gaya POLITISI SALON

Parlemen sebagai habitat cendekia politik yang terlibat dengan penderitaan rakyat kini kian memudar.

Publik pun kian sulit merasakan tetes keringat kerja keras berbasis integritas, komitmen, dan kapabilitas sebagian besar wakil rakyat. Publik lebih kerap menjumpai politikus salon: rapi, wangi, modis, dan penuh gaya, tetapi steril dari keprihatinan sosial. Rencana pembangunan gedung 36 lantai yang akan menghamburkan Rp 1,1 triliun lebih hanyalah salah satu gaya berkuasa para politikus salon.

Politikus salon bekerja atas panggilan kekuasaan, bukan pe- ngabdian. Karena itu, politikus salon bisa dimaknai sebagai pekerja politik, bukan pejuang politik. Pekerja politik melakukan kegiatan berdasarkan rutinitas dan berbagai kesepakatan atas pesanan, permintaan, dan imbalan. Pertaruhan dalam disiplin pekerja adalah kecakapan dan keterampilan memberikan hasil yang memuaskan bagi pemesan.

Bekerja berbeda dengan mencipta. Bekerja menghasilkan kerajinan. Mencipta melahirkan berbagai kemungkinan dari yang semula tidak ada jadi ada. Mencipta berarti juga bereksplorasi dan berinovasi. Pejuang politik menciptakan sesuatu berdasarkan ideologi, komitmen, integritas, dan kapabilitas. Panggilan berpolitiknya adalah dedikasi atas kemanusiaan, kemasyarakatan, dan cita-cita membangun peradaban negara-bangsa. Bukan panggilan kekuasaan: karier, jabatan, dan penghasilan.

Politik dipahami sebagai jalan suci mewujudkan cita-cita profetik: membebaskan dan meninggikan eksistensi rakyat dalam pertarungan melawan struktur tak adil dan kultur dekaden.

Pilihan atas nilai-nilai ideal menjadikan politikus pejuang, tak sibuk memikirkan segala hal artifisial: gaya, penampilan, citra, kekayaan, dan hedonisme. Kesederhanaan dan kewajaran jadi cakrawala. Kesantunan berperilaku jadi langgam interaksi sosial. Kejujuran dan ketulusan jadi napas hidup. Etika dan moralitas jadi panduan pikiran dan tindakan. Keberhasilan mengangkat rakyat dari lautan lumpur penderitaan adalah pamrihnya, seperti cita-cita priayi dalam novel Para Priyayi Umar Kayam.


Kesatria Politik

Hakikat politikus-pejuang adalah petarung sejati, kesatria. Bukan pecundang, pialang, makelar, apalagi juragan. Kesatria politik berani mengambil risiko atas tugas dan amanah yang ia emban. Ia tak pernah memilah dan memilih tugas atas pertimbangan enak dan tak enak atau populer dan tak populer. Satu-satunya pertimbangan, amanah yang digariskan konstitusi, bukan cari pujian konstituen tertentu. Menjunjung nilai konstitusi otomatis menjunjung kehidupan para pemangku kepentingan.

Kini kita kian sulit menemukan politikus-pejuang yang punya kapasitas kesatria sekaligus negarawan. Di tengah kesulitan itu kita justru menjumpai banyak politikus salon, termasuk yang menghuni parlemen. Sebagian memasuki gedung parlemen dengan rekam jejak politik kabur. Umumnya mereka tak tumbuh dari tradisi politik yang kental, tradisi mengunyah dan mencerna ideologi, tradisi jadi kader dan tradisi jadi aktivis sejati politik.

Kita mengenal asal-usul mereka hanya dari dua hal: uang dan popularitas. Jika masih harus ditambah syarat lain, itulah kedekatan dengan tokoh-tokoh parpol. Inilah tragedi demokrasi liberal yang nirkompetensi dan nirideologi. Demokrasi disamakan dengan uang dan popularitas. Politikus salon memahami peran sosial sebagai profesi umum, tanpa horizon ideologis dan pertaruhan eksistensial. Mereka juga menginginkan segalanya serba mudah, instan, mewah, menyenangkan, dan memberi hasil berlimpah, baik secara material maupun nonmaterial (citra mencorong, status sosial terhormat).

Mereka lupa pada esensi jadi politikus: agen sekaligus pelaku perubahan yang punya cita-cita ideal atas masyarakat. Sebuah pilihan yang, tentu saja, menuntut politikus sanggup berkubang dalam lautan lumpur persoalan guna menemukan berbagai kemungkinan bagi kesejahteraan rakyat. Ini dilakukan bukan atas dasar upah dan fasilitas, melainkan komitmen sosial. Upah dan fasilitas yang terukur hanya efek dari pengabdian.


Beban

Karena berbagai persoalan rakyat dianggap sebagai beban yang sangat berat, bahkan menyiksa, para politikus salon pun menuntut banyak hal: fasilitas gedung mewah, studi banding ke luar negeri, gaji tinggi, dan tunjangan jabatan. Intinya, mereka menuntut harus berbeda dari rakyat yang mereka wakili. Berbeda artinya memiliki penghasilan, fasilitas, status, dan citra yang jauh lebih tinggi daripada rakyat, sang juragan mereka. Ironisnya, tuntutan tinggi itu tak sebanding kualitas kinerja yang diberikan kepada rakyat. Rakyat tetap saja hidup pontang-panting didera berbagai kesulitan, bahkan hanya sekadar untuk makan.[Indra Tranggono* -- KOMPAS, 7 April 2011]

*Penulis, Pemerhati Budaya