parpol baru, PEMAIN LAMA

Semangat membentuk partai politik baru untuk turut berkompetisi dalam pemilihan umum ternyata belum sirna kendati persyaratan undang-undang semakin ketat. Masih adakah peluang parpol baru merebut simpati di tengah kekecewaan publik terhadap kinerja parpol yang berkuasa dewasa ini?

Secara teoretis peluang itu jelas masih ada kendati tidak besar. Hasil Pemilu 2009 menggambarkan, sekitar 70 persen anggota DPR dan DPRD adalah wajah baru meskipun sebagian besar parpol yang berhasil masuk parlemen adalah parpol lama.

Di tingkat nasional, hanya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang bisa menembus persyaratan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen.

Beberapa parpol lama dan sekitar 20 parpol baru atau parpol lama yang diperbarui tersingkir dari panggung politik bergengsi di Senayan. Namun, sebagian di antaranya bisa merebut kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang belum memberlakukan persyaratan ambang batas parlemen.


Realitas Politik

Peluang lain bagi parpol baru adalah realitas politik terkait dengan akumulasi kekecewaan publik terhadap kinerja parpol yang ada saat ini. Sulit dibantah, hampir belum ada kebijakan spektakuler yang digulirkan parpol, baik melalui lembaga legislatif maupun eksekutif. Yang justru terekam dalam memori publik adalah semakin banyaknya politisi parpol yang ditangkap, menjadi tersangka, dan bahkan dipenjara karena diduga terlibat tindak pidana korupsi.


Banyak Faktor

Keberhasilan parpol baru merebut dukungan dalam pemilu jelas ditentukan oleh banyak faktor. Secara tradisional, orientasi agama dianggap merupakan faktor penting yang memengaruhi perilaku pemilih dalam pemilu. Studi klasik Clifford Geertz tentang kecenderungan pilihan parpol kaum santri dan abangan di Jawa biasanya dirujuk terkait asumsi ini.

Namun, kegagalan partai-partai berbasis Islam pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 mengonfirmasi terjadinya perubahan orientasi pemilih di Indonesia. Partai-partai sekuler, seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan belakangan Partai Demokrat, acap kali justru memperoleh dukungan signifikan di daerah santri dengan pemeluk Islam yang taat beribadah.

Faktor kelas sosial sering dirujuk sebagai variabel yang turut memengaruhi pilihan konstituen dalam pemilu. Namun, karena pada umumnya parpol di Indonesia bersifat merangkum semua serta hampir tidak ada isu spesifik untuk kelas sosial tertentu, pilihan atas parpol cenderung bersifat lintas kelas sosial.

Pemilih PDI-P yang mengklaim sebagai partai wong cilik, misalnya, menjangkau pula sebagian kaum ”Soekarnois” terdidik perkotaan kendati proporsinya cenderung merosot dari pemilu ke pemilu.

Orientasi isu suatu parpol juga bisa menjadi daya tarik untuk memobilisasi dukungan dalam pemilu.

Pendekatan ini, antara lain, diusung Partai Keadilan Sejahtera yang mengklaim diri sebagai partai ”bersih dan peduli” dalam Pemilu 2004 dan 2009 sehingga mampu mendulang dukungan signifikan ketika pada saat sama parpol berbasis Islam lain mengalami musim ”paceklik” suara.

Ada dua variabel lain yang sering kali dirujuk karena dianggap memengaruhi perilaku pemilih, yaitu identifikasi partai dan orientasi atas figur atau tokoh yang merepresentasikan parpol.

Identifikasi partai adalah tingkat pengenalan pemilih terhadap partai sehingga tidak menjadi soal siapa tokohnya ataupun bagaimana kinerjanya. Daya tahan Golkar, antara lain, terletak di sini.

Di sisi lain keberhasilan Partai Demokrat bisa dijelaskan dari begitu sentralnya ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono ketika kinerja figur lama, seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Amien Rais, mulai menuai kekecewaan publik. Studi R William Liddle dan Saiful Mujani (2006) mengonfirmasi signifikansi faktor identifikasi partai dan ketokohan ini dalam memengaruhi perilaku pemilih.


Tiga Tantangan

Pertanyaannya, sejauh mana parpol baru memiliki satu atau beberapa faktor pengaruh di atas dalam rangka kompetisi pemilu mendatang?

Selain kebutuhan akan pemahaman terhadap kecenderungan perilaku pemilih, parpol baru dihadapkan pada setidaknya tiga tantangan berikut.

Pertama, semakin ketatnya persyaratan bagi pendirian parpol berbadan hukum, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. UU Parpol yang baru tersebut mengatur, parpol berbadan hukum harus memiliki kepengurusan di semua provinsi, 75 persen kepengurusan kabupaten/kota pada provinsi yang sama, serta 50 persen kepengurusan kecamatan pada kabupaten/kota yang sama.

Kedua, meningkatnya persentase persyaratan ambang batas parlemen pada pemilu mendatang. Tantangan bagi parpol baru semakin besar jika persyaratan ambang batas juga diberlakukan bagi DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Meskipun revisi atas UU Pemilu belum diselesaikan DPR, persyaratan ambang batas parlemen diperkirakan meningkat 3-4 persen.

Ketiga, parpol yang ada di parlemen dewasa ini tentu akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan kursi mereka dan bahkan kalau perlu lebih meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2009. Untuk mempertahankan keberadaan mereka, Partai Persatuan Pembangunan, misalnya, merasa perlu mengundang figur publik di luar partai sebagai calon ketua umum dalam muktamar pada Juni 2011.

Namun, di atas segalanya, tantangan terbesar parpol baru adalah meyakinkan publik bahwa memang ada suatu tawaran baru yang tidak sekadar dipidatokan di balik pendirian parpol-parpol tersebut. Peluang semakin tidak mudah jika di balik baju sebagai ”parpol baru” ternyata didominasi wajah dan pemain lama yang belum memperoleh kesempatan terpilih dalam pemilu sebelumnya.[Syamsuddin Haris -- KOMPAS, 30 April 2011]

* Penulis, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI