"Anas Terima Miliaran Rupiah”, itulah judul utama harian Kompas edisi 1 Maret 2012. ”Anas Semakin Sulit Berkelit” merupakan judul utama Koran Tempo pada hari yang sama.
Kedua judul itu diambil dari hasil persidangan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI dengan terdakwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam persidangan yang menampilkan sejumlah saksi yang bekerja di Grup Permai terungkap bahwa posisi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di dalam perusahaan.
Para saksi menjelaskan secara rinci hari-hari apa saja Anas biasa datang ke kantor dan bekerja pada perusahaan tempat mereka bekerja. Mobil apa saja yang pernah diberikan perusahaan lengkap dengan nomor polisi yang digunakan.
Juga dijelaskan berapa banyak kardus uang yang dibawa untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung dan berapa yang dibawa kembali ke Jakarta. Juga bagaimana pengiriman uang 1 juta dollar AS dari perusahaan untuk diberikan kepada Anas.
Dengan judul seperti itu, apakah Kompas dan Koran Tempo sedang menghakimi Anas? Apakah judul seperti itu tidak mengonotasikan bahwa Anas menerima uang dari perusahaan yang diduga terlibat korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI?
Apakah tanggapan Anas terhadap kesaksian itu tidak dianggap sebagai bagian dari upaya media memberi asas keberimbangan?
Kalau media dianggap menghakimi Anas, apakah memang ada motif politik di belakang kebijakan pemberitaan itu? Apakah pemberitaan Kompas merupakan kebijakan dari Pemimpin Umum Jakob Oetama atau Pemimpin Redaksi Rikard Bagun? Apakah pemberitaan yang dibuat Koran Tempo membawa kepentingan Goenawan Mohamad atau Bambang Harymurti?
Kebenaran jurnalistik
Sebagai orang yang pernah ikut dalam proses penetapan kebijakan editorial di Kompas, tidak pernah rapat redaksi menetapkan arah kebijakan editorial atas dasar kepentingan orang per orang. Rapat redaksi merupakan pergumulan pemikiran dari para awak redaksi untuk bisa menangkap fenomena yang terjadi.
Media tidak pernah menetapkan arah kebijakan editorial berdasarkan sikap emosional. Semua selalu dilakukan dengan menggunakan akal sehat. Media selalu bekerja untuk menemukan kebenaran berdasarkan kebenaran jurnalistik yang diyakini oleh awak redaksinya.
Tentu media selalu mempertimbangkan prinsip obyektif, independen, dan berimbang. Media selalu berusaha untuk tidak melakukan pemihakan. Namun, seperti disampaikan Jakob Oetama dalam pidato pengukuhan saat menerima doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada, obyektivitas media massa merupakan obyektivitas yang subyektif.
Oleh karena obyektivitas yang subyektif itu, wartawan dalam bekerja selalu dihinggapi sikap waswas. Wartawan tidak pernah bekerja dengan prinsip publish and be damned, tetapi selalu dikatakan in fear and trembling in anguish, dalam rasa takut dan gemetar. Mengapa? Karena takut salah dalam menjalankan prinsip obyektivitas yang subyektif tadi.
Oleh karena itu, tidak masuk akal pendapat yang disampaikan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat S Sinansari Ecip yang mengatakan bahwa MetroTV dan TVOne telah menghukum Anas dan Angie. Apalagi, ditarik kesimpulan bahwa MetroTV dan TVOne dikhawatirkan dijadikan corong Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh dan Partai Golkar yang sekarang dipimpin Aburizal Bakrie (Kompas, 2 Maret 2012, halaman 7).
Cara pandang itu bukan hanya jauh dari kenyataan, melainkan merendahkan martabat wartawan yang bekerja pada institusi tersebut. Seakan-akan wartawan di sana hanya robot yang bisa dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik. Seakan-akan wartawan yang bekerja pada kedua televisi itu tak paham arti profesionalisme dan tak memiliki idealisme dalam menjalankan profesinya.
Bisnis televisi sendiri bukanlah bisnis yang tak membutuhkan kapital. Sekali orang memutuskan masuk ke bisnis televisi, ia harus menyediakan modal yang besar untuk bisa beroperasi. Apabila bisnis media cetak ”membakar uang” sehari sekali, bisnis televisi ”membakar uang” setiap detik.
Agar televisi itu bisa bertahan hidup, prinsip sebagai industri media harus dipahami. Lima prinsip dasar industri media massa, pertama, harus ada idealisme yang diperjuangkan. Idealisme itu tak bisa didasarkan kepentingan golongan atau kelompok. Kita sudah melihat media massa yang dibangun untuk kepentingan partisan tidak pernah bisa bertahan lama.
Agar idealisme itu bisa dijalankan, dibutuhkan orang-orang yang profesional. Tak mungkin idealisme bisa diterjemahkan ke dalam kegiatan jurnalistik apabila hanya diserahkan kepada orang-orang yang bekerja seperti robot dan mau disuruh-suruh saja oleh pemiliknya.
Idealisme yang ditopang oleh profesionalisme itulah yang akan membuat institusi media massa itu bisa dipercaya. Ketika media sudah mendapat kepercayaan dari publik, beritanya akan memberikan pengaruh.
Apabila media bisa memberi pengaruh kepada masyarakat, baru bisnis dari industri media itu akan bisa berkelanjutan. Soalnya, masyarakat penerima informasi bukanlah individu-individu yang tak menggunakan akal sehat. Ketika mereka menonton berita di televisi ataupun membaca koran, ada interaksi antara pembaca dan penyedia informasi. Apabila informasi dan berita yang disampaikan tidak bisa dipercaya, media itu akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Bukan corong
Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tentunya memahami prinsip dasar itu. Tidaklah mungkin mereka menerjuni bisnis media hanya untuk membuang uang, tetapi pasti berharap agar bisnis tidak membebani perusahaannya.
Dalam konteks media dan partai politik, memang ada premis, siapa yang memiliki media massa, ia akan bisa menguasai politik. Kalau memang hubungannya seperti itu, seharusnya Partai Golkar menjadi pemenang pemilihan umum dan pemilihan presiden 2004 dan 2009. Mengapa? Karena tahun 2000 MetroTV sudah hadir dan Surya Paloh adalah petinggi Golkar.
Namun, rakyat ternyata mempunyai preferensi sendiri. Golkar yang memenangi Pemilu 2004 gagal untuk menjadikan Wiranto dan Salahuddin Wahid sebagai presiden dan wakil presiden. Yang dipilih oleh rakyat adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Demikian pula pada Pemilu 2009. Sebagai ketua Dewan Penasihat Golkar dan pemilik MetroTV, apabila benar media yang menentukan, seharusnya pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang menjadi presiden dan wakil presiden. Kenyataannya rakyat memilih pasangan SBY-Boediono.
Sekarang ini dengan gencarnya pemberitaan berkaitan dengan korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat, kalau televisi menjadi kepentingan partai politik, hasil survei-survei akan menunjukkan Golkar dan Partai Nasdem sebagai partai pilihan masyarakat. Ternyata hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai yang akan menjadi pemenang apabila pemilu dilaksanakan sekarang.[Suryopratomo]
Kedua judul itu diambil dari hasil persidangan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI dengan terdakwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam persidangan yang menampilkan sejumlah saksi yang bekerja di Grup Permai terungkap bahwa posisi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di dalam perusahaan.
Para saksi menjelaskan secara rinci hari-hari apa saja Anas biasa datang ke kantor dan bekerja pada perusahaan tempat mereka bekerja. Mobil apa saja yang pernah diberikan perusahaan lengkap dengan nomor polisi yang digunakan.
Juga dijelaskan berapa banyak kardus uang yang dibawa untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung dan berapa yang dibawa kembali ke Jakarta. Juga bagaimana pengiriman uang 1 juta dollar AS dari perusahaan untuk diberikan kepada Anas.
Dengan judul seperti itu, apakah Kompas dan Koran Tempo sedang menghakimi Anas? Apakah judul seperti itu tidak mengonotasikan bahwa Anas menerima uang dari perusahaan yang diduga terlibat korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI?
Apakah tanggapan Anas terhadap kesaksian itu tidak dianggap sebagai bagian dari upaya media memberi asas keberimbangan?
Kalau media dianggap menghakimi Anas, apakah memang ada motif politik di belakang kebijakan pemberitaan itu? Apakah pemberitaan Kompas merupakan kebijakan dari Pemimpin Umum Jakob Oetama atau Pemimpin Redaksi Rikard Bagun? Apakah pemberitaan yang dibuat Koran Tempo membawa kepentingan Goenawan Mohamad atau Bambang Harymurti?
Kebenaran jurnalistik
Sebagai orang yang pernah ikut dalam proses penetapan kebijakan editorial di Kompas, tidak pernah rapat redaksi menetapkan arah kebijakan editorial atas dasar kepentingan orang per orang. Rapat redaksi merupakan pergumulan pemikiran dari para awak redaksi untuk bisa menangkap fenomena yang terjadi.
Media tidak pernah menetapkan arah kebijakan editorial berdasarkan sikap emosional. Semua selalu dilakukan dengan menggunakan akal sehat. Media selalu bekerja untuk menemukan kebenaran berdasarkan kebenaran jurnalistik yang diyakini oleh awak redaksinya.
Tentu media selalu mempertimbangkan prinsip obyektif, independen, dan berimbang. Media selalu berusaha untuk tidak melakukan pemihakan. Namun, seperti disampaikan Jakob Oetama dalam pidato pengukuhan saat menerima doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada, obyektivitas media massa merupakan obyektivitas yang subyektif.
Oleh karena obyektivitas yang subyektif itu, wartawan dalam bekerja selalu dihinggapi sikap waswas. Wartawan tidak pernah bekerja dengan prinsip publish and be damned, tetapi selalu dikatakan in fear and trembling in anguish, dalam rasa takut dan gemetar. Mengapa? Karena takut salah dalam menjalankan prinsip obyektivitas yang subyektif tadi.
Oleh karena itu, tidak masuk akal pendapat yang disampaikan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat S Sinansari Ecip yang mengatakan bahwa MetroTV dan TVOne telah menghukum Anas dan Angie. Apalagi, ditarik kesimpulan bahwa MetroTV dan TVOne dikhawatirkan dijadikan corong Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh dan Partai Golkar yang sekarang dipimpin Aburizal Bakrie (Kompas, 2 Maret 2012, halaman 7).
Cara pandang itu bukan hanya jauh dari kenyataan, melainkan merendahkan martabat wartawan yang bekerja pada institusi tersebut. Seakan-akan wartawan di sana hanya robot yang bisa dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik. Seakan-akan wartawan yang bekerja pada kedua televisi itu tak paham arti profesionalisme dan tak memiliki idealisme dalam menjalankan profesinya.
Bisnis televisi sendiri bukanlah bisnis yang tak membutuhkan kapital. Sekali orang memutuskan masuk ke bisnis televisi, ia harus menyediakan modal yang besar untuk bisa beroperasi. Apabila bisnis media cetak ”membakar uang” sehari sekali, bisnis televisi ”membakar uang” setiap detik.
Agar televisi itu bisa bertahan hidup, prinsip sebagai industri media harus dipahami. Lima prinsip dasar industri media massa, pertama, harus ada idealisme yang diperjuangkan. Idealisme itu tak bisa didasarkan kepentingan golongan atau kelompok. Kita sudah melihat media massa yang dibangun untuk kepentingan partisan tidak pernah bisa bertahan lama.
Agar idealisme itu bisa dijalankan, dibutuhkan orang-orang yang profesional. Tak mungkin idealisme bisa diterjemahkan ke dalam kegiatan jurnalistik apabila hanya diserahkan kepada orang-orang yang bekerja seperti robot dan mau disuruh-suruh saja oleh pemiliknya.
Idealisme yang ditopang oleh profesionalisme itulah yang akan membuat institusi media massa itu bisa dipercaya. Ketika media sudah mendapat kepercayaan dari publik, beritanya akan memberikan pengaruh.
Apabila media bisa memberi pengaruh kepada masyarakat, baru bisnis dari industri media itu akan bisa berkelanjutan. Soalnya, masyarakat penerima informasi bukanlah individu-individu yang tak menggunakan akal sehat. Ketika mereka menonton berita di televisi ataupun membaca koran, ada interaksi antara pembaca dan penyedia informasi. Apabila informasi dan berita yang disampaikan tidak bisa dipercaya, media itu akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Bukan corong
Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tentunya memahami prinsip dasar itu. Tidaklah mungkin mereka menerjuni bisnis media hanya untuk membuang uang, tetapi pasti berharap agar bisnis tidak membebani perusahaannya.
Dalam konteks media dan partai politik, memang ada premis, siapa yang memiliki media massa, ia akan bisa menguasai politik. Kalau memang hubungannya seperti itu, seharusnya Partai Golkar menjadi pemenang pemilihan umum dan pemilihan presiden 2004 dan 2009. Mengapa? Karena tahun 2000 MetroTV sudah hadir dan Surya Paloh adalah petinggi Golkar.
Namun, rakyat ternyata mempunyai preferensi sendiri. Golkar yang memenangi Pemilu 2004 gagal untuk menjadikan Wiranto dan Salahuddin Wahid sebagai presiden dan wakil presiden. Yang dipilih oleh rakyat adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Demikian pula pada Pemilu 2009. Sebagai ketua Dewan Penasihat Golkar dan pemilik MetroTV, apabila benar media yang menentukan, seharusnya pasangan Jusuf Kalla-Wiranto yang menjadi presiden dan wakil presiden. Kenyataannya rakyat memilih pasangan SBY-Boediono.
Sekarang ini dengan gencarnya pemberitaan berkaitan dengan korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat, kalau televisi menjadi kepentingan partai politik, hasil survei-survei akan menunjukkan Golkar dan Partai Nasdem sebagai partai pilihan masyarakat. Ternyata hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai yang akan menjadi pemenang apabila pemilu dilaksanakan sekarang.[Suryopratomo]