Dari hari ke hari kita menemukan makin banyak stasiun televisi kita menampilkan tayangan yang berbasis pada tayangan di YouTube, apakah itu On the Spot (Trans 7), Hot Spot (Global TV), Spot Lite (Trans 7), dan lain sejenisnya. Memang tayangan semacam ini menarik untuk para penonton, karena di situ kita akan menemukan “7 tempat paling eksotis di dunia”, “misteri yang tak terpecahkan di seluruh dunia”, “7 fenomena alam paling aneh”, dan yang lainnya.
Tentu saja menampilkan aneka “paling-paling” tadi menyentak perhatian orang, dan memang jadi menarik. Walaupun masalah di sini ada dua: pertama, siapa yang akan berani mengatakan bahwa menyebut 7 peristiwa yang “paling” tersebut adalah hal yang tidak akurat? Dan siapa yang berani menantang kebenaran dari pemeringkatan semacam itu? Hal kedua, yang menurut saya jauh lebih serius, apakah televisi kita sungguh-sungguh menghargai hak cipta dari para pihak yang video-video pendeknya dipinjam lewat YouTube tersebut?
Pertanyaan kedua ini yang lebih menarik untuk diperiksa. Kalau saja kita membuka Wikipedia dan menulis kata “YouTube” di dalamnya, kita akan menemukan sedikit soal sejarah dari situs berbagi video amatir dan profesional ini. Didirikan pada Hari Valentine tahun 2005, pendiri YouTube adalah Steve Chen, Chad Hurley, Jawed Karim, dan ketiganya adalah mantan karyawan dari Paypall, yang kemudian mendirikan situs untuk berbagi video. Karena kepopulerannya, sejak November 2006 situs ini dibeli oleh Google.
Lebih turun ke bawah menyusuri keterangan tentang YouTube kita akan melihat bagian di mana YouTube punya kebijakan tersendiri yang menyangkut soal hak cipta (copyright). Pada bagian itu YouTube telah menyebutkan bahwa “jangan mengunggah berbagai acara televisi, video musik, konser musik, atau pun iklan tanpa permisi, kecuali jika video mengandung isi yang seluruhnya adalah hasil karya Anda.” Ini rumusan standar tentang hak cipta untuk tidak menghasilkan kemelut atau pun perselisihan di masa mendatang menyangkut konten dari video yang bukan milik orang lain.
Prinsip yang sama seharusnya juga berlaku pada tayangan televisi yang justru seluruh isinya berbasis pada YouTube. YouTube sebenarnya hanya saluran kumpulan video yang jumlahnya jutaan itu, untuk kemudian ditonton dan dibagikan (secara gratis) kepada pihak-pihak yang menyenanginya. Namun yang kita lihat dari televisi kita adalah tayangan ini seolah-olah berbasis pada YouTube, dan YouTube adalah pemilik hak cipta atas seluruh video yang ada di dalamnya.
Ini jelas salah besar. Ini jelas salah kaprah.
Video-video yang diunggah ke YouTube berasal dari karya pribadi ke pribadi (mulai dari Yogyakarta sampai Tanzania, kalau mau ekstrem) yang sangat beragam, dan tidaklah mungkin kemudian video-video ini dengan mudah diambil dan dipajang dalam aneka tayangan televisi,setelah ditempel stiker di layar kaca “sumber: YouTube”.
Esensi dari hak cipta ada pada dua hal: hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah atribusi atau pengakuan atas karya seseorang (hak cipta menuntut kejelasan dalam perkara ini karena menyangkut kerja individual atau kelompok kecil), sementara hak ekonomi merujuk pada kompensasi yang (perlu atau seharusnya) didapat seseorang atas hasil kerja kreatifnya tersebut. Pertanyaannya, apakah televisi kita telah menghargai karya cipta dari para pengkreasi video tersebut (baik amatir maupun profesional) dengan menyebut secara jelas siapa pencipta video itu sesungguhnya (bung, YouTube cuma menampung, bukan pemilik hak ciptanya) dan apakah pula televisi kita telah mengkompensasi hak ekonomi dari para kreator itu?
Tentu saja tidak. Melabelkan “YouTube” dianggap sudah selesai perkara. Padahal, mungkin ratusan hingga ribuan video telah diunduh untuk kepentingan paket-paket acara majalah di televisi itu. Seorang produser di sebuah stasiun televisi pernah menulis dalam blognya bahwa program semacam ini adalah program yang paling murah, karena tak perlu ada proses pra produksi dan produksinya. Cukup kumpulkan video dari YouTube secukupnya, jadilah materi yang siap tayang (plus dengan sisipan iklan-iklan sepanjang acara). Hemh, apakah ini bukan tindakan mencuri? Silakan Anda simpulkan sendiri. Kalau dalam bahasa hukum, ini tidak termasuk praktek yang disebut fair dealing–menggunakan sewajarnya.
YouTube sendiri menghadapi banyak sekali gugatan hukum dari berbagai pihak penyedia konten, apakah itu perusahaan media seperti Viacom, Mediaset, kemudian juga English Premier League. Mereka pernah melayangkan gugatan kepada YouTube karena dianggap terlalu sedikit melakukan sesuatu untuk mencegah pengungguhan yang sesungguhnya mengandung hak cipta.
Saya tidak ingin mempromosikan soal hak cipta yang kebablasan, di mana apa-apa semua harus pakai hak cipta (dalam penyebutan istilah pun orang sering salah, banyak yang menyebut sebagai “paten”, padahal paten utamanya berbasis pada penemuan teknologi, teknik baru, bukan karya cipta semacam pembuatan lagu, karya sastra hingga motif batik), namun rasanya perlu ada pemahaman dan pengertian yang lebih baik tentang menghargai karya cipta seseorang. Memang, tak semua orang mencari uang dari hasil karya intelektual (walaupun jika hal itu dilakukan juga sah-sah saja), namun paling penting hak moral, atau atribusi atas pembuat video sesungguhnya haruslah dihormati.
Sebenarnya kita kembali pada pertanyaan dasar: mengapa sih televisi kita membuat tayangan-tayangan berbasis video YouTube ini? Memang menarik isinya, tetapi materi dari isi tersebut datangnya dari mana? Dan apakah stasiun TV yang menayangkan program sejenis ini tak punya stok gambar, sehingga mudah untuk cari-cari bahan dari YouTube? Atau ini sebentuk kemalasan atau pun kebebalan untuk tidak mau kerja lebih sungguh-sungguh mencari gambar bagus dan mendokumentasikannya, atau mengkreasi tayangan yang berbasis pada pencarian gambar sendiri? Ini bukan semata-mata soal pinjam meminjam video dan ditempel stiker “courtesy of YouTube” lalu beres perkara—apalagi jika isinya seluruhnya adalah hasil pinjaman tanpa bilang-bilang.
Saya pun hendak bertanya, betulkah ada ijin khusus dari YouTube kalau itu diklaim sebagai “courtesy of YouTube” tersebut? Adakah buktinya? Saya takut kalau tindakan ini sebenarnya lebih berbasis pada pandangan sederhana: cari gambar yang mudah dan murah (alias gratisan), serta mencari uang (dengan memasukkan iklan) dari aneka kemasan yang diberi tajuk macam-macam. Kalau hal terakhir ini yang terjadi, ya mohon maaf kalau saya harus katakan ini ibarat ambil barang curian terus kemudian diperdagangkan kembali. Mari hormati karya intelektual orang lain dengan lebih memadai.[Ignatius Haryanto]