Beredarnya bocoran dari kabel diplomatik Amerika Serikat ke seluruh dunia oleh WikiLeaks tidak hanya menghebohkan, tetapi juga pertanda bahwa kita memasuki era tatanan dunia baru. WikiLeaks tidak hanya berperan mengetahui perkembangan suatu negara, tetapi juga maksud-maksud di balik praktik diplomasi negara.
Kehadiran WikiLeaks menjadi revolusi teknologi yang sangat progresif dalam perpolitikan internasional. WikiLeaks menjadi senjata penguak dokumen-dokumen diplomasi dan intelijen, bahkan dengan tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi. Jika sebelumnya senjata nuklir adalah satu-satunya alat yang mampu menjaga stabilitas politik internasional sebagai alat pembentuk persepsi psikologis pihak lawan, kini bisa jadi WikiLeaks menjadi pengganggu stabilitas global.
Fakta kehadiran WikiLeaks juga memecah pemahaman mengenai diplomasi sebagai ujung tombak hubungan antarnegara. Pertama, jika memang diplomasi menjadi alat utama praktik hubungan internasional, maka semestinya konten diplomasi menjadi satu-satunya rujukan dalam merefleksikan hubungan antarnegara. Kedua, sebagian besar dokumen yang muncul ini jelas banyak menyibak fakta yang bertolak belakang dengan praktik diplomasi. Di sinilah kepercayaan terhadap instrumen diplomasi formal diuji.
Perubahan Sistemik
Semula penulis memprediksi kasus ini tidak akan menggurita sedemikian luas. Asumsi dasarnya, jika negara-negara di dunia menyikapi isu ini dengan bersama-sama mendeklarasikan bahwa WikiLeaks sama sekali tidak mengandung kebenaran, maka eskalasinya akan terhenti.
Namun, faktanya sejumlah negara justru makin mengecam AS atas kelalaiannya menerapkan sistem keamanan dalam kabel-kabel diplomatik. Hal ini menjadi bukti bahwa tidak satu negara pun menolak fakta-fakta yang disebarkan WikiLeaks. Dunia juga sontak mendukung perlindungan terhadap Julian Assange, pendiri WikiLeaks.
Ada dua kemungkinan yang dapat ditarik dari fakta ini. Pertama, dunia telah lelah dengan arogansi AS yang sedemikian rapi menyelinap di antara kekuasaan-kekuasaan tertinggi berbagai negara. Kehendak mengubah sistem dunia yang unipolar pun menggelora. Kasus WikiLeaks ini menjadi momentum untuk membalikkan dunia yang telah lama berkiblat ke AS.
Tragisnya, kecaman yang muncul dari hampir semua negara Barat, seperti Inggris dan Australia terhadap Pemerintah AS, semakin memperjelas terjadinya perpecahan soliditas arogansi Barat dan kemungkinan dimulainya tatanan dunia baru.
Kedua, fakta-fakta yang terungkap dari WikiLeaks tidak hanya menyibak arogansi AS, tetapi juga melibatkan para mitra diplomasinya. Maka, tidak ada satu negara pun yang ingin niatan-niatan politik terselubung dibeberkan kepada publik karena akan memengaruhi seluruh stabilitas kekuasaan rezim-rezim yang tengah berkuasa di sejumlah negara mitra-diplomasi AS.
Instabilitas Internasional
Meluasnya isu yang menyiratkan kuatnya arogansi negara-negara yang berkuasa dalam politik internasional memunculkan kekhawatiran pada kembalinya dunia ke era hilangnya kepercayaan antarnegara sebagaimana terjadi pada periode Depresi Besar 1929-1933.
Kebocoran kabel-kabel diplomatik ini bukan hanya menyibak intrik politik antarnegara, melainkan juga berbagai gejolak yang pernah terjadi di tingkat nasional. Sebagai dampaknya, semua penyelenggara negara akan lebih sensitif jika terbeber bahwa kebijakan-kebijakan nasionalnya selama ini ternyata adalah konsesi dengan negara-negara pendikte, bukan atas konsensus yang dibangun dengan rakyatnya.
Kini, saat Barat tengah disibukkan oleh dampak krisis finansial global 2007/2008, terjadi pergeseran arah serius negara-negara dalam meletakkan agenda global sebagai prioritas dalam kebijakan hubungan antarnegara. Amerika Serikat yang menjelma menjadi nasionalis neo-sosialistik di bawah Barack Obama—dengan mengurangi impor dan subsidi untuk industri strategis; anggota inti Uni Eropa yang saling lempar tanggung jawab untuk menalangi Yunani dan Irlandia; serta meningkatnya etno-nasionalisme di Eropa; semakin membuktikan berhentinya era pasifisme global.
Kebutuhan ekonomi yang kian terdesak interdependensi mengarahkan negara pada era nasionalisme baru, di mana hubungan internasional condong ke pemenuhan kebutuhan nasional. Di tengah perlunya negara bersikap nasionalistik ini, WikiLeaks akan menjadi momok jika maksud-maksud mengangkat kepentingan nasional dalam politik global tersibak begitu mudah.
Fenomena WikiLeaks lebih dari sekadar perang informasi. Alat ini akan ditakuti bukan hanya oleh Amerika Serikat, melainkan juga setiap negara. Kabel-kabel diplomatik bisa disusupi. Prinsip kesalingpercayaan (mutual trust) dalam hubungan internasional akan sirna jika situasi ini diteruskan. Dampaknya negara akan cenderung bersikap pasif dalam membuka peluang internasional dan rakyat bergerak lebih cepat dari negara.
WikiLeaks adalah dilema yang harus segera dipecahkan.[Pamungkas Ayudhaning Dewanto* - KOMPAS, 18 Desember 2010]
*Pamungkas Ayudhaning Dewanto, Editor Global: Jurnal Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI