Leroy McCarty
Kita berduka karena Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi, telah diberitakan meninggal dalam posisi bersujud, menyusul letusan gunung berapi paling aktif di Jawa tersebut.
Ucapan duka cita juga layak untuk diucapkan bersamaan pula dengan meninggalnya korban letusan lainnya, juga korban bencana alam gempa bumi di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan sebelumnya musibah banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Kita memang sedang menghadapi cobaan berupa bencana alam di mana-mana.
Sebuah pemberitaan media online mengulas meninggalnya Maridjan dengan kalimat yang memungkinkan pembacanya menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan sosok sepuh itu cukup fatal. Memang, pada 2006 Maridjan selamat. Tempat tinggalnya, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tidak dilewati awan panas atau wedhus gembel, tetapi tidak untuk saat ini. Seorang pakar menjelaskan letusan kali ini bersifat eksplosif sehingga menyebabkan banyak korban jiwa.
Bagaimanapun, almarhum sangat fenomenal. Sebagai pemimpin informal dalam lingkup terbatas, ia sempat melakukan interupsi bahwa ternyata masih ada pemimpin yang unik sepertinya di Indonesia. Ia hadir di tengah-tengah realitas kepemimpinan formal yang sering menerima kritik tajam. Mungkin banyak Maridjan lain yang belum terpublikasi di komunitas-komunitas lokal kita yang khas. Maridjan mencoba merepresentasikannya, setidaknya ia tampil jelas sebagai salah satu contoh kasus kepemimpinan informal yang layak diulas.
Tiga teladan
Apa yang dapat kita petik dari kepemimpinan Maridjan? Ada beberapa catatan atas gaya kepemimpinan informalnya yang bersahaja sebagai penjaga Merapi atas legitimasi Keraton Yogyakarta itu. Pertama, menyangkut integritas dan loyalitasnya. Ia punya integritas dan reputasi yang tak diragukan, tentu dalam ukuran-ukuran tradisionalitas-informal. Adapun Sultan Hamengku Buwono IX mengangkatnya sebagai juru kunci, tentu saja bukan main-main. Dan, Maridjan loyal dengan penunjukannya itu, menjalankan tugas dalam bingkai pengabdian dan sesuai amanat.
Kedua, ia sosok pemimpin sederhana dan bijak. Harap diingat bahwa Maridjan bekerja dalam alam kearifan lokal yang meta-sains dan alam pikir makrokosmos (jagat-gedhe) yang khas Jawa. Ia bukan pakar di bidang kegunungapian, tetapi tampaknya lebih banyak bekerja berdasar intuisi dan nalar. Keterangan-keterangan Maridjan pada 2006 atas fenomena alam Merapi demikian sederhana dengan bumbu-bumbu perumpamaan yang gampang ditelaah orang.
Ia juga mengedepankan suatu etika yang khas, yang harus dihayati menyangkut hubungan antara manusia, gunung berapi, dan Tuhan. Ia sering mengatakan ojo ndhisiki kerso, jangan mendahului kehendak-Nya. Ini menunjukkan bahwa Maridjan punya disiplin religius tersendiri, dengan berdoa, ikhtiar, dan pasrah.
Ketiga, ia pemimpin yang bertanggung jawab dan berani ambil risiko. Tampaknya, tak ada pretensi agar Maridjan sendiri dicap sebagai teladan. Tetapi, ia sering menunjukkan kepada publik bahwa ia punya tanggung jawab, dan atas dasar itu ia berani ambil risiko. Karena itulah perilakunya sering cukup kontroversial. Dengan alasan berdoa kepada-Nya, ia justru naik ke puncak, kawasan yang paling berbahaya pada 2006.
Dengan alasan yang sama pula, ia tak mau meninggalkan desanya saat sebelum akhirnya ia diberitakan meninggal.
Ia tak menolak pengungsian warga, tetapi ia sendiri tak mau mengungsi. Memang kontradiktif. Karena itu, wajar apabila penilaian publik terbelah ke dalam dua pendapat berseberangan: ia berani ambil risiko atau ia sesungguhnya sosok yang fatalis.
Dua ekstrem
Masih banyak hal yang bisa diulas dari gaya kepemimpinan Maridjan, tetapi tiga hal di atas sudah mencukupi, sebagai wasiat-wasiat yang dapat dicatat dari sosok bintang iklan minuman energi itu.
Setelah Maridjan meninggal, saya sependapat dengan anjuran agar kita lebih serius beralih dari paradigma intuisi ke sains modern. Tetapi, saya juga sepakat bahwa sains modern pun dikembangkan tanpa harus mengabaikan kearifan lokal. Dari sini, seolah-olah memang antara Maridjan dan sains modern adalah dua ekstrem, walaupun penjelasannya sering kali selaras dengan argumentasi sains. Intinya, sains dan kearifan lokal harus berdampingan, sedemikian rupa demi kemaslahatan semua.[M ALFAN ALFIAN* - KOMPAS, 2 November 2010]