(NoTW) terus menggelinding menjadi bola panas yang menimpa banyak pihak.
Ditutupnya tabloid NoTW yang telah berusia 168 tahun dan bertiras 2,6 juta eksemplar ini menjadi contoh paling aktual jasa pelayanan simbolik media kerap tergoda untuk tersubordinasi logika dan konstitusi rezim kapital sehingga menghalalkan segala macam cara untuk mengejar eksklusivitas, kebaruan, dan drama.
Terkuaknya penyadapan yang dilakukan oleh jurnalis NoTW terhadap telepon genggam milik Milly Dowler, gadis korban penculikan dan pembunuhan, menjadi kotak pandora skandal media global.
Katalisator Skandal
Konfigurasi skandal media ini sangat menghebohkan dunia dan menjadi salah satu kasus besar yang berpengaruh. Ada dua faktor utama yang turut menjadi katalisator. Pertama, tabloid NoTW merupakan media berpengaruh yang terintegrasi ke dalam imperium bisnis media milik Rupert Murdoch, News Corporation.
Pengaruh Murdoch tidak hanya di Australia, Amerika, dan Inggris tetapi juga di belahan dunia lainnya. Mengutip data dari www.bbc.co.uk jumlah pendapatan News Corporation ini lebih dari USD 31 miliar, setara Rp264,9 triliun, per tahun. Di Asia, News Corp menancapkan kaki lewat Star dengan memiliki sembilan stasiun televisi kabel di seluruh Asia dan memegang saham besar di delapan stasiun televisi lainnya.
Star juga memiliki saham mayoritas surat kabar Post Courier di Papua Nugini dan surat kabar Wall Street Journal Asia. Selain itu, Star memiliki 20% saham saluran televisi Tata Sky di India. Di Australia, Murdoch merupakan pemilik 150 surat kabar lokal dan nasional, termasuk the Australian,the Telegraph, dan the Herald Sun.
Dia juga memiliki 50% saham Premier Media Group yang mengoperasikan sembilan stasiun Fox TV di Australia. Di Eropa, News Corp memiliki 39% saham perusahaan televisi satelit BskyB.Tutupnya tabloid NoTW masih menyisakan tiga surat kabar nasional yang berpengaruh, yakni the Times, Sunday Times, dan the Sun.
Di Italia, News Corp memiliki televisi Sky Italia dan di Jerman perusahaan itu memiliki 45% saham Sky Deutschland. Di Amerika Serikat, Murdoch memiliki sejumlah surat kabar besar, termasuk Wall Street Journal,the New York Post, Community Newspaper Group, dan sejumlah koran bisnis termasuk Barons dan Market- Watch.
Rupert Murdoch juga diketahui menguasai 27 stasiun lokal televisi Fox, sepuluh perusahaan film milik News Corp termasuk 20th Century Fox. News Corp merupakan pemilik perusahaan penerbitan Harper Collins di Amerika, Kanada, Eropa, Selandia Baru, dan Australia, dan pemilik sebagian saham Harper Collins Asia.
Beragam contoh konsentrasi dan spesialisasi bisnis media yang membentang secara global itu memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak terkait penyelewengan kerja jurnalisme seperti dilakukan awak tabloid NoTW. Modus serupa sangat mungkin terjadi di berbagai media lain milik Murdoch.
Kekhawatiran seperti ini sekarang melanda Australia seperti ditunjukkan oleh sikap Perdana Menteri Australia Julia Gillard terkait dengan keberadaan News Limited yang menjadi bagian dari News Corporation. Saat ini, tuduhan kejahatan peretasan juga mengarah ke kelompok wartawan The Sun yang juga bernaung di bawah grup News International.
The Sun dicurigai memperoleh informasi pribadi secara tidak pantas tentang laporan medis putra mantan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown. Imperium bisnis Murdoch selama ini nyaris tak tersentuh karena konsentrasi usaha yang sangat menggurita dan luar biasa berpengaruh.
Dalam Media Economics Concept and Issues (1989), Robert Picard menyebutkan konsentrasi pasar seperti ini menjadi ukuran atas kontrol produksi, para pekerja, dan indikator industri lainnya dalam sebuah pasar. Saat standardisasi kerja media didominasi oleh gurita bisnis oligopoli semacam Murdoch, maka prosedur kerja media tak lagi beroperasi secara bebas.
Wajar jika apa yang dialami NoTW memiliki efek domino pada skeptisisme publik, jangan- jangan prosedur peretasan semacam ini dianggap sah dalam menggali informasi yang eksklusif,dramatis, dan memiliki nilai jual. Keterlibatan Rebekah Brooks, mantan editor tabloid News of the World misalnya, menjadi indikasi kuat skandal tersebut dilakukan secara sadar, sistematis, dan kolektif.
Kedua, keterhubungan skandal ini dengan orang-orang yang memiliki pengaruh politik. Misalnya, dalam kasus NoTW posisi Andy Coulson, mantan editor NoTW dan pernah dipekerjakan sebagai juru bicara Perdana Menteri Inggris David Cameron, mengundang kecurigaan banyak pihak bahwa skandal peretasan ini tak semata bermotif ekonomi tetapi juga politik.
Dugaan adanya persekongkolan telah meluluhlantakkan kepercayaan publik Inggris kepada Cameron. Dalam jajak pendapat opini yang digelar Reuters/ Ipsos MORI, kepuasan terhadap Cameron turun pada level terendah sejak dia menjabat pada Mei 2010. Yakni, hanya 38% yang masih menyukai cara kerjanya.
Deadly Sins
Terlepas dari apa pun motifnya, peretasan ribuan voicemail sejumlah orang oleh tabloid NoTW adalah pelanggaran serius dan membahayakan. Seorang jurnalis sekaligus sejarawan Amerika, Paul Johnson, pernah mengingatkan para jurnalis dalam makalah pidatonya yang berjudul What’s Wrong with the Media and How to Put it Right.
Menurutnya, ada tujuh praktik pers yang menyimpang dan menyebutnya sebagai seven deadly sins. Ketujuh dosa pers itu adalah distorsi informasi, dramatisasi fakta, serangan privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi seks untuk meningkatkan sirkulasi atau rating, meracuni pikiran anak, dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dalam konteks skandal tabloid NoTW, yang dilanggar secara dominan adalah privacy, abuse of power, serta dramatisasi fakta yang jelasjelas bertentangan dengan prinsip-prinsip etis kerja jurnalisme.
Kita tentu harus mengambil hikmah dari kasus tersebut bahwa keterhubungan tiga proses,yakni integrasi, diversifikasi dan internasionalisasi bisa memunculkan konsentrasi kontrol dan pengaruh terhadap sejumlah besar perusahaan media yang bernaung di satu atap.
Kondisi ini menjadi sangat lumrah dalam peran pasar (role of the market) tetapi juga membawa sejumlah penyakit bawaan yang mesti diwaspadai,antara lain monopoli informasi terkait akses dan praktik seven deadly sins dalam prosedur kerja.
Media seharusnya tak semata menghamba pada ritus ekonomi, atau relasi kuasa dalam dimensi politik, tetapi juga punya misi pemberdayaan dan pencerahan masyaraka.[Gun Gun Heryanto]
* Penulis, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta.