Pesan itu terselip pada para petugas pengamatan Gunung Merapi. Mereka bak kapten kapal yang tenggelam. Meski tahu tak ada yang bisa dicegah, para petugas itu pantang turun hingga detik terakhir. Bahkan, mereka tidak turun sama sekali. Ancaman awan panas bersuhu 600 derajat celsius dengan kecepatan 200 kilometer per jam yang sewaktu-waktu bisa menerjang ke arah mereka seolah tak dihiraukan. Jika itu terjadi, dipastikan akan sangat sedikit waktu untuk mengelak (Kompas , 2/ 11).
Salah satu dari mereka adalah Triyono yang sudah bertugas selama 20 tahun di pos yang hanya berjarak tujuh kilometer dari puncak Merapi, padahal instansi berwenang menetapkan radius bahaya primer Merapi minimal 10 kilometer. Takut? Triyono dengan jujur bilang bahwa ia takut, tetapi ia tetap menjalankan tugasnya mengengkol sirene zaman Belanda selama dua jam untuk memperingati warga, selain tugas-tugas berat lainnya.
Kehidupan luhur
Triyono dan kawan-kawannya merupakan pelajaran kehidupan luhur di balik Merapi. Ada tiga tingkatan manusia dalam menjalani tugas kehidupannya. Pertama, manusia yang menerima dan menjalani tugas kehidupannya sebagai kewajiban. Mekanisme kerjanya dilandasi oleh prinsip penawaran diri, transaksional. Artinya, seseorang menawarkan dirinya melakukan tawar-menawar sehingga usaha, kerja, dan kinerjanya selalu dihubungkan dengan seberapa besar hasil atau kusala yang ia dapatkan.
Orang-orang transaksional yang memandang tugas sebagai kewajiban ini biasanya akan lari dari tanggung jawab jika menghadapi risiko atau bahaya. Atau, ia akan mencari penghasilan lain (dengan cara apa pun) jika dirasakannya penghargaan lebih kecil dari tugas dan risiko yang diemban, atau yang paling ringan adalah mereka menjalankan tugas seadanya, ala kadarnya.
Pejabat yang sembunyi di balik punggung atasannya, menteri yang berondok di balik ketiak presiden, atau mereka yang harfiah melarikan diri, para koruptor, sampai petugas kereta api yang bekerja seadanya sehingga menyebabkan kecelakaan adalah contoh-contoh manusia transaksional tersebut.
Kedua, manusia yang menjalankan tugas kehidupannya sebagai amanah dilandasi oleh prinsip pengabdian diri, moral. Orang-orang ini akan melakukan tugasnya dengan semangat pelayanan. Implikasi dari prinsip tersebut membuat seseorang bekerja dengan asas kepatuhan. Sebesar apa pun risikonya, ia akan menjalankan tugas kehidupannya dengan taat.
Orang-orang amanah ini setingkat di atas mereka yang transaksional. Mereka biasanya tetap menjalankan tugas dengan patuh dan sebaik-baiknya, sesuai dengan target yang dilekatkan kepadanya meski mungkin gaji atau hasil yang diterima kecil dan tak sebanding dengan besarnya tugas yang diemban. Triyono dan kawan-kawan sudah jelas di tahap ini, seperti yang dikatakan oleh teman Triyono yang bernama Yulianto—tugas penting untuk memberikan informasi kepada masyarakat ini dianggap sebagai amanah yang harus dijalankan—sebagai petugas pengamatan.
Namun, apakah benar Triyono, Yulianto, dan yang lainnya itu berhenti pada tataran pengabdian diri, prinsip moral semata? Sepintas memang demikian, tetapi mungkin jika diteliti lebih jauh, mereka sesungguhnya sudah menapak pada tataran tertinggi.
Ketiga, manusia yang menjalankan tugas kehidupannya sebagai sebuah cinta, dilandasi oleh prinsip penyerahan diri. Tugas itu seberapa apa pun dan berisiko akan diterima, digeluti, dan dijalankan dengan cinta. Orang-orang ini bukan hanya menjalankan semuanya karena kepatuhan (apalagi kewajiban) lalu mengerjakan sebaik-baiknya sesuai target. Bukan! Mereka menjalankannya karena mencintai tugas itu, mencintai siapa pun yang mereka layani atau penikmat hasil ker - janya. Mereka bekerja melampaui kewajiban mereka.
Mereka tidak hanya bekerja ”sekadar” memenuhi target yang dibebankan, tetapi bahkan melebihi target-target tersebut meski tak pernah diminta atau diawasi sekalipun. Bahkan mereka ”m e ny e r a h k a n d i r i ny a ” untuk tugas itu, untuk mereka yang menikmati hasil kerjanya. Triyono dan kawan-kawannya tampaknya sudah berada di tataran ini sebab sudah rela ”menyerahkan dirinya” untuk tugas itu. Risiko kehilangan nyawa pun mereka terima. Ini bukan lagi soal kepepet takut kehilangan pekerjaan mengingat gaji yang mereka terima tidaklah sebanding dengan risiko yang dihadapi.
Negara tak hadir
Jangan lupa pula, kemerdekaan negeri tercinta ini bisa diraih hanya karena banyaknya manusia Nusantara yang menjalankan tugas (baca: berjuang) dengan prinsip cinta, penyerahan diri kepada perjuangan itu sendiri dan Tanah Air.
Ada cinta di balik Merapi, ada pelajaran berharga bagi bangsa ini: kebesaran dan kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh tinggi rendahnya jabatan, gaji, atau hasil yang diterima atau popularitas karena cinta dan penyerahan diri itu sendiri menyapa siapa pun manusia tanpa memandang atribut, tergantung apakah kita mau menerima dan menjalaninya atau tidak.
Dan itu terlihat nyata pada sosok Triyono dan kawan-kawan yang secara atribut hanyalah para ”manusia kecil”. Sementara itu, para pemimpin kita secara statistik sebagian besar merupakan manusia transaksional, sebagian kecil merupakan manusia amanah, dan hanya hitungan jari sebagai manusia cinta.
Jadi, bagaimana kita bisa menjadi bangsa besar?
Ada cinta di balik Merapi—daripada menunggu para pemimpin, sebaiknya kita mulai saja dari diri kita masing-masing— dengan mencintai apa yang jadi tugas kita, atau apa yang ada di genggaman tangan kita saat ini.
Apalagi jika negara tidak lagi hadir di tengah kita seperti yang nyata terlihat di Wasior, Mentawai, dan kawasan sekitar Gunung Merapi saat ini.[HERRY TJAHJONO* - KOMPAS, 6 November 2010]
* HERRY TJAHJONO Terapis Budaya Perusahaan dan Sumber Daya Manusia, Tinggal di Jakarta