strukturalisme LEVI-STRAUSS

1. Pengantar
Adakah pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia? Kalau ada, seperti apa? Di kalangan yang mana? Kalau tidak ada atau kurang terlihat, mengapa?

Itulah beberapa pertanyaan yang berusaha dijawab dalam makalah ini. Jawaban-jawaban ini lebih didasarkan pada hasil pengalaman pribadi daripada hasil sebuah penelitian yang serius dan teliti mengenai pengaruh strukturalisme Prancis di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Namun sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ada baiknya saya paparkan terlebih dulu seperti apa strukturalisme Prancis itu, terutama yang diusung oleh Lévi-Strauss, dan mengapa saya memilih menampilkan strukturalisme Lévi-Strauss di sini.

Pada musim semi tahun 1981, setahun setelah meninggalnya ahli filsafat Jean Paul Sartre, majalah Prancis Lire mengadakan sebuah jajak pendapat di kalangan intelektual, mahasiswa dan politisi Prancis, dengan pertanyaan, “siapa tiga pemikir berbahasa Perancis yang masih hidup, yang pandangannya – menurut anda – paling berpengaruh terhadap evolusi (perkembangan) pemikiran sastra dan ilmu pengetahuan dan sebagainya ?”. Dari kira-kira 448 jawaban yang masuk, 101 orang menyebut nama Lévi-Strauss, 84 orang menyebut Raymond Aron, 83 orang menyebut Michel Foucault. Nama-nama lain yang juga disebut antara lain adalah Jaques Lacan (51), Simone de Beauvoir (46), dan masih ada lagi beberapa yang lain (Pace, 1986 : 1).

Hasil jajak pendapat tersebut mungkin agak mengherankan juga, karena antropologi bukanlah sebuah cabang ilmu yang populer di Prancis, dibandingkan dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Apa ini artinya ? Tidak lain adalah bahwa pemikiran-pemikiran Lévi-Strauss ternyata dipandang begitu berpengaruh oleh kaum intelektual Prancis, dan sedikit banyak hal itu juga menunjukkan bahwa Lévi-Strauss tidak hanya dipandang sebagai ahli antropologi, tetapi juga ahli filsafat, walaupun Lévi-Strauss sendiri sudah tidak lagi begitu menyukai filsafat sebagaimana yang dia kenal, setelah dia berkenalan dengan antropologi.

Kedua, sebuah karikatur yang banyak direproduksi muncul dalam majalah-majalah Prancis tentang para strukturalis. Di situ digambarkan empat orang tengah duduk melingkar di bawah pohon tropis dengan mengenakan pakaian suku-suku bangsa yang masih primitif, yaitu rok yang terbuat dari daun ilalang. Empat orang tersebut adalah Jacques Lacan, Rolanda Barthes, Michel Foucault dan tentu saja Claude Lévi-Strauss. Judul karikatur ini adalah “Le déjeuner des structuralistes”, atau “makan siang para strukturalis” (Sturrock, 1979 : 1). Karikatur ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa di kalangan intelektual Prancis ketika itu, empat orang itulah yang dikenal sebagai tokoh-tokoh strukturalisme. Namun, beberapa tahun kemudian, satu persatu dari mereka meninggalkan strukturalisme, dan akhirnya tinggal Lévi-Strauss yang tetap setia menjadi perawat dan pengembang paradigma tersebut. Apa ini artinya ? Tidak lain adalah bahwa Lévi-Strausslah yang paling yakin dengan manfaat dan kemampuan paradigma struktural untuk digunakan menganalisis gejala-gejala sosial-budaya. Dengan kata lain, dialah seorang penganut strukturalisme tulen.

Ketiga, hasil survei sebuah lembaga Amerika atas kutipan-kutipan (citations) antropologi dari tahun 1969-1977, menunjukkan bahwa tulisan-tulisan Lévi-Strauss adalah tulisan yang paling banyak dikutip orang, dibanding tulisan ahli-ahli antropologi yang lain (Pace, 1986 : 7). Dengan kata lain, strukturalisme Lévi-Strausslah yang paling banyak dikenal dan berpengaruh dibandingkan dengan paradigma antropologi yang lain.

Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss juga bukan hanya merupakan sebuah teori baru, tetapi – sebagaimana dikatakan oleh Lévi-Strauss sendiri – adalah juga sebuah epistemologi baru dalam ilmu-ilmu sosial-budaya. Oleh karena itu strukturalisme Lévi-Strauss tidak hanya penting bagi dan dalam antropologi, tetapi juga penting bagi ilmu-ilmu sosial-budaya lain. Tidak mengherankan, setelah kemunculan strukturalisme ini pandangan-pandangan antropologi kemudian mempengaruhi cabang-cabang ilmu sosial-budaya yang lain seperti sosiologi, sastra, dan filsafat.

Kelima, aliran pemikiran baru yang muncul setelah strukturalisme, seperti post-modernisme atau post-strukturalisme – ini nama-nama yang sebenarnya kurang tepat untuk menyebut sebuah aliran pemikiran – atau semiotika yang kini populer di Barat, tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami strukturalisme. Bagaimanapun juga, kelahiran paradigma-paradigma baru ini tidak dapat dilepaskan dari munculnya strukturalisme itu sendiri. Tanpa memahami strukturalisme akan sulit memahami post-strukturalisme atau post-modernisme.

Itulah lima alasan utama mengapa dalam perbincangan tentang strukturalisme ini strukturalisme yang dirintis dan dikembangkan oleh Lévi-Strausslah yang akan ditampilkan di sini. Claude Lévi-Strauss adalah seorang ahli antropologi yang tetap konsisten menekuni dan mengembangkan paradigma struktural. Ditangannyalah strukturalisme kemudian dikenal oleh lebih banyak orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dengan memperbincangkan tentang strukturalisme ini diharapkan akan muncul ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia yang akan bersedia mengembangkan lebih lanjut kerangka pemikiran tersebut.

Sebelumnya saya perlu minta maaf kepada publik jika dalam tulisan ini sosok saya terasa begitu menonjol dalam proses penyebaran strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia, karena saya tidak tahu orang lain di Indonesia yang telah membahas pemikiran Lévi-Strauss dengan cukup mendalam sebagaimana yang telah saya lakukan. Saya ingat, ketika saya masih kuliah antropologi di Universitas Indonesia di akhir tahun 1970an, teman-teman saya umumnya tidak menyukai teori-teori dari Lévi-Strauss, karena selalu sulit dan tidak biasa, sedang saya lumayan menyukai teori-teori tersebut karena terasa begitu menantang untuk memahaminya.

Sementara itu, dosen-dosen antropologi yang mengajar kami ketika itu juga tidak banyak yang paham dan menaruh minat pada strukturalisme Lévi-Strauss. Prof. Koetjaraningrat misalnya, yang mengajar kami teori-teori antropologi, tidak terlihat menyukai strukturalisme Lévi-Strauss, karena aliran ini kurang sejalan dengan kecenderungan teoritis beliau yang lebih positivistik. Dalam Sejarah Teori Antropologi II, Prof. Koentjaraningrat melontarkan kritik terhadap strukturalisme Lévi-Strauss, yang menurut saya kritik tersebut sebenarnya kurang tepat. Lebih dair itu, dosen-dosen antropologi yang lain – yang ketika itu belum Professor – seperti Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Budi Santoso, Dr. Nico Kalangie, Dr. J. Danandjaja, terasa begitu dipengaruhi oleh ahli-ahli antropologi Amerika, seperti Clifford Geertz, Ward H. Goodenough, James P. Spradley, dan sebagainya, karena mereka melanjutkan pendidikan pascasarjana mereka di Amerika, walaupun mereka itu kemudian tidak mengembangkan aliran pemikiran antropologi tertentu di Indonesia. Antropologi Eropa (Inggris, Belanda, Prancis) sama sekali tidak terasa pengaruhnya dalam pemikiran-pemikiran dan analisis mereka tentang gejala sosial-budaya di Indonesia. Oleh karena itu, sangat dapat dimengerti apabila dari kalangan ahli antropologi tidak ada yang berupaya untuk memperkenalkan secara serius strukturalisme Lévi-Strauss.

2. Ilmu Sosial-Budaya Indonesia 1970-1990an : Mengapa Tidak Struktural?
Beberapa tahun setelah saya meninggalkan Indonesia untuk mengikuti pendidikan S-3, pada tahun 1994 saya kembali. Saya berharap ketika itu berbagai pemikiran yang saya kenal dari perkuliahan saya di jurusan Antropologi di Universitas Columbia akan dapat saya temukan di Indonesia, sehingga saya dapat segera membangun wacana tentang pemikiran-pemikiran tersebut di negeri sendiri. Namun, akhirnya saya harus kecewa, karena situasi dan kondisi pemikiran dalam ilmu sosial-budaya Indonesia ketika itu ternyata tidak seperti yang saya duga dan harapkan. Padahal, tokoh-tokoh ilmu sosial-budaya yang saya kagumi dan sebagian pernah menjadi guru saya ketika itu masih ada, dan masih aktif, seperti misalnya Fuad Hasan, Koentjaraningrat, Masri Singarimbun, Sartono Kartodirdjo, Parsudi Suparlan, James Danandjaja, Selo Soemardjan dan sebagainya. Saya bertanya-tanya dalam hati : Mengapa mereka tidak menulis mengenai aliran-aliran baru dalam antropologi atau bidang ilmu yang mereka tekuni ?

Dalam antropologi di Indonesia ketika itu, tidak telihat arus pemikiran strukturalisme dari Prancis, tidak ada aliran Etnosains dari Amerika Serikat, tidak terlihat Tafsir Kebudayaan seperti yang dikembangkan Clifford Geertz. Post-modernisme mulai terdengar, dan sempat populer dalam dua-tiga tahun, tetapi setelah itu seperti hilang ditelan bumi. Saya cukup heran dengan situasi dan kondisi seperti itu. Akan tetapi setelah beberapa tahun berada di Indonesia, akhirnya saya dapat memaklumi keadaan yang seperti itu, walaupun itu tidak berarti bahwa saya menyetujui dan menyukai keadaan tersebut.

Ketika saya datang pada awal tahun 1990an, strukturalisme Lévi-Strauss tidak terdengar gaungnya di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Bagi saya ini adalah sebuah keanehan, karena kalau kita membaca jurnal dan buku-buku ilmu sosial-budaya di Barat di tahun 1970an, bahkan sampai tahun 1980an, strukturalisme masih tetap merupakan paradigma yang populer dan terasa kuat pengaruhnya. Saya mencoba untuk mengetahui apa kira-kira penyebab hal tersebut, karena biasanya ilmuwan Indonesia sangat mudah dan cepat menanggapi dan berusaha segera mempopulerkan paradigma-paradigma baru di Barat yang baru saja mereka kenal.

Beberapa tahun saya mencoba mengetahui hal ini. Ada beberapa faktor yang tampaknya telah membuat strukturalisme Prancis kurang begitu dikenal di Indonesia. Pertama, strukturalisme tersebut tumbuh dan berkembang di Prancis, sebuah negeri yang relatif kurang begitu dikenal oleh banyak orang Indonesia, karena bahasanya juga kurang populer di Indonesia, dibandingkan misalnya dengan bahasa Inggris dan Belanda. Tidak banyak ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu yang memperoleh pendidikan di Prancis, bahkan hampir tidak ada. Orientasi pendidikan ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu adalah Amerika Serikat, karena di tahun 1950an dan 1960an Indonesia adalah salah satu negeri yang banyak diteliti dan dibahas oleh ilmuwan sosial Amerika Serikat. Nama-nama beken sebagian ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat ketika adalah nama-nama mereka yang banyak meneliti masyarakat Indonesia. Nama ilmuwan Prancis yang meneliti Indonesia namun namanya hampir tidak terdengar di Indonesia adalah Christian Pelras (meneliti sejarah Indonesia). Nama Lévi-Strauss sebagai seorang teoritisi hampir tak dikenal. Hanya mahasiswa antropologi saja yang mengenal tokoh tersebut lewah kuliah dari Prof. Koentjaraningrat almarhum di tahun 1970-1980an. Lévi-Strauss yang kita kenal ketika itu adalah merk sebuah celana jeans.

Aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu adalah aliran fungsionalisme-struktural yang berasal dari Talcott Parsons, ahli sosiologi Amerika Serikat. Fungsionalisme-Struktural yang diwariskan oleh A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski di tahun 1940an dikembangkan lebih lanjut oleh Parsons dan berhasil menjadi sebuah aliran yang mendominasi pemikiran ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat di tahun 1960-1970an. Ilmuwan sosial-budaya Indonesia yang belajar di Amerika Serikat di masa itu otomatis sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran ini – bahkan sampai sekarang – . Aalagi ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat yang mempelajari Indonesia juga menggunakan paradigma tersebut. Lengkaplah sarana paradigma Fungsionalisme – Struktural untuk menyebar dan dikenal di Indonesia.

Kedua, strukturalisme Lévi-Strauss dalam antropologi, sebuah cabang ilmu yang kurang begitu populer di Indonesia. Memang, di tahun 1970an dan 1980an antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan masih belum begitu dikenal di Indonesia. Orang masih sering mengacaukannya dengan arkeologi, yang di Amerika Serikat memang merupakan salah satu spesialisasi dalam antropologi. Kalau antropologi sebagai ilmu sudah tidak begitu dikenal, apalagi teori-teori yang ada di dalamnya. Kalau di kalangan ahli antropologi Indonesia saja strukturalisme di Lévi-Strauss sudah tidak begitu dikenal, apalagi oleh kalangan yang lebih luas.

Ketiga, strukturalisme banyak mendapat inspirasi dari ilmu bahasa dan mengambil ilmu tersebut sebagai modelnya. Sementara itu, ilmu bahasa atau linguistik bukanlah sebuah ilmu yang populer di Indonesia, dan teori-teorinya juga tidak begitu dikenal. Para ilmuwan sosial-budaya umumnya juga tidak mengenal linguistik, sehingga mereka tentunya mengalami kesulitan ketika berusaha memahami analisis-analisis strukturalisme Lévi-Strauss yang sangat banyak mendapat inspirasi dari linguistik.

Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss adalah sebuah epistemologi baru, yang saya kira cukup besar perbedaannya dengan epistemologi yang dianut oleh sebagian besar ilmuwan sosial-budaya Indonesia, yakni epistemologi yang positivistik dan epistemologi yang historis. Sebagai epistemologi strukturalisme sangat berseberangan dengan epistemologi historisme, dan cukup besar perbedaannya dengan epistemologi positivisme. Untuk mereka yang terbiasa berfikir dengan menggunakan sebuah paradigma, atau yang didasarkan pada sebuah epistemologi saja, seperti halnya kebanyakan ilmuwan sosial-budaya Indonesia, munculnya sebuah paradigma atau epistemologi baru tidak akan memicu munculnya tanggapan yang positif. Sebaliknya, reaksi yang muncul biasanya adalah : menolak secara sembunyi-sembunyi, acuh tak acuh, atau menolak secara terang-terangan.

Kelima, analisis struktural dan bahasa yang digunakan oleh Lévi-Strauss dalam tulisan-tulisannya termasuk yang tidak mudah dipahami. Analisis struktural Lévi-Strauss banyak memanfaatkan data etnografi dan analisis serta interpretasi dilakukan atas informasi etnografis mengenai berbagai hal yang begitu kecil dan njlimet. Oleh karena itu pula analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss termasuk yang tidak mudah dipahami oleh orang-orang antropologi. Kesulitan memahami ini bertambah besar lagi di kalangan ketika Lévi-Strauss menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami. Lévi-Strauss termasuk ahli antropologi yang mampu menggunakan daya retorika yang bagus tetapi tidak mudah dipahami. Bahasa tulisannya memang belum nyastra sekali seperti Geertz, tetapi sudah termasuk nyastra atau sastrawi.
Itulah beberapa faktor yang menurut saya telah membuat strukturalisme Lévi-Strauss kurang begitu dikenal di Indonesia, walaupun aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam dunia pemikiran di Barat. Mengingat pentingnya strukturalisme Lévi-Strauss dalam perkembangan pemikiran di Barat, begitu tidak dikenalnya aliran pemikiran itu di Indonesia, serta sulitnya memahami paradigma itu sendiri, maka saya kemudian memberanikan diri untuk mengusung strukturalisme Lévi-Strauss ke Indonesia setelah saya menyiapkan diri dengan lebih baik di Amerika Serikat, dengan mengumpulkan artikel dan buku-buku yang relevan.

3. Mengusung Strukturalisme Lévi-Strauss : 1980an dan 1990an
Generasi saya adalah generasi baru pelajar ilmu sosial-budaya yang mulai mengenal pemikiran dari Eropa Daratan, karena saya mendapat pendidikan lanjutan di Belanda. Di sinilah saya berkenalan lebih dekat dengan strukturalisme Prancis, karena antropologi di Belanda di masa lampau sudah lebih dulu mengenal strukturalisme, dan kemudian mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme Prancis. Meskipun demikian, saya tidak serta-merta tertarik pada strukturalisme Prancis, walaupun saya terus-terang tertarik pada kecanggihan pemikiran Lévi-Strauss. Ketika itu teman sayalah yang kemudian menggunakan paradigma struktural – yang merupakan campuran strukturalisme Prancis dan Belanda – untuk menulis tesis S-2 nya, yakni P.M. Laksono. Kami berdua adalah mahasiswa Indonesia yang dipengaruhi oleh pemikiran struktural ketika itu. Yang lain tidak tertarik, bahkan cenderung bersikap negatif dan sinis terhadap aliran strukturalisme yang ketika itu diajarkan oleh P.E. de Josselin de Jong kepada kami. Saya tidak tahu mengapa demikian, tetapi seingat saya karena mereka umumnya menganggap pendekatan tersebut “statis”, tidak dapat digunakan untuk memahami dan menganalisis perubahan.

a. Periode 1980an
Laksono menerapkan analisis struktural lebih awal daripada saya. Tesis pascasarjananya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku, adalah mengenai struktur yang ada dalam Tradisi Ageng dan Tradisi Alit masyarakat Jawa. Dengan menggunakan analisis struktural Laksono (1986) mencoba menunjukkan bahwa Tradisi Ageng Jawa di Kraton adalah transformasi dari Tradisi Alit Jawa di daerah pedesaan. Dalam hal ini Laksono membandingkan struktur budaya pada masyarakat Jawa di Bagelen dengan struktur budaya Jawa di Kraton Mataram. Buku ini memang tidak mendapat banyak perhatian dari ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Mungkin, karena pendekatannya terasa tidak lazim; mungkin juga sulit dimengerti oleh mereka yang belum mengenal strukturalisme; mungkin pula karena kurang promosi. Yang jelas buku ini setahu saya merupakan analisis kebudayaan secara struktural yang pertama dilakukan oleh ahli antropologi Indonesia. Oleh karena penulisan buku tersebut berada di bawah bimbingan P.E. de Josselin de Jong, ahli antropologi struktural dari Universitas Leiden, Belanda, maka tidak terlalu mengherankan apabila pengaruh strukturalisme Belanda lebih terlihat di situ daripada pengaruh strukturalisme Prancis.

Setelah selesai kuliah di Universitas Leiden, Belanda, saya mengajar di jurusan antropologi, dan kesempatan itu saya gunakan untuk menebar paradigma strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM. Satu-dua orang mahasiswa mulai tertarik dengan pendekatan ini dan mulai menerapkannya untuk penulisan skripsi. Walaupun masih dalam taraf yang sangat sederhana namun minta mereka untuk menggunakan sebuah paradigma yang belum lazim diterima dan cukup sulit, patut dihargai. Para mahasiswa antropologi UGM ketika itu mulai mengenal nama Lévi-Strauss serta teori-teorinya dengan cukup baik. Bukan hanya karena kuliahnya lebih terfokus, tetapi juga karena buku-buku dan artikel-artikel antropologi struktural dapat mereka peroleh secara langsung, yaitu dengan memfotocopy buku-buku dan artikel-artikel yang saya bawa dari luar.

Secara kebetulan waktu itu di majalah Basis muncul sebuah artikel mengenai Lévi-Strauss dan strukturalismenya, yang ditulis oleh Radrianarisoa. Setelah membaca artikel itu saya berpendapat bahwa apa yang ada dalam artikel tersebut tidak seluruhnya tepat atau seperti yang saya ketahui. Oleh karena itu sayapun menulis sebuah artikel yang isinya merupakan tanggapan, tambahan dan “pelurusan” beberapa pendapat dalam artikel tersebut (Ahimsa-Putra, 1984). Semenjak itu, saya merasa bahwa nama saya hampir selalu dihubungkan dengan strukturalisme atau antropologi struktural.

Pengetahuan mengenai strukturalisme tidak dapat saya tebar lebih lama di UGM, karena setelah dua tahun saya mengajar saya memperoleh kesempatan melanjutkan studi S-3 antropologi ke Universitas Columbia di New York, Amerika Serikat. Ketika itu pengajaran teori antropologi, termasuk di dalamnya strukturalisme Lévi-Strauss, dilanjutkan oleh dosen kami yang paling senior di UGM, Pak Kodiran, yang saat itu masih belum guru besar. Laksono tidak dapat menggantikan, karena dia sudah lebih dulu pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi. Untuk beberapa tahun, saya tidak mengetahui perkembangan strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM, sampai ketika saya pulang kembali ke UGM setelah menyelesaikan S-3 saya.

b. Periode 1990an
Pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss yang sudah mulai terlihat di tahun 1980an di Indonesia mulai terasa menguat setelah saya memberikan kuliah mengenai strukturalisme lagi selama beberapa tahun di jurusan Antropologi UGM, dan menulis beberapa artikel dengan menggunakan paradigma tersebut. Setelah saya kembali ke UGM, saya kebetulan diminta Prof. Baroroh Baried – yang ketika itu menjadi ketua program pascasarjana sastra – untuk mengampu matakuliah mitologi. Permintaan tersebut saya terima dan secara kebetulan saya mendapat dana penelitian, yang saya gunakan untuk melakukan penelitian atas mitos orang Bajo. Laporan penelitiannya kemudian saya tulis kembali menjadi artikel yang kemudian diterbitkan oleh majalah Kalam (Ahimsa Putra, 1995).

Artikel ini rupanya semakin menguatkan citra saya sebagai orang yang tahu strukturalisme Lévi-Strauss lebih dari yang lain, karena – sebagaimana kita ketahui – majalah Kalam adalah majalah yang banyak dibaca oleh mereka yang berminat pada sastra, seni dan filsafat, dan diluar lingkaran antropologi setahu saya belum ada orang lain yang berbicara mengenai aliran pemikiran tersebut. Analisis struktural ala Lévi-Strauss atas mitos sama sekali belum dikenal di Indonesia ketika itu. Nama Lévi-Strauss dan strukturalisme tetap belum akrab di kalangan terpelajar di Indonesia.

Pendapat bahwa saya adalah orang yang tahu tentang strukturalisme Lévi-Strauss itu rupanya telah mendorong pihak penerbit LKIS meminta saya menulis kata pengantar untuk buku yang akan mereka terbitkan, yang berasal dari buku Octavio Paz mengenai strukturalisme Lévi-Strauss. Sayapun menyanggupi permintaan tersebut. Dalam kata pengantar itu saya kembali menyampaikan berbagai hal mengenai strukturalisme Lévi-Strauss yang belum banyak diketahui, serta memberikan tanggapan terhadap pendapat-pendapat Paz yang menurut saya kurang tepat, atau perlu dijelaskan lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian (Ahimsa-Putra, 1997). Ketika itu saya merasa bahwa strukturalisme mulai menarik perhatian kalangan intelektual muda, terutama di Yogyakarta, karena kalau tidak ada ketertarikan tersebut, tentu buku Paz tidak akan diterjemahkan dan diterbitkan.

Sementara itu, melalui perkuliahan di S-1 dan S-2 antropologi serta S-2 sastra, saya terus menyebarkan strukturalisme ke kalangan mahasiswa. Beberapa mahasiswa kemudian tertarik untuk menulis tesis dengan menggunakan pendekatan struktural. Oleh karena tidak ada dosen lain yang dipandang lebih memahami strukturalisme, maka pembimbingan penulisan skripsi atau tesis semacam ini boleh dikatakan selalu diserahkan kepada saya. Ketika satu-dua tesis struktural mulai dapat ditulis dan diujikan dengan hasil yang baik (banyak yang mendapat nilai A), semakin banyak mahasiswa yang tertarik untuk menyusun tesis atau skripsi struktural. Gaung strukturalisme sebagai sebuah paradigma semakin luas terdengar di kalangan mahasiswa, terutama jurusan antropologi di UGM, tetapi saya tidak tahu bagaimana gaung tersebut di luar UGM. Mudah-mudahan ada yang bersedia memberikan informasi mengenai bagaimana strukturalisme (Lévi-Strauss) dipandang dan dipahami oleh para mahasiswa – antropologi maupun bukan – di luar UGM.

Selain melalui perkuliahan, saya juga menulis makalah-makalah untuk seminar dengan tema struktural, baik itu yang analitis maupun teoritis. Melalui forum seperti inilah saya dapat menyebarkan strukturalisme. Saya menawarkan pendekatan struktural untuk menganalisis fenomena arkeologis (Ahimsa – Putra, 1998a; 1999c; 2000a). Saya juga menawarkan pendekatan tersebut untuk menganalisis karya-karya sastra kontemporer yang mungkin tidak pernah terpikirkan untuk dianalisis secara struktural, seperti karya-karya Umar Kayam (Ahimsa – Putra, 2002c), sedang kepada para peneliti fenomena keagamaan saya juga menunjukkan bahwa strukturalisme dapat digunakan untuk memahami fenomena keagamaan seperti sinkretisme (Ahimsa – Putra, 2000b).

Paradigma strukturalisme Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal lagi setelah terbitnya buku Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra (Ahimsa – Putra, 2001). Buku ini saya kira telah membuat peneliti dan pelajar sastra menengok para strukturalisme Lévi-Strauss, yang berbeda dengan strukturalisme yang selama ini mereka kenal dalam analisis sastra. Buku ini pula yang membuat banyak orang mulai menyadari bahwa sekat-sekat keilmuan sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Strukturalisme Lévi-Strauss yang muncul dan berkembang dengan baik dalam antropologi ternyata sangat dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra, dan analisis semacam ini dapat mengungkapkan dimensi tertentu dari karya sastra yang tidak dapat diungkapkan melalui pendekatan yang lain. Dengan demikian, para peneliti sastra sebaiknya juga menengok dan mempelajari paradigma-paradigma yang berkembang di luar kajian sastra. Dengan terbitnya buku tersebut, strukturalisme Lévi-Strauss mulai dikenal di luar lingkaran antropologi.

Langkah yang saya tempuh untuk memperkenalkan paradigma antropologi struktural di Indonesia dengan menulis artikel dan menerbikan buku didasarkan pada pandangan bahwa orang tidak akan tertarik pada suatu pendekatan atau paradigma bilamana dia belum mengetahui tentang paradigma tersebut, tentang cara menggunakannya, dan manfaat apa yang akan diperoleh dari penggunaan tersebut. Lewat berbagai makalah dan artikel itulah saya berupaya menunjukkan bahwa strukturalisme adalah sebuah cara baru untuk memandang gejala sosial-budaya. Melalui paradigma tesebut ada aspek-aspek lain dari gejala sosial-budaya. Melalui paradigma tersebut ada aspek-aspek lain dari gejala sosial-budaya yang dapat diungkapkan, yang tidak akan dapat diungkap melalui paradigma yang lain. Dari makalah dan artikel tersebut orang dapat menilai keampuhan paradigma struktural untuk memahami gejala sosial-budaya lewat sudut pandang yang berbeda. Sejak itu, strukturalisme Lévi-Strauss semakin dikenal di Indonesia, dan tidak terbatas di kalangan pelajar antropologi saja.

4. Strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia : 2009
Bagaimana strukturalisme di Indonesia sekarang, setelah saya menganalisis mitos Bajo secara struktural dan mulai memberi kuliah strukturalisme 15 tahun yang lalu? Strukturalisme Lévi-Strauss kini sudah lebih dikenal di Indonesia, dan semakin banyak mahasiswa antropologi yang menggunakan pendekatan ini untuk memahami berbagai gejala sosial-budaya dalam masyarakat Indonesia. Meskipun demikian saya tetap tidak mengetahui bagaimana perkembangan paradigma strukturalisme Lévi-Strauss atapun strukturalisme pada umumnya di luar UGM. Memang, saya sering mendengar nama-nama Barthes dan Foucault disebut-sebut dalam beberapa diskusi, namun belum pernah saya mendengar orang membahas pemikiran-pemikiran Barthes dan Foucault secara serius, baik itu secara formal lewat seminar, ataupun dalam diskusi-diskusi informal. Oleh karena itu, di sini saya hanya akan memaparkan pengaruh-pengaruh strukturalisme, terutama strukturalisme Lévi-Strauss sebagaimana yang saya ketahui dari karya-karya ilmiah yang bisa saya peroleh.

a. Metode Analisis
Pengaruh strukturalisme terlihat terutama pada metode analisis, dan di sinilah memang terletak kekuatan strukturalisme Lévi-Strauss sebagai sebuah paradigma. Kalau paradigma antropologi sebelumnya jarang sekali menampilkan metode analisisnya, strukturalisme Lévi-Strauss justru terlihat membedakan dirinya dari yang lain melalui metode analisis ini. Strukturalisme Lévi-Strauss mulai terlihat digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kebudayaan yang belum pernah dianalisis secara struktural. Ini terlihat pada tesis dan disertasi di jurusan antropologi UGM.

Analisis struktural telah digunakan untuk mengungkap struktur yang ada pada rumah Limas Palembang (Purnama, 2000), rumah tradisional Sumba (Purwadi, 2002). Kalau Dadang H. Purnama mengungkapkan struktur rumah Limas Palembang dan mengaitkannya dengan struktur pemikiran orang Palembang, Purwadi lebih tertarik untuk mengungkap prinsip-prinsip struktural yang ada di balik rumah tradisional Suma di Umaluhu. Oleh karena itu, analisis Purnama kemudian menuntut digunakannya konsep transformasi, dan dengan konsep ini pula dia dapat menyajikan rangkaian transformasi yang ada dalam budaya masyarakat Palembang.

Pendekatan struktural juga digunakan oleh Nasrullah (2008), yang berasal dari suku Dayak Bakumpai di Sungai Barito, Kalimantan, untuk menganalisis konsepsi orang Bakumpai tentang ruang. Orang Dayak Bakumpai mengenal istilah-istilah ngaju, ngawa, ngambu dan liwa untuk menunjuk arah, dan konsepsi arah yang terkait dengan ruang ini juga terkait erat dengan sungai, karena sungai merupakan ruang yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak Bakumpai.

Struktur ruang juga dianalisis oleh Gerda Numbery (2008) yang melakukan penelitian di kalangan orang Dani di Papua. Dalam hal ini Numbery telah berhasil menunjukkan keterkaitan struktural yang erat antara struktur ruang yang dikenal oleh orang Dani dengan organisasi sosial mereka. Sepengetahuan saya, analisis struktural yang dikerjakan oleh Numbery merupakan analisis struktural ala Lévi-Strauss yang pertama kali dimanfaatkan oleh ilmuwan sosial Indonesia untuk memahami struktur organisasi sosial orang Dani dan pandangan mereka tentang ruang beserta strukturnya.

Analisis struktural juga telah diterapkan pada budaya material, yakni patung (Ahimsa-Putra, 1999c; Subiantoro, 2009) dan makanan tradisional orang Minang (Maryetti, 2007). Ahimsa-Putra misalnya menerapkan analisis struktural pada arca ganesya, yang sebelumnya telah diteliti secara seksama oleh Edi Sedyawati, ahli arkeologi UI. Walaupun analisisnya belum sepenuhnya tuntas, namun analisis tersebut telah memberi inspirasi pada sejumlah ahli arkeologi lain untuk mencoba menerapkannya pada artefak-artefak atau benda arkeologis lainnya. Selain arca ganesya, analisis patung secara struktural juga telah dilakukan oleh Slamet Subiantoro, yang menempatkan patung loro-blonyo dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, yakni kosmologi Jawa. Sementara itu, Maryetti lebih tertarik untuk menganalisis dan mengungkapkan struktur yang ada di balik berbagai macam makanan tradisional yang disajikan dalam ritual-ritual (Subiantoro, 2009).

Lebih dari itu, ternyata pendekatan struktural juga dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia tidak lama setelah meletusnya peristiwa G-30-S, yakni banyaknya orang Tionghoa Indonesia yang masuk agama Katholik dan bagaimana perilaku mereka setelah mereka memeluk agama tersebut (Radjabana, 2000). Beberapa contoh kajian ini menunjukkan bahwa strukturalisme sebagai sebuah paradigma ternyata dapat digunakan untuk menganalisis beraneka-macam gejala sosial-budaya. Dalam hal ini para mahasiswa pascasarjana antropologi UGM (S-2) merupakan orang-orang yang cukup besar sumbangannya, karena dengan adanya tesis-tesis tersebut maka paradigma Strukturalisme dari Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal dan jelas-jelas dapat digunakan dalam berbagai penelitian.

b. Pemahaman tentang “Struktur” (Structure)
Meskipun strukturalisme memberikan penekanan utama pada struktur, namun ternyata pemahaman tentang struktur ini tidak selalu dapat ditangkap. Dari pengalaman berdiskusi, memberikan kuliah dan membimbing penulisan karya ilmiah saya merasa ide Lévi-Strauss mengenai struktur termasuk yang tidak mudah dimengerti dan diketahui adanya dalam gejala sosial-budaya yang dianalisis. Pengertian struktur sebagai sebuah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami gejala yang dipelajari, namun tidak ada hubungan empirisnya dengan gejala sosial-budaya tersebut, dan pengertian struktur sebagai sistem relasi, ternyata tidak selalu mudah dipahami. Meskipun demikian, dengan adanya kuliah mengenai strukturalisme Lévi-Strauss secara khusus, pengertian struktur tersebut kini mulai dapat dimengerti.

Diskusi yang lebih teoritis dan konseptual tentang strukturalisme belum dapat diharapkan dapat muncul dari kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia, karena tradisi membahas secara kritis pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat masih belum tumbuh dan berkembang di kalangan mereka. Kita masih jauh dari suasana akademik dan intelektual yang seperti itu. Masih sangat sedikitnya buku dan artikel jurnal ilmiah yang membahas strukturalisme secara kritis di Indonesia merupakan bukti yang paling jelas masih belum berkembangnya tradisi tersebut.

Konsep turunan yang berasal dari “struktur”, yakni “struktur sosial” menurut padangan Lévi-Strauss (yang berbeda dengan “struktur sosial” menurut Radcliffe-Brown), juga belum dapat dimengerti dengan baik. Bahwa ternyata struktur sosial adalah juga sebuah model dari seorang ahli antropologi mengenai suatu masyarakat atau suku bangsa juga masih sulit diterima, karena para ilmuwan dan pelajar Indonesia masih lebih mudah memahami konsep-konsep yang lebih jelas acuannya, yang lebih mudah dilihat dan mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan, konsep-konsep penting tidak selalu dapat dipahami fungsinya dalam analisis.

c. Stukturalisme : Cara Pandang Transformasional, A-historis
Konsep yang sangat penting dalam analisis struktural adalah transformasi. Konsep ini tampaknya lebih mudah dipahami oleh para mahasiswa daripada konsep struktur atau struktur sosial, dan kebanyakan telah dapat menerapkan konsep ini dengan baik dalam analisis, walaupun implikasi teoritisnya tidak selalu mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu konsep transformasi berasal dari ilmu bahasa juga, namun banyak contoh yang dapat diberikan untuk menjelaskan makna transformasi sebagaimana digunakan dalam analisis struktural. Hal ini tampaknya telah membuat konsep transformasi menjadi lebih mudah dipahami dan digunakan dalam analisis.

Lebih sulit dari itu adalah membedakan makna transformasi dengan change (perubahan), karena ini menuntut kemampuan memandang gejala sosial-budaya dengan cara yang berbeda, yang a-historis. Kita umumnya memiliki pola pikir yang linier, yang historis, diakronis. Segala sesuatu selalu kita pandang dalam hubungan sebab-akibat sehingga penjelasan tentang sesuatu tersebut selalu mengacu pada sebab-sebabnya, dan itu berarti kepada masa lampaunya. Kebiasaan ini membuat kita mengalami kesulitan jika harus memandang dan menjelaskan gejala sosial-budaya tidak melalui sudut pandang kausalitas.

Kesulitan tersebut juga menambah orang semakin kurang berminat memandang gejala sosial-budaya dari perspektif strukturalisme, ketika dikatakan bahwa strukturalisme tidak dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala perubahan sosial dan kebudayaan, bahwa strukturalisme tidak menyejarah (a-historis). Mereka yang menerima begitu saja kritik ini sebenarnya telah melupakan faktor-faktor yang mendorong munculnya pendekatan struktural, yakni keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk memahami dan menganalisis gejala-gejala sosial-budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.
Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada. Sulit rasanya mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.

Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada. Sulit rasanya mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia dalam waktu yang relatif dekat ini.

5. Penutup
Apa yang saya paparkan di sini adalah apa yang saya ketahui mengenai strukturalisme di Indonesia di masa kini, yang setahu saya sudah mulai banyak dikenal dan digungakan sebagai paradigma dalam penelitian. Pengaruh ini terlihat terutama di jurusan Antropologi di Universitas Gadjah Mada. Saya tidak tahu apakah di jurusan-jurusan antropologi lain di Indonesia paradigma ini telah diajarkan. Yang jelas saya belum pernah mendengar sama sekali bahwa paradigma ini telah diajarkan di UGM (dulu). Mungkin karena di jurusan-jurusan antropologi yang lain tidak ada orang yang merasa menguasai dan dapat mengajarkan dengan baik strukturalisme sebagai sebuah paradigma; mungkin juga karena paradigma ini dianggap terlalu banyak kelemahannya, terutama karena tidak dapat digunakan untuk memahami dinamika dan perubahan kebudayaan.

Di UGM pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terasa terutama di kalangan mahasiswa antropologi, tingkat pascasarjana. Di luar UGM pengaruh tersebut tetap masih belum terasa, atau mungkin ada tetapi saya tidak mengetahuinya. Tidak sebagaimana halnya post-modernisme dan cultural studies, wacana serius tentang strukturalisme (Lévi-Strauss) setahu saya tidak pernah muncul di Indonesia. Kalau pada awal kemunculan post-modernisme dan cultural studies saya sempat diundang dalam diskusi dan seminar di Indonesia tentang dua trend keilmuan tersebut, tidak demikian halnya dengan strukturalisme. Belum pernah saya diundang dalam seminar, diskusi atau lokakarya yang secara khusus membahas strukturalisme (Lévi-Strauss) sebagai sebuah trend pendekatan baru dalam ilmu sosial-budaya. Hal ini tentu sangat mengherankan, jika tidak memprihatinkan.

Mengapa demikian? Mungkin beberapa faktor yang telah saya sebutkan di atas adalah diantaranya. Faktor-faktor yang lain mungkin sekali juga menjadi penyebabnya seperti misalnya : langkanya buku mengenai strukturalisme itu sendiri, tidak adanya kuliah khusus mengenai strukturalisme di universitas-universitas di Indonesia, tidak adanya ilmuwan sosial-budaya yang khusus menekuni strukturalisme dan kemudian memperkenalkannya kepada publik Indonesia.

Kalau dalam antropologi saja strukturalisme (Lévi-Strauss) sampai saat ini masih belum sangat dikenal, maka aspek filosofis dari aliran pemikiran ini tentu lebih belum dikenal lagi. Walaupun Lévi-Strauss tidak pernah menganggap strukturalisme yang dikembangkannya sebagai sebuah filsafat, namun sebenarnya sebagai sebuah epistemologi strukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran filsafati, dan ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal. Sisi filosofis inilah yang belum diserap oleh kalangan intelektual atau ilmuwan Indonesia. Mungkin karena sisi ini lebih sulit untuk ditangkap dan dipahami oleh ahli filsafat Indonesia, mungkin pula karena ahli filsafat Indonesia tidak ada yang tertarik untuk membahasnya. Namun, itulah tantangan dari strukturalisme yang hingga kini di Indonesia masih belum ada yang bersedia menghadapi dan dapat menakhlukannya.

Dari paparan di atas kita dapat mengatakan bahwa (a) strukturalisme yang dikenal di Indonesia adalah strukturalisme yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss, sementara strukturalisme yang berasal dari Foucault dan Barthes tidak begitu terlihat pengaruhnya di kalangan kaum terpelajar Indonesia; (b) strukturalisme Lévi-Strauss masih terbatas dikenal di kalangan pelajar antropologi, terutama di UGM, karena di jurusan antropologi UGM strukturalisme Lévi-Strauss diajarkan secara khusus selama satu semester, di tingkat pascasarjana; (c) beberapa konsep penting dalam strukturalisme yang mulai dikenal dan dimengerti adalah konsep struktur, struktur sosial, dan transformasi, di samping konsep-konsep seperti nirsadar, oposisi biner, sintagmatik-para digmatik, sign, signified, signifier, dan sebagainya; (d) pembahasan kritis atas pemikiran-pemikiran antropologis dan filosofis belum terlihat, dan tampaknya belum akan muncul dalam waktu dekat, karena hal semacam ini menuntut pemahaman yang mendalam atas berbagai paradigma dan pandangan filosofis yang berkembang dalam antropologi dan filsafat. Oleh karena itu pula, pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terhadap pemikiran-pemikiran ilmuwan sosial-budaya Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat meninggalkan bekas yang cukup dalam serta mudah dikenali dalam karya-karya ilmiah mereka.[HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA*]

*Penulis adalah Pengajar Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

gado-gado SANG JURNALIS