poso, JUNI 2000



Aroma ketegangan memang sudah terasa begitu memasuki desa-desa sepi dengan rumah-rumah yang terbakar. Angin dingin yang menyelimuti kulit menjadi terasa sangat dingin. Seakan ada kekuatan magis yang membentuk aura kota ini menjadi seperti ini. Bahkan hingga memasuki kota, ketegangan dan sikap saling curiga tetap terasa. Suasana ini lebih menegangkan dibandingkan Atambua saat diramaikan oleh para cowboy yang ke mana-mana menenteng senjata api. Karena meski sepi, seakan banyak mata mengintai dan siap melumat tubuh para pendatang. Termasuk, kalangan wartawan.

Saya sempat membuat liputan kota Poso pada malam hari yang laksana kota mati. Lengkap dengan aksi stand-up di kegelapan malam.

SAUDARA/ KOTA TRANSIT YANG DULU SEMARAK KINI BERUBAH MENJADI KOTA MATI// KOTA POSO YANG DULUNYA MENGUMANDANGKAN KERUKUNAN/ JUSTRU BERGANTI MENJADI ARENA KONFLIK YANG MEMBUTAKAN HATI PELAKU-PELAKUNYA// SYAIFUL HALIM DAN DWI GUNTORO MELAPORKAN DARI POSO/ SULAWESI TENGAH//

Saya juga datangi puing-puing Pesantren Wali Songo yang konon menyisakan tangis yang berkepanjangan. Para pengungsi di Mapolres Poso bercerita banyak soal malam tragedi berdarah itu sambil meneteskan air mata. Sehingga, saya pun langsung terdiam dan menitikkan air mata. Tidak menyangka, kok ada manusia sekejam itu kepada manusia lain. Bukankah mereka sama-sama hamba Yang Maha Pencipta? Dan melalui stand-up yang saya buat di lokasi tersebut, saya mencoba memainkan pesan-pesan kemanusiaan.

SAUDARA/ PUING-PUING DI PESANTREN WALI SONGO MEMBUKTIKAN KONFLIK HANYA MENYISAKAN KERUGIAN DAN KEPEDIHAN BAGI WARGA POSO// MESTIKAN PERBEDAAN PANDANGAN HARUS DIAKHIRI DENGAN KESENGSARAAN ORANG LAIN?// SYAIFUL HALIM DAN DWI GUNTORO MELAPORKAN DARI POSO/ SULAWESI TENGAH//