posmodernisme prancis di INDONESIA

Dalam sebuah artikel di Basis dengan judul “Apa itu Purnamodernisme” (1997), almarhum Prof. Verhaar mencirikan modernisme demikian:

Purnamodernisme menolak ’modernisme’. ’Modernisme’ adalah sebagian yang relatif besar dari filsafat Descartes dan sesudahnya. Filsafat itu memasukkan, dalam kebudayaan dunia Barat, unsur-unsur berikut: pertama, prioritas pengetahuan sebagai dasar untuk segala kegiatan intelektual lain (sebagai ’filsafat pertama’, katakanlah); kedua, pelambangan identitas manusia sebagai ‘aku’, atau, ‘subjektivitas’; ketiga, konsepsi ‘interioritas’, yang mengandung juga intuisi manusia tentang ide-idenya sendiri; keempat, usaha untuk menemukan kepastian mulai menguasai usaha untuk menemukan kebenaran. Ada unsur lain juga, tetapi baiklah saya batasi diri pada keempat unsur”.

Kemudian dia meneruskan dengan menjelaskan posmodern (atau purnamodernisme) demikian:

Purnamodernisme menolak keempat unsur itu, dan memihak pada paham bahwa teori pengetahuan tidak berperan sebagai dasar, dan tergantung dari kerangka konseptual yang dianggap sesuai; bahwa identitas manusia tidak jelas dan dapat ’diisi’ menurut tafsiran yang dirasa berguna; bahwa metafor ’interioritas’ menyebabkan adanya pikiran dualistis; dan bahwa kekhawatiran tentang kepastian berupa obsesi dengan skeptisisme”.

Artikel ini bisa dipakai sebagai awal pembahasan tentang posmodernisme Perancis di Indonesia karena beberpa alasan. Pertama, pembicaraan tentang posmodernisme cenderung kabur atau dikaburkan. Artikel ini cukup berani dan tegas mencoba membuat delineasi antara modernisme dan posmodernisme. Kedua, tulisan ini jelas-jelas dimuat untuk publik Indonesia. Dengan demikian, tulisan ini bisa kita tempatkan dalam konstelasi wacana posmodernisme di Indonesia. Ketiga, seperti terlihat dalam bagian-bagian lain dari tulisan ini, Prof. Verhaar sedang bicara tentang pemikiran posmodern yang sangat dekat dengan perkembangan pemikiran di Perancis khususnya paroh kedua abad ke-20.

Kalau kita setuju dengan skop permasalah posmodernisme yang disebutkan oleh Prof. Verhaar di atas, selanjutnya kita bisa memeriksa bagaiamna skop itu dikunyah dan dikembangkan di Indonesia dan secara khusus bagaimana pengunyahan dan pengembangan ini terkait dengan tradisi pemikiran Perancis. Kita bisa mengajukan pertanyaan metodologis demikian: sejauh mana dan dengan cara apa problematisasi teori pengetahun, identitas, intuisi atau kesadaran, dan kepastian akan kebenaran dijalankan di Indonesia?

Dalam kaitannya dengan pemikiran Perancis, selama kurang lebih dua dekade terakhir ini problematisasi teori pengetahuan di Indonsia banyak didekati dengan pemikiran Foucault. Pendekatan ini melengkapi (untuk tidak mengatakan menggeser) apa yang selama ini dilakukan dalam sosiologi pengetahuan dan epistemologi. Perdebatan tentang teori pengetahuan di Indonesia secara kebetulan (?) mendapatkan momen istimewa, yaitu runtuhnya regim Soeharto sehingga banyak orang (khususnya yang bergerak di lingkungan perguruan tinggi atau dalam jurnal-jurnal ilmu sosial seperti almarhum Prisma) merasa lebih bebas meninjau ulang jenis pengetahun dan dipraktikkan (diajarkan dan dipakai untuk meneliti) di Indonesia selama ini. Antusiasme orang pada ”teori” pengetahuan Foucault bisa dilihat pada sejumlah karya terjemahan Foucault yang kita temukan di banyak toko buku. Kehadiran buku-buku semacam ini menjadi salah satu pertanda bagi harapan orang untuk segera berakhirnya regime tunggal pengetahuan yang didukung oleh regim tunggal militeristik.

Dalam bentuknya yang lebih serius, gejala itu bisa kita lihat dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan karya Daniel Dhakidae yang secara eksplisit menegaskan penelitiannya menggunakan pendekatan Foucauldian. Buku ini hanya merupakan satu di antara banyak respons atas dominasi ilmu-ilmu modern yang dirpodusksi dalam lembaga-lembaga yang digenggam oleh regim militeristik. Respons-respons lainnya bisa kita temukan dalam artikel-artikel yang tersebar dalam banyak majalah maupun dalam diskusi-diskusi yang marak sejak pertengahan tahun 1990-an. Terlepas dari berhasil dan tidaknya buku itu, saya melihat ada kemauan kuat untuk membongkar paradigma tunggal dalam ilmu pengetahuan sosial di Indonesia. Seperti sudah diduga, peran kekuasaan sangat besar. Oleh karena itu perlu pembiaran terjadinya penyebaran kekuasaan dengan pengetahuan ikutannya.

Kelompok lainnya yang pantas disebut di sini adalah kelompok gerakan perempuan. Untuk kepentingan gerakannya, kelompok ini merasa perlu meredifinisikan kembali pengetahuan-pengetahuan yang ada yang sedikat banyak bias gender. Salah satu hasil mencolok dari gerakan perempuan ini adalah dihasilkannya penelitian yang berupa kisah-kisah kecil yang lama-kelamaan bisa mengubah berbagai pengetahuan tentang perempuan. Untuk sementara, kisah-kisah kecil dan sepele ini barangkali tidak ilmiah tetapi dalam perkembangannya kisah ini justru telah berhasil mode of production pengetahuan. Gerakan perempuan ini seolah-olah ingin membuktikan credo Foucault bahwa kekuasaan itu pada dasarnya menyebar dan gerakan perempuan menunjukkan bahwa dalam diri mereka juga ada kekuasaan maka lahirlah pengetahuan.

Jadi saya melihat bahwa problematisasi teori pengetahuan di Indonesia gaya Foucauldian (posmodern?) mengambil konteks gerakan resistensi daripada kegiatan akademis.

Unsur kedua dari posmodenisme adalah problematisasi identitas. Banyak kelompok di Indonesia yang sampai sekarang masih menggunakan kategori identitas posmodern (fragmentaris) dalam kegiatan intelektualnya. Salah satu kelompok yang banyak menggunakan kategori ini adalah para seniman dan teman-temannya (kurator maupun kritikus seni). Kelompok lainnya adalah para pengamat budaya pop yang sudah banyak menghasilakan penelitian dan tulisan. Masalah identitas juga bergaung di kalangan mereka yang banyak mengamati masalah minoritas.

Masalah identitas ini telah mendorong para pemikir di Indonesia baik secara langsung atau tidak langsung berkomunikasi dengan tadisi psikoanalisa Lacan, seorang ahli psikoanalisa yang menggoyahkan identitas Kartesian. Sejauh saya tahu tidak ada pemikir yang dengan gencar dan frontal mempersoalkan masalah identitas manusia seperti dilakukan oleh Lacan. Descartes telah memberikan identitas manusia dengan ”aku”. Manusia adalah orang yang bisa mengatakan dirinya aku dengan penuh kesadaran. Sebaliknya, Lacan banyak tertarik pada sisi ”irasionalitas” manusia dalam pembentukan identitasnya.

Unsur ketiga dari posmodernisme adalah masalah intuisi yang kemudian diyakini bisa melahirkan kesadaran manusia. Prof. Verhaar menunjukkan bahwa para posmodern menggeser intuisi dengan bahasa:

Menurut purnamodern, intuisi sebagai sumber pengetahuan tidak daapat luput dari dualisme. Pengetahuan kita tertanam dalam bahasa. Bahkan, pikiran tidak lain adalah bahasa yang merumuskannya. Asas purnamodern: tidak ada apa-apa di luar bahasa. Bahasa kita juga tidak dapat dianggap ’mencerminkan’ realitas, ataupun mengungkapkan yang ’batin’ di dalam diri kita”.

Memang, perhatian orang pada sentralitas bahasa begitu mencolok dalam posmodenism dan hal ini juga secara jelas terlihat dalam wacana posmodernisme di Indonesia dalam berbagai bentuknya. Salah satu pengakuan akan pentingnya bahasa bisa kita saksikan dalam teori konsumsi atau politik ekonomi tanda yang dikembangkan oleh Baudrillard yang nota bene menjadi salah satu pemikir Perancis yang akrab di Indonesia. Kalau kita telusuri lebih jauh, salah satu batu penjuru dari teori konsumsi Baudrillard tidak lain adalah pengakuan akan kekuatan bahasa dalam membentuk kesadaran dan batin kita (tidak sebaliknya). Dalam kategori teori konsumsi Baudrillard, barang komoditi adalah bentuk bahasa yang menciptakan kebutuhan kita. Wilayah inilah sebenarnya yang sedang banyak dilakukan sejumlah orang yang tertarik pada kajian konsumsi seperti dalam buku (sebut saja misalnya Kasiyan lewat bukunya Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan atau Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun karya Aquarini Priyatna Prabasmoro). Masalah konsumsi tidak lagi semata-mata urusan kajian ekonomi atau psikologi melainkan bahasa atau budaya. Cara ini banyak didukung oleh para pemikir Prancis seperti Baudrillard. Wacana-wacana kritis-analitik di sekitar budaya konsumsi ini mulai menggeser atau mendampingi wacana-wacana saleh-normatif yang hanya menganjurkan agar kita tidak terpengaruh rayuan iklan.

Masalah keempat yang dipersoalan oleh para posmodern adalah masalah kepastian. Tentang kepastian, Prof. menjelaskan dengan lugas:

Pencarian kepastian lahir dari keinginan untuk mengatasi skeptisisme. Keinginan tersebut berasal dari rasa cemas. Kaum purnamodern secara rutin memakai istilah ”kecemasan Kartesian”. Dalam kerangka purnamodern, skeptisisme tidak menjadi soal. Kitan kan manusia kecil, makhluk yang terbatas. Dan skeptisme dapat juga membuka jalan untuk yang tak terduga. Sebaliknya, kepastian dapat saja menutup semua pintu”.

Dalam artikelya ”Antihumanisme, Dekonstruksi, dan Fragmentasi Identitas”, dia menunjukkan pentingnya skeptisisme bagi para intelektual bahkan skpetisime harus menjadi ”spiritualitas” para intelektual:

Kaum intelektual harus dapat hidup dengan skeptisme atas dasar kekontingenan eksistensi manusia sebagai makhluk terbatas – apalagi, skeptisme tersebut dapat saja membantu spiritualitas (…)”.

Sedikit banyak, semangat ini meredakan polemik ideologis-keagamaan yang sering menjerumuskan hubungan sosial ke dalam situasi antagonistis dan akhirnya konflik. Dalam masyarakat Indonesia secara perlahan-lahan ada semacam semacam kesadaran kontingensi manusia. Misalnya, sekarang orang mulai berani mengatakan bahwa saya memilih agama X karena saya lahir dalam tradisi agama X dan bukannya saya membuat penelitian ilmiah tentang agama X baru saya memilihnya. Dengan kata lain, kita mengakui kontingensi kesejarahan kita dalam menentukan kebenaran yang kita anut.

Saya tidak tahu apakah yang saya uraikan di atas bisa disebut sebagai posmodernisme Perancis di Indonesia. Namun saya yakin dan mengalami bahwa tradisi pemikiran Perancis yang sering dikaitkan entah dengan nama posmodernisme atau postrukturalisme telah memberikan sumbangan luar biasa bagi masyarakat ini untuk mengambil jarak dengan dirinya. Kalau selama ini hidup kita dibangun pada dan dipoles dengan model pembangungan (yang tidak lain adalah merupakan bentuk dari proyek modernisasi untuk negara-negara dunia ketiga), banyak pemikir Perancis yang berperan untuk meninjau ulang (bukan merevisi namun menjungkirbalikkan) tujuan dan laju pembangunan yang jejak-jejaknya tidak hanya kita saksikan dalam gedung dan jembatan melainkan juga dalam pikiran-pikiran kita. Salah satu hasil yang sering kita rasakan adalah perasaan ngeri, perasaan transisional atau, singkatnya, perasaan vertigo atas apa yang sudah dan akan kita jalani. Jangan-jangan posmodern hanyalah nama lain dari pengalaman verigo saat kita berhdapan dengan diri kita sendiri?![ST. SUNARDI*]

*Penulis adalah Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

gado-gado SANG JURNALIS