyanto soal hegemoni di bawah ini bisa memperjelas batasan yang telah disampaikan di atas.
Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” (secara suka rela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.
Cara penguasaan atau dominasi itu digambarkan Eriyanto melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan. Karl Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu atau representasi palsu. Selain itu, uraian itu juga menjabarkan sekilas perbedaan dimensi ekonomi dan produksi (yang dikemukakan Karl Marx) dibandingkan hegemoni ala Gramsci. Bahwa hegemoni menekankan pada perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” melalui kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Tujuannya, memengaruhi dan membentuk alam pikiran khalayak atau kelompok yang dipengaruhi. Sebaliknya dengan dimensi material dari segi ekonomi dan relasi produksi, yang menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikutinya.
Hingga di sini, batasan-batasan itu belum menjelaskan rupa hegemoni. Dua batasan itu masih berputar di wilayah hubungan kelompok berkuasa dan tidak berkuasa, serta harapan-harapan yang ingin dicapai. Menurut Douglas Kellner, “… teori Antonio Gramsci mengenai hegemoni, yang menampilkan kebudayaan, masyarakat, dan politik sebagai medan-medan perebutan di antara berbagai kelompok dan blok kelas.”
Kini semakin jelas bahwa kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” bagi kelompok minoritas itu. Namun, hal itu belum menjelaskan tujuan spesifik dan alat atau sarana untuk mendapatkan kepatuhan aktif dan secara suka rela itu.
“Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah,” jelas Eriyanto. “Media secara tidak sengaja menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana dominan yang dianggap benar hingga meresap dalam benak khalayak dan dianggap kebenaran. Sebaliknya, wacana lain diangap salah.”
Dua kutipan di atas menegaskan tujuan kekuatan hegemoni, yakni menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu. Di tingkat makro, Gramsci memetakan pertarungan ideologi-ideologi yang bertemu dan saling berkompetisi, sekaligus memperlihatkan rupa penggagasnya.
Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, Alex Sobur melihat berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. “Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan,” jelas Eriyanto.
Kesimpulannya, poin-poin teori hegemoni meliputi:
1) dominasi kelompok dominan (minoritas) atas kelompok lain (mayoritas) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut.
2) melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan.
3) kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif” bagi kelompok minoritas ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik.
4) peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas.
5) berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
6) pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan.
Bagaimana teori hegemoni tersebut dapat menjelaskan kondisi media kita akhir-akhir ini yang mengusung kebebasan pers?
Seperti telah disinggung di atas bahwa teori hegemoni sangat berperan dalam pembacaan teks budaya popular secara kualitatif, khususnya terkait pembongkaran teks dan produksi teks media menu menurut metodologi semiotika sosial atau analisis wacana kritis. Artinya, pembacaan hegemoni dalam teks media bisa dimulai dengan menganalisis artefak-artefak yang diperlihatkan situs-situs budaya popular (baca: media). Setelah itu, rupa hegemoni itu akan makin jelas dengan pengamatan langsung pada produksi teks budaya.
Berdasarkan pendekatan analisis wacana kritis (terutama yang dikembangkan Halliday dan Hassan), Penulis akan menguraikan sekilas kondisi media di Tanah Air, melalui pembacaan medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse).
Sejak bergulirnya era reformasi tidak bisa dipungkiri lagi topik-topik politik menjadi primadona atau pilihan medan wacana media. Lebih dari 30 tahun dikerangkeng dalam penjara Pers Pancasila (baca: otoritarian ala Orde Baru) membuat media hiruk-pikuk merayakan alam bebas berpolitik, berpendapat, dan berdemokrasi. Pemberlakukan Undang-undang Pers membuat media merasa memiliki alasan untuk menikmati kebabasan itu seakan berada di alam liberalism. Seiring dengan itu, aroma modernitas dan hedonism yang dimunculkan media esek-esek atau bernuansa pornografi juga tak tertahan. Intinya, khalayak makin dihadapkan banyak pilihan terhadap hegemoni-hegemoni baru di era reformasi, persis seperti disinggung salah satu poin di atas: berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Euforia media cetak yang ditandai kemudahan mendapatkan SIUPP itu juga dihadang masalah baru soal makin berpesta-poranya juga media televisi dalam memainkan medan wacana. Wacana-wacana yang didesain dengan makna khusus (baca: memburu jumlah tiras di media cetak atau rating dan share di media elektronik) seakan menjadi pembuktian kebenaran model komunikasi televisual ilmuwan dari Mazhab Birmingham Stuart Hall melalui publikasi dalam Encoding and Decoding the Televisual Discourse. Bahwa jauh sebelum teks budaya popular itu disuntikkan kepada khalayak, sesungguhnya media telah “menyiapkan” wacana yang “bermakna”. Dan “wacana bermakna” itu adalah pencapaian tiras serta rating dan share.
Singkatnya, awal orde reformasi merupakan perayaan hegemoni media paling akbar yang pernah terjadi di Tanah Air. Media, apa pun jenisnya, berkesempatan mengumbar kekuasaan-kekuasaan kelas minoritasnya yang diyakini bakal mengusai kelas mayoritas yang disinggung Jean Boudrillard sebagai mayoritas yang diam—massa yang tidak membutuhkan kekuasaan untuk mendominasi, memperjuangan ideologi leluhur, menguasai territorial, akan tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan diferensi (perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan sebagainya).
Belakangan hegemoni itu, terutama media televisi, makin disemarakkan perayaan hedonisme dan upaya memuaskan mayoritas yang diam tadi. Teks budaya yang dihidangkan media merupakan artefak-artefak yang jauh pemenuhan nilai estetis. Program berita menjadi tidak percaya diri dan ikut berlomba bak program infotainment demi memburu rating dan share. Pemunculan kasus video porno mirip artis di seluruh program berita di televisi menjadi pembuktian matinya nilai estetis dan objektivitas yang selama beratus-ratus menjadi nilai sakral para jurnalis.
Dan kalau melirik program hiburan, maka teks budaya itu makin memperlihatkan keberadaan hegemoni yang berkiblat pada ekonomi politik media. Misalnya saja, program Bukan Empat Mata di Trans7 yang menempatkan pelawak jebolan Srimulat Tukul Arwana sebagai host dari kalangan modern: dengan wardrobe yang berganti-ganti dan bermerk, gaya bertutur yang mencoba cerdas dengan sesekali menyelipkan kosa kata bahasa Inggris, etika pergaulan seperti kalangan modern lengkap dengan “cipika-cipiki”nya, tamu-tamu dialog dari kalangan selebritas yang juga tak kalah modis dan glamor, keakraban dengan teknologi komputer, dan tepuk-tangan penonton yang diminta mengamini pencitraan modernnya. Simbol-simbol itu sudah cukup menjelaskan premis program bahwa fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman se”kaum”, dan gempita perhatian orang lain, akan mencitrakan kaum modernitas. Bahkan, tanpa menimbang latar belakang atau “tampilan” sejatinya.
Atau, nikmati juga perayaan penciptaan efek mitologisasi itu dalam panggung megah Indonesia Mencari Bakat (IMB) di layar TransTV. Di bawah gemerlap lampu berkekuatan ribuan Watt, properti yang disulap mengikuti tema-tema tertentu, busana dan kostum para peserta yang tidak main-main, tata rias dan model rambut peserta yang mengubahnya menjadi “orang lain”, iringan grup musik yang luar biasa, juri-juri yang merupakan ikon-ikon budaya populer dengan pencitraan modernnya, juga riuh penonton sebagai penyaksi langsung penobatan ikon-ikon budaya popular baru itu. Dalam tempo delapan bulan, nama-nama Klantink, Putri Ayu, Brandon, Hudson, Rumingkang, dan sejumlah nama atau kelompok lain, ber”metamorfosis” tanpa bisa diduga dan dibendung. Khalayak tidak pernah mempertanyakan latar belakang atau kondisi nyata mereka, meski sesekali stasiun itu memutar video tape (VT) kondisi nyata mereka. Tiba-tiba, panggung megah itu menyulapnya menjadi “selebritas” atau mitos-mitos baru panggung hiburan, dengan “framing” standar: fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman se”kaum”, dan gempita perhatian orang lain.
Kedua program itu juga menjadi pembuktian keberhasilan penerapan komodifikasi yang oleh Vincent Mosco dilukiskan sebagai cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga program televisi, dalam bingkai ekonomi politik media, mesti dikomodifikasi sebagai komoditas yang benar-benar disukai khalayak (content comodification), meski hal itu sesungguhnya bukan kebutuhan khalayak. Bahkan, khalayak pun dijadikan komoditas yang bukan sebatas dipaksa menimati pencitraan produk-produk yang diiklankan dalam dalam commercial break, tapi juga dipancing untuk mengirimkan short message service (SMS) dengan ongkos yang tak murah.
Menurut Penulis, itulah gambaran kekuasaan hegemoni di dunia pertelevisian saat ini. Sedangkan media cetak masih terus berjuang dengan framing politik atau berupaya juga bermain di wilayah ekonomi. Analisis framing, analisis wacana kritis, analisis semiotika, atau pendekatan cultural studies, akan membongkar rupa-rupa hegemoni di balik teks-teks media yang diproduksi media di Tanah Air.
Sebutkan kesamaan dan perbedaan antara teori hegemoni Gramsci dan teori kekuasaan Karl Marx?
Teori hegemoni Gransci telah diuraikan secara panjang lebar di poin a. Berikut ini penjelasan teori kekuasaan Karl Marx. Menurut Yasraf Amir Piliang, Karl Marx melihat konsep kekuasaan dalam kerangka hubungan yang mutlak antara kelas-kelas yang mendominasi dan yang didominasi dalam masyarakat—antara yang menekan (oppressor) dan yang tertekan (oppressed), antara yang menyisihkan (alienating) dan yang tersisihkan (alienated). Kekuasaan, menurut versi Marxisme adalah kekuasaan yang dibutuhkan oleh kelas sosial (kelas penguasa) untuk mereproduksi model produksinya yang dominan—kekuasaan untuk mengeksploitir kelas yang dikuasai.
Batasan di atas memilah hubungan dua kelas di tengah masyarakat, yakni kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. Dalam teks lain, kekuasaan itu disebut juga sebagai ideologi: Karl Marx (1818-1883) dan dan Fredrich Engels ((1820-1895) melihat ideologi sebagai fabrikasi atau pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat.
Teori kekuasaan ala Karl Marx itu identik dengan ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. Dalam batasan-batasan lain, hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. Selain itu, politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu, seperti diuraikan Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss di bawah ini: Marx meyakini bahwa masyarakat adalah sarana produksi yang menentukan struktur dari masyarakat itu. Disebut hubungan superstruktur dasar (base-superstructure), gagasan ini adalah ide bahwa ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Marx paling prihatin dengan akibat kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi, memercayai bahwa keuntungan berasal dari produksi…
… Ekonomi berasal dari politik, yang oleh Marxisme klasik sering disebut kritik ekonomi politik (the critique of political economy).
Dengan demikian teori kekuasaan Karl Marx memuat poin-poin:
1) kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan.
2) ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat.
3) hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme.
4) politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu.