wikileaks dan CYBERDEMOCRACY

JULIAN Assange dengan WikiLeaks layak menjadi man of the year 2010 sebagai news maker paling kontroversial. Hingga sekarang, gelombang deras infromasi berkenaan berbagai rilis dokumen-dokumen sangat rahasia versi Wikileaks, masih menjadi perbincangan masyarakat internasional. Bak bola api, informasi dari para pendukung Wikileaks terus membesar. Kian panas dan liar. Fenomena ini, menghadirkan perang tak sekadar di dunia cyber juga terkoneksi langsung ke berbagai basis strategis pertahanan dan praktik demokrasi pemerintahan di berbagai negara.


Multitafsir

Sosok Julian Assange yang lahir di Townsville-Queensland, Australia memang multitafsir. Tafsir pertama, Assange sosok pejuang demokrasi radikal yang memanfaatkan kekuatan teknologi cyber sebagai basis memerangi praktik superioritas rezim pemerintahan di berbagai negara. Terutama Amerika dan korporasi multinasional.

Sejak tahun 2006, Assange memulai WikiLeaks bersama sekumpulan aktivis yang memiliki pemikiran sama yakni membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Dalam konteks inilah, Assange kerap dilabeli sebagai pejuang transparansi radikal. Melalui cara-cara radikal, dia menohok langsung otoritas formal berbagai negara yang dianggap tak sejalan dengan asas-asas demokrasi yang selama ini kerap diklaim telah dipraktikkan negara-negara bersangkutan. Tentu, AS yang rajin melakukan propaganda sebagai negara demokrasi paling sukses harus menerima tamparan keras Assange dan Wikileaks.

Sejumlah infromasi sangat rahasia seperti Iraq War Logs, Prosedur Operasi Standar untuk Camp Delta di Penjara Guantonamo, rilis 90 ribu lebih dokumen peristiwa dan laporan intelijen tentang konflik di Afganistan. Pada November 2010, Wikileaks merilis 250 kawat diplomatik rahasia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di sejumlah negara. Sontak membuat tensi berbagai pihak memanas. Perang belum berakhir, meski Assange telah ditahan di London atas tuduhan pelecahan seksual, namun rilis berbagai informasi sensitif terus gencar dilakukan, bak air bah yang tak bisa dicegah.

Tafsir kedua, Assange dan WikiLeaks dianggap sebagai propaganda yang machiavelist. Bagi pemberi tafsir ini, atas nama transparansi Assange membuat ketidakmenentuan batas jelas antara informasi yang akuntabel, verifikatif dan murni dengan informasi berbasis politik kekuasaan. Mereka yang skeptis atas kerja-kerja Assange lantas mempertanyakan kekuatan siapa yang berada di belakang WikiLeaks? Saat CNN dan YouTube memublikasikan markas Wikileaks yang terkesan serbacanggih di dalam bungker di pegunungan dekat Stockholm, Swedia. Lantas masyarakat dunia disodorkan argumen yang mustahil Wikileaks bisa bekerja tanpa sokongan kekuatan finansial memadai.


Payback Operation!

Yang menarik kita amati dari situasi terkini seputar Wikileaks adalah muncul perang terbuka yang dikobarkan para pendukung Assange dan WikiLeaks. Kelompok ini menamai diri mereka anonymous terdiri dari para peretas atau hack-activist yang tak rela perjuangan WikiLeaks berakhir begitu saja. Penangkapan Assange seolah menjadi katalisator kohesivitas para peretas kian mengobarkan perang data yang mereka sebut sebagai payback operation (operasi balas dendam).

Sejumlah situs yang ditengarai memiliki andil pada pemberangusan WikiLeaks satu per satu diserang. Di antara situs-situs yang diserang adalah www.visaeurope.com, situs resmi pemerintah Swedia (www.regeringen.se), blog layanan keuangan ThePayPalBlog.com, situs politisi AS penentang WikiLeaks seperti Sarah Palin dan Senator Joe Liberman pun menjadi sasaran. Sejumlah situs kartu kredit seperti Mastercard dan Visa pun menjadi sasaran. Para penyerang juga mencoba menggempur situs Amazon.com yang dianggap mendepak WikiLeaks dari server mereka. Setelah situs bentukan Assange ini diusir dari server asli EveryDNS.

Bagi kelompok hack-activist pendukung Wikileaks, apa yang mereka lakukan pelajaran bahwa pemutusan hubungan dengan Wikileaks tak lantas bisa “mengubur” apa yang sedang diperjuangkan. Protes dari para aktivis, jurnalis di berbagai negara bahkan ilmuwan kritis sekaliber Noam Comsky pun turut menyuarakan dukungan mereka atas kerja-kerja progresif dan radikal yang dilakukan Assange dan WikiLeaks.


Cyberdemocracy?

Satu catatan menarik bagi penulis dalam konteks kasus WikiLeaks adalah dinamika cyberdemocracy dalam perspektif komunikasi politik. Satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication menyadari suatu era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga. Saat media cetak dan penyiaran akan kehilangan tempat sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru melimpah informasi. Ide, informasi dan berita politik dapat disebarkan melalui internet. Media online ini telah menjadi ruang publik virtual saat orang-orang dapat menggunakan untuk membaca dan mengekspresikan berbagai opini dan sikap politik mereka.

Sebagaimana diketahui, ada tiga bentuk pengembangan dari internet yakni World Wide Web yang dikembangkan tahun 1990, oleh para ahli di Switzerland. Mereka menciptakan rangkaian komputer saling terhubung internet dengan menggunakan program komunikasi yang sama. Pengembangan kedua, memudahkan pengguna menemukan apa yang mereka cari di web. Hal ini terjadi tahun 1993 dengan diciptakan browser. Lima tahun setelah itu, Microsoft memperkenalkan browser mereka yang dinamakan internet eksplorer. Perkembangan ketiga, yakni search engine yang paling dikenal pengguna adalah Google dan Yahoo!

Inovasi dalam dunia web makin hari makin mengalami perkembangan berarti. Ini dibuktikan dengan adanya transformasi dari teknologi web 1.0 yang hanya menempatkan user sebagai konsumen konten internet ke web 2.0 hingga dan web 3.0. Internet generasi kedua dan ketiga ini, telah memungkinkan pengguna berinteraksi dengan yang lain dan memungkinkan terbentuk suatu hubungan, sharing. Bahkan tak jarang membentuk konvergensi simbolis dan komunitas virtual aktif. Saat internet berjalan dinamis dan menjadi tempat diskusi, dengan sendirinya telah membentuk virtual public sphere, yang sama penting dengan public sphere di kehidupan fisik. Bahkan, bisa jadi melahirkan fenomena modern lebih dahsyat. Mengingat internet memiliki karakteristik multimedia dan interaktivitas serta mampu melampaui batas-batas geografis, teritorial dan hambatan-hamabatan fisik lain.

Ruang publik virtual ini menjadi sebuah keniscayaan dari produk modernitas yang tak bisa lagi diberangus baik oleh pemerintahan sebuah negara maupun korporasi raksasa di dunia. Kembali ke kasus Wikileaks, terlepas dari apakah Assange itu pejuang demokrasi radikal berbasis perjuangan transparansi atau sebaliknya, mungkin propaganda dari sebuah kekuatan politik tertentu. Hal yang harus diwaspadai jangan sampai kasus WikiLeaks ini menuntun berbagai negara kembali ke rezim ketertutupan. Perang informasi akan menjadi fenomena lumrah dalam rangkaian proses cyberdemocracy yang sedang mencari bentuk. Terutama dalam menafsirkan makna kebebasan informasi dalam tradisi liberalisme barat. Tentu paradoks atas kebebasan dalam demokrasi akan muncul bahkan kerap mengangkut residu politik yang tak selamanya menyehatkan.

Namun, ancaman dan peringatan seperti saat ini dilakukan badan-badan pemerintahan federal AS bukanlah contoh baik dalam penyelesaian masalah. Membaca, menyebarkan atau sekadar mengomentari dokumen-dokumen Wikileaks, kini dianggap sebagai pelanggaran atas Executive Order 13526 tentang Informasi Keamanan Nasional Rahasia. Demokrasi di dunia cyber tentu tak bisa diberangus, melainkan harus dimanfaatkan dengan hati-hati dan penuh kearifan.[Gun Gun Heryanto* -- JURNAL NASIONAL, 17 Desember 2010]

*Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta