kupang, DESEMBER 1999




Pelabuhan Tenau, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), September 1999. Jarum arloji di tangan menunjukkan pukul 08.00. Namun matahari sudah terasa menyengat di ubun-ubun kepala. Hal ini pastinya bukan semata-mata karena saya tengah berada di kawasan pelabuhan. Tapi, Kupang pun memang termasuk daerah yang dipayungi cahaya matahari berlebih. Dan kering. Sehingga tidak heran sebagian besar populasi di provinsi ini berkulit gelap. Meski begitu, kesibukan yang luar biasa tetap dilangsungkan.

Saya beruntung bisa datang lebih awal. Bahkan, mobil yang kami tumpangi persis berada di belakang rombongan mobil dinas Gubernur NTT Piet Alexander Tallo. Sehingga, kami tidak perlu khawatir bakal kehilangan momen berharga. Menurut staf protokoler gubernur yang menelpon saya subuh tadi, pagi ini sekitar 3.000 warga Timor Timur (Timtim) yang menumpang tiga kapal perang milik TNI-AL akan merapat di Kupang. Dan peristiwa itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengumuman jajak pendapat atau referendum di Timtim yang dimenangkan oleh kubu prokemerdekaan. Dengan konsekuensinya, kubu prointergarasi harus angkat kaki dari tanah kelahirannya. Bahkan dengan status sebagai pengungsi.

Dalam hitungan menit tiga kapal perang milik TNI-AL makin mendekat ke dermaga. Raungan klakson kapal dan deru mesin membaur dengan teriakan para pengungsi. Kepadatan begitu terasa di geladak kapal. Tampaknya, kapal itu sengaja dikondisikan untuk memuat penumpang sebanyak-banyaknya. Maklum, warga yang harus meninggalkan Dilli memang tidak sedikit. Dan tidak banyak pula transportasi yang bisa menyelamatkan mereka dari peperangan. Dilli tengah bergolak. Kubu prointegrasi dan kubu prokemerdekaan bertempur mati-matian untuk memperebutkan “hak”nya. Sedangkan aparat keamanan dari negeri ini harus tahu diri, dengan tidak mencampuri urusan provinsi yang bakal berubah menjadi negara.

Ketika sebuah kapal perang makin merapat, saya tidak mensia-siakan momen itu untuk membuat stand-up dengan format Reporter On Screen (ROS):

SAUDARA/ AKHIRNYA PENGUMUMAN HASIL JAJAK PENDAPAT DI TIMOR TIMUR MENGANTARKAN SEKITAR SERIBU WARGA TIMTIM KE PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR// HARI INI/ KETIGA KAPAL PERANG MILIK TNI ANGKATAN LAUT YANG MEMBAWA PARA PENGUNGSI TELAH MERAPAT/ SETELAH HAMPIR DUA HARI BERADA DI PERJALANAN// RENCANANYA/ PARA PENGUNGSI AKAN DITEPATKAN DI SEJUMLAH LOKASI DI KOTA KUPANG// SYAIFUL HALIM DAN IMAM SEWOKO MELAPORKAN DARI PELABUHAN TENAU/ KUPANG/ NUSA TENGGARA TIMUR//

Setelah rekaman ROS tersebut, tangga-tangga kapal diturunkan. Para pengungsi berebutan turun lengkap dengan seluruh barang bawaan. Termasuk hewan-hewan peliharaan. Seluruh tangan, pundak, hingga kepala, sarat dengan barang-barang bawaan. Wajah-wajah lelah yang dua hari kemarin berada di atas laut benar-benar terlihat. Barangkali lapar dan dahaga menjadi satu. Trauma kekerasan dan ketakutan juga belum sirna dari pikiran mereka.

Sementara Imam Sewoko mengambil momen-momen penting di sekitar kapal, saya mencoba mendekati para pengungsi. Saya bertanya kepada serombongan pengungsi yang baru menuruni tangga kapal soal kondisi Timtim terakhir, kondisi warga yang belum dievakuasi, keadaan selama perjalanan, dan…

“Jangan banyak bertanya! Kami lapar! Kami dua hari belum makan! Beri kami makan!” Teriak seorang pengungsi. Matanya melotot tajam ke arah saya. Beberapa pengungsi lain berteriak-teriak dalam bahasa Tetun. Seketika jadi ramai. Saya mencium gelagat buruk. Karena tiba-tiba ada pengungsi yang berteriak-teriak soal UNAMET, lembaga yang dibentuk PBB untuk menyelenggarakan referendum. Dan, kubu prointegarasi menilai, petugas UNAMET yang dari berbagai bangsa itu berat sebelah dan terlalu memihak ke kubu prokemerdekaan. Aroma kecurangan selalu diserukan oleh kubu prointegrasi.

Diam-diam, ada yang memprovokasi pengungsi untuk menyerang saya. Mereka menuduh saya sebagai petugas UNAMET dari Jepang. Tuduhan itu dilontarkan karena melihat wajah saya yang agak berbau oriental. Barangkali mereka tidak pernah tahu bahwa wajah orang Sunda umumnya mirip dengan orang Cina. Terlebih lagi, mereka juga curiga melihat penampilan Imam Sewoko dengan rambut gondrong, bercelana setinggi lutut, dan besepatu bot, yang mirip kamerawan dari negara asing. Maka, lengkaplah kecurigaan itu.

Namun, Yang Maha Melindungi memang tidak ikhlas hambaNya yang tidak bersalah bakal mendapat musibah. Sorry, geer! Dalam hitungan detik, tiba-tiba Gubernur NTT bersama pejabat tinggi di provinsi itu mendekati saya dan berteriak-teriak bahwa saya berasal dari Indonesia. “Dia bukan UNAMET Jepang! Dia juga orang Indonesia!” Kata Pak Piet sambil merangkul pundak saya. Pak Piet yang berperawakan tinggi besar dan dengan mudah menjangkau tubuh saya yang relatif kecil. Amarah pengungsi pun sirna. [syaiful HALIM, gado-gado SANG JURNALIS, 2009]