pasar gelap POLITIK

Ruang politik bangsa akhir-akhir ini dipenuhi aneka permainan liar kekuatan, negosiasi ilegal, konsensus gelap, dan transaksi tak transparan di antara elite politik yang dilandasi kepentingan jangka pendek mereka.

Penolakan pembentukan panitia khusus hak angket terkait kasus mafia pajak di DPR merupakan cermin runtuhnya makna konsensus, koalisi, dan kontrak politik di dalam sistem politik bangsa yang mengancam masa depan roda pemerintahan demokratis.

Ruang politik menjelma menjadi ”pasar gelap politik”, tempat para broker, perantara, pedagang gelap, dan mafioso politik memainkan taktik dan strategi mengambil keuntungan (profit taking) dengan melabrak kepentingan publik.

Layaknya pasar gelap, aneka keputusan politik—seperti hak angket—dilakukan melalui negosiasi, tawar-menawar, dan transaksi rahasia, bahkan jika perlu melalui pelanggaran janji, pembelotan, dan pengkhianatan kepada kawan sendiri—the politic of mafioso.

Di dalam pasar gelap politik itu terjadi aneka kekerasan politik berupa politik sandera-menyandera: saling sandera di antara anggota Dewan, saling sandera di antara anggota koalisi, saling sandera anggota Dewan dan eksekutif, serta saling sandera di antara eksekutif.

Politik saling sandera macam ini mengancam tidak saja masa depan roda pemerintahan, tetapi juga masa depan proses demokratisasi sendiri yang kian kehilangan roh, substansi, dan makna.


Informalitas Politik

Pasar gelap politik tumbuh ketika kekuatan-kekuatan politik yang dilandasi sistem norma, konsensus, dan kontrak politik formal (contractual power) tidak bekerja sehingga yang tumbuh adalah bola liar kekuatan-kekuatan informal (illegal power) yang dilandasi oleh kompleksitas kepentingan individu, kelompok, dan partai dengan mengabaikan segala bentuk kesepakatan, kompromi, dan konsensus politik yang legitimated.

Di dalam pasar gelap politik, keputusan politik tak lagi diambil berdasarkan diskursus politik rasional—yang digelar di dalam ruang wacana politik terbuka dan dilandasi oleh nalar politik sehat, seperti dilukiskan Habermas—tetapi berdasarkan metode ”kekerasan simbolik” (symbolic violence): saling sandera, saling tuduh, saling ancam, dan saling boikot yang menghancurkan nalar sehat dan rasionalitas politik.

Sistem politik demokratis hanya bisa bekerja apabila relasi kekuasaan dan transaksi politik terukur, terlihat, transparan, tepercaya, dan terawasi sehingga dapat dibatasi oleh sistem konstitusi, bukan ”bola liar kekuatan” dan transaksi di pasar gelap politik seperti terjadi kini.

Selain itu, sistem ”representasi politik” harus pula bekerja dengan tersalurkannya aneka kepentingan dan rasa keadilan publik dalam setiap keputusan politik.

Akan tetapi, seperti dikatakan Norberto Bobbio di dalam The Future of Democracy (1987), ancaman demokrasi justru datang dari ”minimalisme demokrasi”, yaitu tumbuhnya aneka ”kekuasaan tak tampak” (invisible power) serta tak bekerjanya sistem representasi politik yang menyebabkan terancamnya Rechtsstaat.

Hal ini karena kekuatan konstitusi dalam mengatur keputusan politik justru dikalahkan oleh kekuatan para mafioso di pasar gelap politik.

Kekuatan tak tampak mengancam masa depan demokrasi karena ia adalah bola liar yang melabrak segala norma, aturan, dan etika politik dalam kondisi tak berdayanya kekuatan hukum mengatur transaksi politik.

Dengan demikian, aneka bentuk mafia, premanisme, konspirasi, komplotan rahasia, coups d’état, dan organisasi liar lainnya tumbuh subur dalam pasar gelap politik yang setiap saat siap menerkam mangsa demi keuntungan politik sesaat.

Seperti dikatakan Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox (2000), sistem representasi politik (representative democracy) tak bekerja karena dimanipulasi para elite politik demi kepentingan jangka pendek. Para wakil rakyat yang sejatinya representasi suara rakyat kini sibuk membangun konsensus palsu dan aneka transaksi gelap demi melayani dan melindungi kepentingan para elite politik, bukan kepentingan rakyat yang hanya jadi obyek wacana.


Sandera Demokrasi

Berlanjutnya kultur penyanderaan, kian kokohnya kekuatan tak tampak, penyimpangan sistem representasi politik, pengkhianatan terhadap kontrak, dan pembelotan terhadap koalisi di dalam pasar gelap politik mengancam tidak saja keutuhan koalisi, tetapi juga roda pemerintahan, penegakan hukum, dan masa depan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang dibangun oleh aneka pembelotan, pelanggaran janji, dan pengkhianatan menjadikan segala bentuk kontrak sosial dan politik tak lagi bermakna.

Demokrasi dibangun oleh apa yang disebut Ernesto Laclau di dalam Emancipation(s) (2007) ”penanda kosong” (empty signifier). Koalisi, konsensus, dan kontrak politik menjadi jargon hampa karena tak pernah dipraktikkan dan dipatuhi kesepakatannya.

Transaksi dan koalisi politik yang dibangun di dalam pasar gelap politik dengan struktur kekuatan tak transparan, tak terukur, tak konsisten, tak tepercaya, dan tak dapat dievaluasi menjadi bola liar kekuatan yang sulit diprediksi arahnya.

Struktur pemerintah yang dibangun oleh koalisi rapuh, inkonsisten, dan tak dipercaya macam ini akan mengancam kelangsungan segala keputusan politik dan hukum di masa depan.

Pengajuan hak angket dan penolakannya oleh kelompok-kelompok legislatif— yang bukan untuk motif mengungkap keadilan, melainkan untuk membersihkan nama elite-elite politik mereka—menciptakan kultur politik saling sandera yang mengancam penegakan hukum pada masa depan karena siapa pun dapat menjadi penyandera sekaligus tersandera.

Hukum menjadi ”pasar gelap hukum”, saat keadilan tersandera kepentingan elite politik. Rechtsstaat menjadi Mafiastaat.

Ketika kontrak politik dicurangi, konsensus politik dikhianati, koalisi disubversi, hukum disandera, rasa keadilan dibungkam, fungsi representasi dimanipulasi, dan otoritas kekuasaan disalahgunakan, dalam beberapa tahun ke depan demokrasi sendiri yang tersandera.

Demokrasi sebagai jalan pembangunan rasionalitas politik berdasarkan prinsip keterbukaan, transparansi, dan ketepercayaan kehilangan roh karena di dalam pasar gelap politik tak ada lagi prinsip kepercayaan (trust) karena tak ada lagi yang bisa dipercaya.[Yasraf Amir Piliang* -- KOMPAS, 27 Februari 2011]

* Penulis, Direktur YAP Institute