Tahun ini, puncak HPN ke-65 digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini merupakan momentum tahunan bagi para jurnalis dan pelaku industri media untuk melakukan refleksi, pemetaan diri dan kelembagaan, penajaman visi profesi, serta merumuskan berbagai formula inovatif dalam memosisikan peran dan fungsi pers di tengah dinamika masyarakat. Pers adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Pers merupakan satu di antara kekuatan nyata infrastruktur politik yang selalu menyumbang perspektif di setiap penggal perjalanan bangsa dan negara ini.
Hierarki Pengaruh
Industri media dan profesi jurnalis yang ada di dalamnya senantiasa terlibat dalam dialektika penuh warna sepanjang masa. Hubungan media dan negara pun tak pernah berada di satu dimensi serupa. Pers kerap kali mengalami dilema untuk menentukan sikap, terutama saat jurnalis harus bernegosiasi dengan sejumlah faktor abadi kerja jurnalisme. Menurut Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), ada lima faktor yang biasanya membentuk hierarki pengaruh dalam media.
Pertama, individu pekerja media. Sesungguhnya para jurnalis ini sangat penting karena tak hanya berperan sebagai pembawa kabar, melainkan juga sebagai pengkonstruksi realitas sekaligus diseminator informasi. Oleh karenanya, sangat diperlukan kapasitas diri tak hanya di level kemampuan profesional, melainkan juga keteguhan moral dan kepekaan sosial. Sayangnya, hingga kini masih banyak media yang menutup mata dari keterjagaan profesi jurnalis mereka.
Problem mendasar yang hingga kini masih banyak ditemukan antara lain gaji yang tak memadai, lemahnya kesadaran inhouse training, dan kebijakan perekrutan yang tak mengacu pada kompetensi profesi. Jika kebutuhan dasar personal, profesional, dan moral tak terpenuhi, maka tentu akan merangsang tumbuh kembangnya jurnalis liar yang kerap berakrobat di lapangan. Hal ini seyogianya menjadi bahasan serius bagi para jurnalis dan pemilik media dalam rapat-rapat HPN tahun ini.
Kedua, rutinitas media yang terkait dengan ritme kerja dan publikasi informasi. Media-media konvensional seperti televisi, koran, majalah maupun tabloid memiliki tantangan baru dengan semakin dinamisnya new media. Akses situs jejaring sosial dan weblog interaktif memunculkan citizen journalism yang kian interaktif dengan para pencari dan pengguna informasi.
Media konvensional memang akan tetap bertahan. Jika rutinitas media ini sudah dipastikan kalah cepat dari media baru, tentu harus memiliki kelebihan di kedalaman dan keterjagaan kualitas informasi yang disajikannya. Era konvergensi teknologi selayaknya disikapi dengan tangkas, sehingga media massa akan tetap ada untuk memberi kontribusi positif bagi khalayak.
Ketiga, terkait dengan kebijakan organisasional. Hal paling krusial dalam industri media saat ini adalah kepemilikan (ownership). Indonesia sudah memasuki fase liberal media yang memungkinkan siapa pun pemilik modal besar untuk menguasai bisnis media. Fenomena yang menonjol beberapa tahun belakangan ini adalah kian intensifnya para politikus kita untuk menguasai media.
Kita bisa melihat secara gamblang, misalnya, pertarungan dua stasiun berita Metro TV dan TVOne yang tak semata urusan bisnis tetapi juga politik. Sejak Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie bertarung di konvensi Golkar hingga sekarang, rivalitas kedua sosok politikus ini pun tergambar nyata dalam seluruh ekspresi simbolik pemberitaan media mereka. Berita kerap menjadi bias dan sangat tendensius pada saat mengangkat persoalan-persoalan yang memiliki irisan dengan para pemiliknya.
Keempat, adalah level ekstra media. Hal ini terkait biasanya dengan posisi pemerintah dan kelompok kepentingan. Media, sekali lagi merupakan entitas yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Oleh karenanya, dalam setiap perubahan era politik, media harus memosisikan dirinya secara tepat. Pemerintah kerap tergoda untuk mengkooptasi media jika kekuasaan bersifat hegemonik.
Sebaliknya, penguasa juga kerap berselingkuh dengan pengusaha media dalam penguasaan opini publik. Posisi media seyogianya tetap mengacu pada imparsialitas. Media menjadi alat kontrol yang efektif sekaligus public sphere yang berdayaguna. Di level inilah sering muncul skeptisme publik terhadap media. Masihkah media massa mampu menjaga peran politiknya dari residu kekuasaan atau kepentingan golongan?
Kelima, faktor ideologi yang dominan memengaruhi isi media. Saat ini, ideologi dominan tersebut tak lain adalah kapitalisme. Hukum pasar menjadi kenyataan sekaligus keniscayaan. Tantangan terbesar bagi para jurnalis dalam menyikapi hukum pasar adalah distorsi isi dan peran media hanya pada standar-standar ekonomi semata yakni keuntungan. Media kerap tak kuasa untuk menahan hasrat untung, meski harus mengorbankan idealisme dan profesionalitas.
Resonansi Politik
Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah membentuk realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), memperkenalkan konsep resonansi. Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerfull di mana pesan media mengkultivasi secara signifikan. Ketika realitas media mirip dengan realitas sosial yang terjadi di lingkungannya, proses resonansi itu berlaku.
Dalam konteks kekuataannya inilah media menjadi alat ampuh dalam pembentukan opini publik.
Dalam kajian komunikasi politik, operasi opini publik pada khalayak sama dahsyatnya seperti operasi militer. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan, media sangat mungkin menjadi alat ampuh untuk manipulasi keadaan serta pengendalian.
Hal yang paling penulis risaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi politik media. Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam rivalitas politik menuju pergantian kepemimpinan nasional di tahun 2014. Berbagai manuver dan skenario politik sudah mulai digulirkan oleh para politikus. Kasus demi kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik.
Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok yang diam, khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Jadi, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.[Gun Gun Heryanto* -- SINAR HARAPAN, 9 Februari 2011]
*Penulis adalah kandidat Doktor Komunikasi UNPAD dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.