pantura, DESEMBER 1998



Aksi “gaya-gayaan” di atas terjadi ketika musim arus mudik di jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) pada Desember 1998. Persis pada hari “H2” atau hari kedua lebaran, sekitar pukul 10.00 WIB, saat saya dan kamerawan Binsar Rahadian hunting rutin ke arah Indramayu. Belum lagi mobil meninggalkan kota Cirebon, keramaian terlihat di ruang jalan kawasan Sunan Gunung Jati. Kaum lelaki berkerumun sambil membawa senjata tajam. Yang perempuan sibuk mengumpulkan batu. Beberapa polisi berjaga-jaga. Kami pun langsung turun dan bertanya ini-itu.


Sejujurnya saya masih kaget dengan persiapan “peperangan” itu. Dan belum mencatat apa pun ke dalam buku catatan. Tapi, aroma tawuran memang begitu terasa. Kalau bukan mau tawuran kenapa juga membawa senjata tajam dan mengumpulkan batu. Selain itu di beberapa rumah yang saya lihat sudah terjadi kerusakan. Kaca atau genting yang pecah. Papan dari kayu dijadikan penghalang jendela. Masak sih pas lebaran tawuran? Itu kan pikiran orang yang waras? Kalau sebaliknya?

Tiba-tiba tiang listrik ditabuh. Teriakan yang menyambut kehadiran lawan pun terdengar. Hiruk-pikuk seketika terjadi. Binsar yang sedari tadi asyik mengambil gambar suasana lokasi tawuran langsung mencari saya dan meminta memasukkan jack microphone ke lubang audio di belakang kamera. Dan di antara warga yang berlari-lari sambil berteriak-teriak menyerang lawan, saya “dipaksa” untuk menyampaikan laporan.

SAUDARA/ DI TENGAH SUASANA IDUL FITRI YANG BELUM USAI DIRAYAKAN/ WARGA DI KAWASAN JALAN SUNAN GUNUNG JATI JUSTRU TERLIBAT TAWURAN// WARGA DARI DUA KAMPUNG YANG BERDEKATAN SALING MENYERANG DENGAN SENJATA TAJAM DAN BATU// BAHKAN/ TIDAK MENGHIRAUKAN KEHADIRAN POLISI// BAGI SAUDARA YANG AKAN MELINTASI JALUR INI SEBAIKNYA MEMILIH JALUR ALTERNATIF KE ARAH PALIMANAN// SEHINGGA/ PERJALANAN ANDA TIDAK TERGANGGU ATAU TERHAMBAT TAWURAN ANTARWARGA INI// SYAIFUL HALIM DAN BINSAR RAHADIAN MELAPORKAN DARI CIREBON/ JAWA BARAT//

Gugup, bingung, takut, deg-degan, dan suara yang terbata-bata, bercampur menjadi satu. Harap maklum, baru kali ini saya benar-benar berada di tengah tawuran dengan massa bersenjata tajam. Dan batu-batu yang gentayangan. Begitu dekat. Sehingga, sisa keberanian yang sedikit ini memaksa untuk menyampaikan fakta secara spontan. Jangan bertanya soal artikulasi, aksen, dan intonasi. Asli ngawur! Namanya juga stand-up pas deg-degan!

Dalam keadaan seperti itu, bisa-bisanya juga kamerawan saya meminta mengulang laporan yang barusan saya sampaikan. Padahal, kami bersama warga dari salah satu kampung yang bertikai sudah semakin maju dan merangsek kampung lawannya. Maka, retake laporan pun terjadi. Hasilnya, ya tetap saja dengan artikulasi, aksen, dan intonasi, yang makin terengah-engah! Huh!

Saya masih bersyukur bahwa otak di kepala bisa dipaksa bekerja cepat dan mengeluarkan fakta demi fakta yang terkait antara peristiwa dan momen mudik. Jadi, nyambung juga, kan? Sekedar laporan tawuran mungkin biasa. Ya, mengandalkan apa-apa yang sekilas dilihat dan didengar, lalu dirangkum menjadi pesan. Meski tanpa persiapan menyusun naskah. Tapi kali ini, peristiwa ini terkait dengan momen lebaran yang harusnya maaf-maafan dan juga arus mudik. Terima kasih ya Allah, atas anugerah ketepatan berpikir.

Setelah perekaman laporan singkat itu, Binsar semakin agresif mengumpulkan gambar. Pertempuran itu memang semakin seru. Beberapa warga ada yang terluka. Dan warga di kampung tempat kami berdiri mulai terdesak. Saya tetap mengamati peristiwa bersama bapak-bapak polisi yang mulai memisahkan kedua kelompok. Tangan saya juga mencatat data yang berkaitan 5W + H, untuk melengkapi lead. Karena dengan laporan berbentuk live on tape [LOT] tadi, saya tidak perlu membuat body. Fakta peristiwa sudah diungkap dalam LOT. Selain itu, dengan banyaknya visual menarik yang direkam oleh kamerawan akan memungkinkan paket LOT itu didominasi gambar. [syaiful HALIM, gado-gado SANG JURNALIS, 2009]