Akhirnya kita menyaksikan bagaimana keputusan pemerintah menunda kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat minimnya dukungan dari para fraksi di DPR. Lepas dari bagaimana dukungan dan penolakan berevolusi dengan sangat cepat di gedung parlemen, lewat stasiun televisi yang ada kita melihat fenomena yang terjadi dalam dua dunia yang seolah berseberangan: bagaimana konflik dan pertarungan politik terjadi dalam persidangan di DPR, dan bagaimana konflik yang terjadi di luar gedung DPR: antara para mahasiswa dan buruh berhadapan dengan aparat keamanan.
Bagaimana pun juga apa yang telah ditampilkan ini – dan mungkin masih akan tampil lagi dalam hari-hari atau minggu-minggu berikutnya – menunjukkan betapa ideologi jurnalisme perang masih lebih mengemuka dan dipercayai oleh para praktisi media di Indonesia. Dalam dua dunia yang terpisah itu kita melihat jurnalisme perang tampil dalam menampilkan fenomena dua dunia tersebut.
Penonton televisi melihat bagaimana sesungguhnya perilaku para anggota Dewan yang perlahan-lahan beringsut untuk meninggalkan pemerintah dan Partai Demokrat sebagai representasinya, dengan segala argumentasi yang dibalut secara canggih. Ujungnya tak lebih dari sekedar merepresentasikan kepentingan politik masing-masing fraksi, dan untuk itu mereka saling mengklaim telah mewakili kepentingan rakyat yang luas.
Sementara itu para penonton televisi pun melihat bagaimana dunia di luar gedung dewan konflik dengan kekerasan terjadi (juga di berbagai kota lain dimana aksi protes dan demonstrasi digelar) dengan lebih brutal, lebih telanjang.
Kembali pada jurnalisme damai
Kita diingatkan lagi akan jurnalisme damai terutama ketika Indonesia mengalami banyak konflik sosial pada akhir dekade 1990an hingga ke pertengahan tahun 2000-an. Berbagai daerah bergejolak, ribuan orang meninggal akibat konflik di berbagai tempat, puluhan hingga ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal, menjadi pengungsi, anak yang tidak bersekolah, ibu-ibu yang terpaksa harus menghadapi aneka situasi tidak nyaman, serta perasaan trauma yang didesak dalam-dalam pada tumpukan memori manusia.
Kembali pada jurnalisme damai
Kita diingatkan lagi akan jurnalisme damai terutama ketika Indonesia mengalami banyak konflik sosial pada akhir dekade 1990an hingga ke pertengahan tahun 2000-an. Berbagai daerah bergejolak, ribuan orang meninggal akibat konflik di berbagai tempat, puluhan hingga ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal, menjadi pengungsi, anak yang tidak bersekolah, ibu-ibu yang terpaksa harus menghadapi aneka situasi tidak nyaman, serta perasaan trauma yang didesak dalam-dalam pada tumpukan memori manusia.
Mengapa jurnalisme perang tidak dianjurkan untuk menggambarkan situasi konflik sebagaimana ditampilkan dalam kekerasan secara terbuka itu? Karena jurnalisme perang akan melihat fenomena yang ada tak lebih dari suatu ajang pertarungan saja. Jurnalisme model begini hanya akan melihat event tak lebih dari sekedar statistik (2 orang luka tertembak, 32 orang ditangkap, protes meluas di lebih dari 15 kota, dan lain-lain), ketimbang melihat pada kedalaman atau bangunan besar konflik itu.
Pertama sekali kita harus membedakan antara konflik dengan kekerasan. Konflik adalah hal yang wajar dan selalu terjadi dalam berbagai kehidupan manusia. Perbedaan kepentingan yang terjadi antar berbagai pihak menghasilkan konflik (dalam hal ini: mendukung atau menolak kenaikan BBM). Namun apakah konflik harus diselesaikan dengan cara kekerasan? Tidak. Penyelesaian konflik dengan cara kekerasan menunjukkan adanya kebuntuan berpikir untuk tidak mengelola konflik secara lebih rasional, elegan, serta cukup sabar untuk mencari titik-titik temu dari kepentingan yang berbeda.
Inti dari jurnalisme damai adalah melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang, lebih dalam, dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan yang terjadi karenanya.
Dalam konteks “perang BBM” di dua dunia tersebut (di dalam dan di luar gedung parlemen) kita bisa melihat cara penyelesaian atas dua hal tersebut yang berbeda-beda. Hingga lewat tengah malam anggota DPR terus bersitegang untuk memutuskan apakah DPR akan mendukung atau tidak mendukung kenaikan BBM? Sementara di luar gedung DPR, demonstrasi berbagai kelompok masyarakat ditandai dengan sejumlah perusakan: pagar dirobohkan, pagar penghalang jalan tol pun dirobohkan, mobil yang hendak lewat pun diusir hingga mengakibatkan kesemrawutan lalulintas yang luar biasa.
Belakangan pasukan keamanan pun membubarkan para demonstran secara paksa dengan menembakkan gas air mata dan menembakkan air ke arah ribuan mahasiswa dan buruh tersebut. Sejumlah televisi menampilkan seluruh even tersebut secara langsung dan para penonton pun seolah diajak melihat pertunjukan dari realitas (show of reality) yang lebih dashyat daripada reality show manapun di layar kaca.
Bahaya siaran langsung
Dua event tersebut ditampilkan dalam cara yang real time, dimana saat peristiwa terjadi, pada saat yang sama itulah para penonton televisi pun melihatnya. Tak ada editing, tak ada sensor, tak ada suatu pembingkaian dan pemberian konteks yang lebih dalam. Akibatnya kekerasan yang terjadi ditonton tak ubahnya seperti menonton film laga. Bedanya hanya satu: peristiwa yang ditampilkan adalah faktual.
Bahaya siaran langsung
Dua event tersebut ditampilkan dalam cara yang real time, dimana saat peristiwa terjadi, pada saat yang sama itulah para penonton televisi pun melihatnya. Tak ada editing, tak ada sensor, tak ada suatu pembingkaian dan pemberian konteks yang lebih dalam. Akibatnya kekerasan yang terjadi ditonton tak ubahnya seperti menonton film laga. Bedanya hanya satu: peristiwa yang ditampilkan adalah faktual.
Siaran langsung atas kekerasan seperti ini harusnya dipertimbangkan dengan lebih bijaksana. Apakah yang hendak ditampilkan sesungguhnya dari tayangan langsung atas kekerasan itu? Apakah ini sejenis sadomasochism, yang gemar mengumbar hal-hal yang menunjukkan kekerasan via layar kaca?
Menurut pendapat saya, televisi tak perlu menampilkan kekerasan-kekerasan yang terjadi itu secara langsung. Tayangan seperti itu harus masuk proses editing. Tayangan tersebut tetap harus diperiksa mana yang pantas dan tak pantas ditampilkan kepada publik lewat layar kaca. Televisi tidak sedang dan tidak harus mempertontonkan kekerasan brutal semacam itu, tetapi kembali menaruh semua event ini dalam konteks besarnya: polemik naik atau tidak naiknya harga BBM. Orang tak lagi bicara tentang bagaimana cara untuk menutup biaya subsidi pemerintah atas BBM? Orang tak lagi bicara bagaimana cara efektif untuk meredam laju konsumsi yang makin tinggi? Orang tak lagi bicara soal pertumbuhan kendaraan pribadi yang tak dikendalikan yang menjadi salah satu penyebab tingginya konsumsi BBM. Kemana hal ini semua hilang dari pembicaraan publik?
Hal-hal yang lebih esensial harus dapat tempat lebih strategis untuk dibahas agar memahami konteks masalah dengan lebih jernih. Banyak perhitungan diajukan oleh berbagai pihak, namun mana sesungguhnya yang bisa lebih dipercaya?
Siaran langsung yang ada – terutama yang mengekspos soal kekerasan yang terjadi – menciutkan masalah menjadi seolah-olah soal pertarungan semata antara mahasiswa-buruh vs aparat keamanan, Partai Demokrat vs Partai di luar Demokrat. Justru di sini masyarakat perlu diberi gambaran yang lebih luas dan dalam agar menangkap esensi permasalahan yang ada. Tanpa pendalaman semacam itu, kita akan terus berputar-putar dari satu kekerasan ke kekerasan yang lain, tanpa ada suatu ujung untuk mencari keutuhan gambaran yang perlu kita miliki.
Bahwa masyarakat atau penonton memang ingin tahu atas perundingan yang terjadi di DPR, hal itu benar belaka, namun bagaimanapun juga para pengelola televisi harus cukup bijak untuk tetap punya visi jelas. Televisi tidak sedang mempromosikan konflik dengan kekerasan, namun konflik yang ada harus menemukan titik-titik temu dialog. Tanpa itu kita akan masuk pada lingkaran banalitas akan kekerasan. Kekerasan tidak lagi jadi kepedulian kita karena secara internal kita sudah selalu ada dalam spiral kekerasan yang tak pernah henti. Kita tidak bangga jika terjebak pada spiral kekerasan seperti itu.[Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif LSPP, pernah menerjemahkan buku panduan Jurnalisme Damai karya Annabel McGoldrick & Jake Lynch, 2001]