Setelah memberikan cap semacam ”gagak hitam” kepada tokoh lintas agama, kini Sekretaris Kabinet Dipo Alam memerintahkan pejabat pemerintah memboikot media yang beritanya menjelek-jelekkan pemerintah.
Sikap ini harus dikaji serius karena di era demokrasi bersama media justru tak ada lagi yang lebih menjelekkan citra pemerintah daripada pernyataan serupa ini!
Pertama, kita mesti bertanya apakah Seskab memerintahkan hal tersebut sepengetahuan (struktural) Pak Beye sebagai Presiden. Kalau demikian, artinya Pak Beye memang satu visi dengan Seskab. Atau jangan-jangan Pak Beye tidak tahu-menahu. Paling-paling nanti kalau ada akibat negatifnya, ya seperti biasa, Pak Beye yang menanggungnya.
Di banyak negara dalam keadaan normal, jarang sekali ungkapan seeksplisit itu dikeluarkan oleh pejabat tinggi. Bahkan oleh calon pejabat sekalipun. Lihatlah betapa bencinya George Bush (Jr) pada jurnalis Adam Clymer yang sangat kritis kepadanya.
Saat berkampanye, tanpa sadar ia berbisik kepada calon wakilnya, Dick Cheney: ”Tuh di sana ada Adam Clymer, major league; dari New York Times.” Bush menyesal ketika tahu bahwa ternyata bisikannya masih bisa tertangkap alat audio yang ada di sekitar.
Secara umum komunikasi politik memiliki ”panggung belakang” dan ”panggung depan”. Kalau Anda ingin memboikot media, biasanya hal tersebut jadi konsumsi panggung belakang. Paling maksimal, Anda akan relatif mengurangi perhatian pada kehadiran jurnalis tertentu atau tak membaginya kesempatan bertanya seperti biasa.
Intinya, boikot sementara pasti sesuatu yang terasa di panggung depan walau tak pernah dinyatakan. Mengajak boikot media di panggung depan, selain melanggar perundang-undangan di banyak negara, juga pada ujungnya lebih banyak merugikan pemerintah itu sendiri. Jangan-jangan selanjutnya pemerintah hanya akan sibuk mengutarakan hak jawab kepada pers!
Analisis Isi
Poin kedua harus menjurus ke analisis isi atau analisis kerangka. Apa betul terdapat televisi dan media cetak yang (menurut Seskab) beritanya hanya atau kerap menjelek-jelekkan pemerintah? Kata ”hanya” atau ”kerap” harus diletakkan pada angka berapa: 100 persen, 70 persen, atau berapa persen? Begitu pula, seberapa sering tidak dilakukan cover both sides atau meminta juga opini pejabat pemerintah sebagai narasumber: 100 persen, 70 persen, atau berapa?
Bisa jadi seseorang terfokus pada hal-hal negatif di sekitar diri sendiri sehingga ia tanpa sadar menjadikannya sebagai apa yang paling diingat dari konsumsi media. Di samping itu, perlu pula menilai secara jernih apakah media lain tidak memberitakan hal yang sama. Kegagalan negara melindungi warganya pada Kasus Cikeusik dan Temanggung, misalnya, jelas menghiasi halaman atau bagian utama aneka media. Apakah media salah kalau merekam dan menyampaikan betapa kasus sejenis telah terulang kesekian kali?
Sungguh, analisis substansi terkesan relatif terpinggirkan di sini. Sejak tokoh lintas agama mengeluarkan pernyataan soal pembohongan publik, belum pernah ada tantangan terbuka dari pemerintah untuk mendebat atau memperbandingkan data tentang sejumlah kebohongan yang dipaparkan badan pekerjanya.
Yang terjadi adalah pembunuhan karakter bahwa tokoh lintas agama adalah ”gagak hitam” dan sebagainya. Yang diserang hanya sekitar tiga di antara sepuluh tokoh lintas agama tersebut, seakan ketujuh tokoh agama yang lain bisa ditunggangi oleh nama-nama yang diserang.
Padahal, pada kenyataannya media tahu bahwa setidaknya sebagian besar di antara tokoh agama tersebut bukanlah tokoh agama merangkap bendahara atau penyumbang dana kampanye yang (dalam buku Wisnu Nugroho, 2010) tergambar membawa tas besar ke mana-mana.
Demokratisasi Media
Masalah ketiga terkait niat mengendalikan isi media dengan umpan iklan dari pihak pemerintah. Sikap itu cenderung merendahkan insan media di Indonesia seakan pemerintah selama ini telah berhasil menembus pagar api yang memisahkan nilai-nilai jurnalistik dengan bisnis media.
Jangan-jangan inilah analogi ”gagak hitam” yang sesungguhnya, yang merasa bisa mematikan akses hidup dan siap menunggu ”bangkai-bangkai” insan media yang tidak disukainya.
Saat dikejutkan oleh sikap semacam ini, justru kita makin merasakan absennya negara atau pejabat pemerintah yang membahas esensi lebih hakiki dari demokratisasi serta kualitas media.
Undang-undang investasi dan persahaman kita, misalnya, dengan gampang menghancurkan undang-undang penyiaran. Perpindahan saham atau merger antarperusahaan media (seperti antartelevisi baik yang sudah maupun sedang terjadi atau dalam perencanaan) sungguh membuat semangat keragaman kepemilikan serta kemajemukan program dalam undang-undang penyiaran relatif tidak ada artinya.
Padahal kita tahu, demokratisasi media di era Reformasi antara lain jatuh ke tangan sekelompok orang, yang bisa saja memilih memarjinalkan fungsi informasi media. Yang penting banjir acara sinetron, gosip, dan audisi realiti yang menangguk iklan sebanyak-banyaknya. Di sini pemerintah cenderung membiarkan pembodohan publik terjadi, asalkan tidak mengkritik keras dalam konteks politik.
Di sisi lain terdapat media yang secara tak langsung berafiliasi dengan elite parpol, yang kalau mengkritik pun tidak bersifat lepas karena ada negosiasi dan kompromi politiknya.
Akhirnya, sebagai mahasiswa yang diuji langsung oleh tokoh yang paling signifikan melahirkan teori-teori performa, responsibilitas, dan akuntabilitas media, Denis McQuail, secara umum saya masih meyakini fungsi penyampaian informasi media kita. Tentulah nada dan gaya bahasa media berbeda-beda sehingga ada yang menilai suatu media lebih elok dibandingkan dengan media yang lainnya.
Kembali ke George Bush, walau menyesalkan kenapa bisikannya terdengar di alat audio, dia tidak pernah minta maaf kepada Clymer. Dan Bush tercatat sebagai salah satu presiden Amerika dengan komunikasi politik buruk, termasuk ketika menuduh dan mengebom pihak yang tidak disukainya dengan cap teroris atau pemilik senjata pemusnah massal.[Effendi Gazali* -- KOMPAS, 24 Februari 2011]
* Penulis, Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI