Hubungan antara pemerintah dan pers belakangan ditandai dengan antagonisme yang menarik sekaligus perlu direnungkan.
Di satu sisi, sebagian media kita ada yang berpatokan pada hukum besi ”Bad news is good news”. Media seperti ini memang mengembangkan pemberitaan yang terlalu berorientasi kepada dimensi konflik, skandal, dan kontroversi sedemikian rupa sehingga terkesan hanya sibuk menyoroti kelemahan-kelemahan pemerintah, tanpa apresiasi selayaknya terhadap capaian kerja pemerintah, betapapun sedikit capaian itu.
Di sisi lain, kita menghadapi pemerintah yang sepertinya tidak tahu bagaimana mengambil manfaat praktik kebebasan pers. Pemerintah yang tidak dapat mengidentifikasi kontribusi positif pers bagi pencapaian agenda pemerintah sendiri: reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, dan lain- lain. Maka, yang berkembang kemudian adalah sikap antipati atau setidak-tidaknya sikap apriori terhadap pers.
Antagonisme inilah yang mengemuka ketika beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, media telah mengadu domba dirinya dengan Sultan Hamengku Buwono X dalam kontroversi status monarki politik Yogyakarta. Tak lama berselang, Presiden juga menegaskan, serangan media yang keras dan sistematik adalah salah satu penyebab turunnya kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Sebuah Kewajaran
Benarkah media telah mengadu domba Presiden dan menyerang penegak hukum? Bisa jadi ada benarnya. Dorongan untuk mengomodifikasi perbedaan pendapat, untuk menghakimi pihak tertentu, memang ada dalam pers kita. Namun, media yang mana yang dimaksudkan? Apakah Presiden merujuk kepada semua media atau media tertentu saja? Masalah ini harus jelas. Jangan sampai yang terjadi adalah apriori sebagian media terhadap Presiden dan penegak hukum dibalas dengan apriori Presiden terhadap semua media!
Kritik terhadap pers adalah sebuah kewajaran. Media bisa saja berbuat kesalahan dan semua pihak berhak mengoreksinya. Namun, harus jelas kesalahan apa yang disangkakan kepada media: salah mengutip sumber berita, data tidak akurat, liputan tidak seimbang, bahasa yang tendensius, atau pencampuran fakta dan opini? Harus jelas pula media yang dimaksudkan.
Jika dapat menunjukkan media dan kesalahannya secara spesifik, bisa jadi Presiden memberikan kontribusi positif bagi penegakan etika jurnalistik. Apalagi jika sudi menggunakan hak jawab, Presiden memberikan teladan bagaimana idealnya sengketa pemberitaan diselesaikan.
Dalam rezim demokratik, fungsi pers dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, menjalankan kritik terhadap kekuasaan. Dalam konteks ini, wajar jika pemerintah menjadi sasaran kritik pers karena sejauh ini kenyataannya penyelenggaraan pemerintahan di semua lini dan semua aras memang mengandung banyak kelemahan. Dengan kondisi yang seperti ini, tidak realistis jika pemerintah mengharapkan pemberitaan yang positif dari pers. Yang realistis dan relevan adalah mengharapkan pemberitaan yang proporsional, seimbang, dan etis. Pemerintah dapat memaksimalkan Undang-Undang Pers untuk menuntut agar dalam pemberitaannya, pers secara konsisten menegakkan etika jurnalistik dan keutamaan ruang publik media.
Kedua, pers juga berfungsi membangun ruang publik deliberatif, di mana semua unsur berkesempatan mendiskusikan urusan bersama secara argumentatif dan dialogis. Media adalah ruang antara politik di mana masalah publik—seperti halnya Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta—dibicarakan dan dinegosiasikan semua pihak, tanpa terkecuali para pengambil kebijakan sebelum mereka memutuskan sebuah kebijakan.
Posisi ruang media ini sangat strategis karena dalam demokrasi keterwakilan, masyarakat tidak terlibat langsung dalam proses pembahasan undang-undang. Apalagi jika dipertimbangkan, para wakil rakyat sering lebih mengedepankan kepentingan partikular pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat.
Legitimasi kebijakan tidak hanya diukur dari akseptabilitasnya terhadap prinsip-prinsip tertentu, tetapi juga dari kenyataan apakah masyarakat menyetujui kebijakan itu atau tidak. Legitimasi isi harus dibarengi dengan legitimasi proses. Maka, lebih baik RUU Keistimewaan DIY diributkan sekarang daripada ditolak masyarakat ketika telah menjadi undang-undang. Di sini, terlepas dari kecenderungan sebagian media untuk mendramatisasi konflik dan perbedaan, pers secara umum berkontribusi dalam mentransparankan atau mendemokratiskan proses pengesahan RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Ketiga, pers secara epistemologis juga berfungsi menambah pengetahuan masyarakat. Wacana media telah menambah pengetahuan masyarakat tentang asal-usul keistimewaan Yogyakarta, kedudukan Keraton Yogyakarta dalam Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lain-lain. Masyarakat juga mendapatkan pemahaman tentang plus-minus opsi yang sedang diperdebatkan: Gubernur DIY dipilih secara langsung atau ditetapkan?
Wacana media tentang keistimewaan Yogyakarta, dengan beberapa catatan, telah menunjukkan berjalannya sebuah ruang publik politik sekaligus fungsi epistemologi media yang memungkinkan masyarakat untuk secara mandiri membangun opini atau sikap masing-masing.
Memperburuk Citra
Kembali kepada urusan pemerintah, bagaimana pemerintah harus menyikapi kritisisme media? Cara terbaik adalah dengan tidak membuat kesalahan! Sebab, fungsi utama pers memang mengoreksi kesalahan penyelenggaraan kekuasaan.
Pemerintah juga dapat memaksimalkan hak sebagai obyek pemberitaan: hak jawab dan hak koreksi. Yang perlu dihindari adalah gagasan yang otoriter dan usang. Katakanlah gagasan untuk mengembalikan TVRI dan RRI menjadi organ propaganda politik pemerintah guna mengimbangi kritisisme media massa. Gagasan semacam hanya akan menimbulkan reaksi perlawanan dan memperburuk citra pemerintah.[Agus Sudibyo* - KOMPAS, 15 Desember 2010]
*Agus Sudibyo, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers