Keserakahan tanpa batas itulah yang telah membunuh nilai kemanusiaan di dalam diri kita. Maka, kini ironi besar pun terjadi: efek pencerahan dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu dirusak oleh keserakahan yang menjerumuskan kita ke abad kegelapan jiwa. Kita hidup di abad pencerahan sekaligus di abad kegelapan.
Keluhan Ki Ronggo Warsito tentang zaman edan yang serakah terhadap materi kini berubah menjadi zaman lebih edan lagi. Keserakahan kini tak terkendali. Moralitas duniawi, yang kita ”nyalakan” dari ajaran Ki Ronggo agar kita sadar dan waspada demi keselamatan dan kemuliaan hidup, memang masih menyala. Namun, nyala itu begitu redup, dan kadang-kadang dunia kita menjadi gelap gulita. Pancaran jiwa yang gelap membikin seluruh struktur hidup duniawi kita gelap pula.
Rasa malu telah hilang
Ini zaman memang edan, lebih edan dibanding zaman edan yang dulu menyayat-nyayat hati Ki Ronggo Warsito. Kita sekarang serakah bukan hanya terhadap materi, melainkan juga terhadap kemasyhuran, kebesaran nama, wibawa, dan pengaruh politik ataupun kebudayaan. Demi kemasyhuran itu, kita berebut menjadi calon presiden, calon wakil presiden, calon gubernur, calon wakil gubernur, sampai ke tataran lebih rendah di tingkat bupati dan wali kota.
Orang-orang yang sudah ”dicatat” di dalam ingatan kolektif masyarakat sebagai diktator, tiran, antikemanusiaan, musuh kebenaran, korup sangat besar hingga memiskinkan rakyat, tetap gigih—dan edan sekali, tidak malu—nyalon sebagai pemimpin bangsa. Mereka yang tak memiliki kompetensi sama sekali pun bisa dengan sikap pongah nyalon pula.
Kemudian, orang-orang yang merasa terkenal, merasa tokoh, dan merasa punya dukungan juga nyalon. Selebihnya para mantan pejabat, yang dalam masa jabatannya tak berbuat sesuatu, pun merasa ”terpanggil”, dan kemudian nyalon. Semua bicara mengenai penyelamatan bangsa. Semua bicara bahwa negara ini harus dipimpin dengan baik.
Saya sering merasa yakin, mereka tak bakal terpilih. Kenyataan memang membuktikan begitu. Namun, yang betul-betul dahsyat—maksudnya sama sekali tak merasa malu—mereka masih merasa tokoh, merasa terkenal, merasa ”terpanggil”, merasa berkompetensi, dan nyalon kembali untuk pada akhirnya harus menerima kenyataan yang lebih menampar wajah: gagal lagi!
Zaman edan memang melahirkan cara pandang, sikap, dan perilaku edan-edanan. Di zaman Orde Baru dulu begitu banyak kalangan mengejek Pak Harto memiliki segalanya, kecuali rasa malu, kini orang-orang itu lebih tak punya rasa malu lagi.
Jumlah orang-orang yang tak punya rasa malu itu meningkat seiring meningkatnya gairah membangun citra kesalehan agamis, yang marak secara mengejutkan di mana-mana. Di mana-mana kita bertemu hamba-hamba Allah yang—dilihat dari simbol yang dikenakan—ingin disebut saleh. Namun, kita dikejutkan oleh ironi lebih getir lagi: hamba-hamba Allah yang saleh itu—justru karena klaim kesalehannya—beringas, cepat ”meletup”, dan siap mengganyang orang lain yang berbeda ideologi.
Fenomena kehidupan politik kaum muda juga merangsang renungan menggelikan. Mereka hidup serba buru-buru dan tak sabar menantikan suatu proses politik yang sehat. Dengan sikap tak sabar mereka membentangkan garis pemisah antargenerasi: tua dan muda. Kaum muda buru-buru menganggap kaum tua sebagai besi tua, sambil tak sabar pula minta giliran memimpin bangsa. Mereka tak menyadari, anggota-anggota DPR/DPRD—juga DPD—gubernur, bupati, wali kota, dan menteri-menteri sudah jadi domain kaum muda.
Mereka lupa, semua pejabat daerah—kepala desa dan lurah hingga camat—sudah di tangan kaum muda. Di mana-mana lurah kita anak-anak muda. Dan, di hampir semua wilayah, camat kita lulusan STPDN, yang menjabat tak lama setelah tamat kuliah. Jadi masih muda.
Zaman edan ditandai juga oleh sikap hidup serba buru-buru. Orang—termasuk para pejabat negara—ingin buru-buru kaya. Fenomena Gayus mudah meruntuhkan ”iman” terhadap cara hidup lumrah, prasojo (bersahaja), tanpo neko-neko (tidak aneh-aneh), dan tekun menempuh karier yang panjang. Ongkos politik dalam pilkada—juga pilpres dan pilwapres—mahal sekali. Sikap buru-buru untuk segera kaya itu yang menyebabkan lebih dari separuh pejabat daerah terbukti korup dan menggelapkan uang rakyat.
Kaum muda—lebih bagus, sebagian kaum muda—juga ingin buru-buru terkemuka, ingin buru-buru menonjol, ingin buru-buru masuk ke dalam kelompok seratus orang muda paling berpengaruh, seratus orang muda paling terkenal, dan seratus orang muda paling menonjol, tanpa memikirkan berpengaruh dalam hal apa, kepemimpinan macam apa, dan apa yang pernah dikerjakan dalam hidupnya. Manusia punya keserakahan buat memiliki atribut dan simbol-simbol popularitas macam itu tanpa sadar bahwa mereka tak punya secuil pun jasa bagi hidup ini.
Pemburu kesempatan
Terkenal itu penting bagi mereka yang hidup edan-edanan di zaman edan. Disebut terkenal di bumi, tanpa jasa, tak ada rasa malu sama sekali karena bukankah yang mereka inginkan memang itu?
Bahkan, banyak yang ingin segera terkenal hanya dengan memasang foto besar-besar di banyak sudut kota yang dilewati banyak orang. Kita, yang tahu simbol apa yang sedang mereka tampilkan, ketawa—mungkin juga menangis—menyadari betapa nista, betapa rendah martabat dan budi pekerti orang-orang yang ingin disebut tokoh itu. Duh Gusti, mengapa jiwa para tokoh (?) begitu mudah kelunturan warna zaman, dan mengapa bukan sebaliknya: tokohlah yang harus mewarnai zaman?
Tokoh-tokoh kita, di zaman edan ini, tua ataupun muda, sama fiil-nya. Semua sama-sama tak berisi. Semua sama-sama pemburu kesempatan. Semua sama-sama serakah dan memanjakan diri sendiri. Dalam kategori Fromm, mereka ini termasuk golongan orang-orang yang modus eksistensinya tertuju pada kehendak ”memiliki”, dan bukan ”menjadi”. Seorang menteri tidak menandakan bahwa ia orang yang berusaha ”menjadi”, tetapi tanda bahwa ia ”memiliki” jabatan menteri.
Dalam zaman edan di masanya dulu, Ki Ronggo bicara tentang sikap ewuh oyo ing pambudi (serba ragu untuk ikut korup atau tidak). Di zaman ini, zaman yang lebih edan, saya tahu dan tak ragu: tak perlu serakah, tak perlu terkenal, tak perlu kaya, jika semuanya tak memberi keagungan jiwa. Hidup ada langgamnya. Di zaman ini kita diminta tak ikut edan bersama mereka yang memang sudah edan benaran.[Mohammad Sobary* -- KOMPAS, 19 Februari 2011]
* Mohamad Sobary, Budayawa.