opera sabun NAZARUDDIN

CERITA Nazaruddin memasuki episode baru. Belakangan ia memainkan peran sebagai aktor pendiam, seolah tertekan, sayang keluarga. Yang menggelikan lagi, dia mengalami amnesia dadakan! Inilah simulasi realitas yang diproduksi dan didistribusikan Nazaruddin beserta "tim ahlinya" kepada khalayak lewat media.

Meminjam istilah filosof dan novelis Italia, Umberto Eco, dalam bukunya Travels in Hyperreality, Faith in Fakes (1986), inilah yang disebut sebagai the authentic fake atau kepalsuan yang otentik. Peran Nazaruddin tak lebih dari sekadar opera sabun yang membenamkan khalayak pada kubangan kotor hiperealitas.

Nazartainment

Nazaruddin telah sukses menjadi biang gosip. Seluruh cerita seputar dirinya ibarat magnet berita yang tak berujung. Andai ada istilah baru untuk menamai komodifikasi gosip seputar para pelaku korupsi politik, label Nazartainment layak dinominasikan untuk menandai keaktoran mantan politisi Senayan ini. Sebab, ia sukses bermetamorfosis dari satu peran ke paran lain.

Awalnya Nazaruddin adalah aktor protogonis saat dia memosisikan diri sebagai rising star sebagai pengusaha sekaligus politisi muda berpengaruh. Alur cerita menjadi dramatis saat secara mengejutkan dia berganti peran menjadi antagonis. Sejak 23 Mei 2011, dia mengubah status dirinya dari pejabat terhormat menjadi buronan Interpol sekaligus musuh bersama (common enemy). Penangkapan dia di Cartagena, Kolombia, merupakan puncak peran antagonis Nazaruddin saat media secara explosive memosisikan dirinya sebagai penjahat kelas kakap.

Kini, Nazaruddin kembali merenda drama dengan tema melankolis sebagai jualan utama. Pertama, dia memosisikan atau diposisikan "tim ahlinya" sebagai aktor yang dizalimi. Khalayak pasti ingat bagaimana pengacara Nazaruddin, OC Kaligis dkk dalam beberapa kesempatan menyebutkan mereka tidak diperkenankan mendampingi Nazar. Logika yang hendak disuntikkan ke benak khalayak adalah KPK telah berbuat sewenang-wenang, menyalahi konstitusi, dan tak mempedulikan hak-hak tersangka. Lucunya, pada penggalan cerita ini, beberapa politisi DPR tampak antusias menjadi "super hero" sekaligus menyudutkan KPK.

Kedua, sejak 13 Agustus sikap pendiam menjadi pilihan utama Nazaruddin. Tak hanya pesan verbal melainkan juga ekspresi muka dan bahasa tubuh yang diatur sedemikian rupa untuk menunjang kesuksesan lakon baru setelah prosesi penangkapan di Cartagena dan pemulangan dari Bogota. Dalam perspektif komunikasi politik, terjadi pergeseran strategi persuasi dari fear erousener dengan menebar ketakutan dan ancaman ke berbagai pihak yang disebutnya telah ikut "bancakan" uang rakyat, menjadi strategi icing device yang menitikberatkan pada sentuhan emosional.

Lihat, betapa pendiamnya Nazaruddin sekarang. Saat Nazar amnesia dengan mengatakan dia lupa seluruh "nyanyian" yang tempo hari didendangkannya telah mengunci rapat kotak pandora penelusuran kasus ini. Tak bisa ditolak, persepsi publik mengalir liar dan berupaya menghubungkan masing-masing puzzle yang terserak dengan persepsi sendiri-sendiri. Situasi seperti inilah yang bisa dimanfaatkan oleh Nazar untuk memosisikan dirinya hanya sebatas pion.

Harapannya, bisa timbul empati bahkan pemakluman atas semua yang dia lakukan dalam persekongkolan jahat para elite yang melebihi kuasanya. Tak dimungkiri, kejahatan korupsi politik tak pernah dilakukan aktor tunggal, tetapi memberikan pemakluman pada orang sekelas Nazaruddin juga sebuah kecelakaan.

Ketiga, opera sabun Nazaruddin juga membangun cerita sang aktor yang insyaf dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Simulasi realitas yang dilakukan adalah Nazaruddin menyurati Presiden SBY, 18 Agustus. Isinya: dia bersedia bungkam asalkan anak istrinya tidak diganggu. Narasi ini dibangun dalam garis linear dengan pernyataannya bahwa dia mengaku bersalah dan siap divonis hukum secepatnya.

Kepasrahan yang ditampilkan tentu jangan dibaca secara telanjang. Pada fase ini, Nazaruddin sesungguhnya teramat lihai karena berupaya memosisikan SBY sebagai simpul utama persoalan dirinya di tengah tekanan para pemain raksasa, memosisikan KPK sebagai institusi yang tidak independen, sekaligus menunjukkan kesan bahwa sosoknya penyayang keluarga. Publik harus hati-hati membaca pemain watak seperti Nazaruddin!

Persepsi Palsu

Opera sabun ala Nazar kini mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1994) sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya, simulasi realitas ini merupakan tindakan yang bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan diisi oleh tanda-tanda yang sebenarnya saling terkait tetapi dianggap tak harus memiliki tautan logis.

Khalayak kritis tentu tak akan terlena dengan opera sabun Nazaruddin. Karenanya, diskursus publik dan ruang media jangan sampai terjajah oleh agenda Nazaruddin dan para konspirator lain yang berkepentingan merestriksi area kasus ini pada wilayah terbatas dan sulit diakses khalayak luas.

Kritisisme publik seyogianya dibangun pada tiga hal. Pertama, publik jangan pernah lelah mengawal proses penegakkan hukum pada kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin. Berbagai korupsi politik hampir selalu dilakukan berjamaah dan cerita penegakan hukumnya selalu menyuguhkan narasi tunggal sesuai skenario sang sutradara. Untuk memosisikan kasus ini sebagai kotak pandora, syarat utama: jangan sampai opera sabun Nazaruddin menutupi dan menyesatkan realitas dasar.

Kedua, harus muncul kewaspadaan pada pengarusutamaan opini yang memarginalkan bahkan berupaya menihilkan peran KPK. Belakangan publik disuguhi berbagai isu miring keterlibatan oknum KPK. Kita tentu harus mengkritisi oknum KPK yang terjerembab pada kubangan kasus, tetapi tidak menjustifikasi pelemahan dan pembubaran KPK. Kelahiran KPK sesuai UU No 30 tahun 2002 sangat penting untuk mengurangi extra-ordinary crime bernama korupsi.

Ketiga, publik harus mendapatkan benang merah bahwa titik kerawanan korupsi terkait langsung dengan oligarki partai politik dan praktik mafia anggaran. Kasus Nazaruddin merupakan puncak gunung es dari praktik korupsi serupa yang dilakukan oleh para politisi berbagai partai. Setiap perencanaan, pengesahan hingga distribusi anggaran selalu membuka peluang persekongkolan jahat. Sudah bukan rahasia, banyak partai kini tersandra korupsi.[Gun Gun Heryanto]

* Penulis, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta.