Suatu hari saya berkunjung ke kantor pusat National Geographic di salah satu jantung kota di Washington DC, Amerika Serikat. Saya memasuki kantor itu dengan perasaan berdebar karena rasa ingin tahu saya yang begitu besar bagaimana bisnis ini bisa dijalankan dengan basis idealisme. Sejak dulu saya meyakini bahwa menjalani bisnis semacam ini dengan seluruh kepentingan industri yang sarat kepentingan kapital –-membutuhkan kumpulan ‘orang gila’. Dan dugaan saya benar.
Kantor National Geographic ini didesain dengan selera yang mendekatkan kita dengan alam. Kita dibawa pada satu suasana ke suasana lainnya, dimulai dengan suasana flora hingga fauna. Sungguh kita tidak merasa berada dalam suasan kantor yang hanya berada di sebuah gedung tanpa ‘roh’ atau spirit. Tapi kitaseolah dapat mengikuti perjalanan mendokumentasikan beragam pengalaman berharga saat mereka berada nun jauh di belantara sana. Satu hal yang menjadi misi dari mereka yang menjalankan bisinis ini adalah membuat masyarakat lebih mencintai planet ini dan bila hal itu terjadi, maka keajaiban akan terjadi. Sebuah filosofi sederhana tapi berjuta makna. Bagaimana kita membuat sebuah tayangan akan kehidupan yang begitu beragam yang membuat dunia ini sesungguhnya sangat indah dan wajib diperlihara. Bumi ini memang membutuhkan manusia yang lebih mengerti mengapa ada mahluk hidup dan kehidupan. Dan tak jarang, manusia harus belajar soal kehidupan justru dari mahluk hidup lainnya.
Pengalaman dan pekerjaan mendokumentasikan kegiatan kehidupan alam dan isinya seperti yang dilakukan dalam tayangan dokumenter adalah pekerjaan yang tak mengenal hari, bulan, bahkan tahun. Tayangan dokumenter bukanlah sekedar mendokumentasikan apa yang terjadi dan membiarkan itu berlalu tanpa makna. Pendekatan membuat tayangan dokumenter dari sisi teknis, jauh lebih kompleks dibanding tayangan liputan tv biasanya. Tidak hanya soal riset yang dalam, pengambilan angle kamera pun tidak bisa dilakukan hanya dengan standar pemgambilan gambar biasa. Tak kalah penting dari peliputan semacam ini – terutama yang menyangkut alam dan kehidupannya adalah kesabaran mengambil detik-detik moment ‘kehidupan’ itu terjadi. Bisa tengah malam, menjelang fajar atau kapan pun. Kesabaran dan skill yang tinggi, itulah yang dibutuhkan oleh para pekerja tayangan dokumeter. Karena liputan ini tidak mengenal ‘casting’ atau rekayasa akting dari pelakunya, tidak juga bisa berkompromi dengan alam kapan saat yang indah untuk mengambil gambar. Bahkan terkadang penuh resiko. Karena tak jarang mereka harus bersanding dengan seramnya alam dan liarnya binatang buas di hutan belantara. Semuanya diserahkan pada alam kapan waktunya itu terjadi. Pendekatan yang sangat detail dan tanpa kompromi membuat para pekerjanya cenderung sangat perfeksionis.
Pengalaman saya sebagai seorang Pemimpin Redaksi mengajarkan saya bahwa berkomunikasi dengan mereka yang terbiasa dengan tayangan dokumenter dengan mereka yang biasa dalam tayangan hard news sangat jauh berbeda. Saya menyebut mereka yang terbiasa dengan tayangan dokumeter sebagai seniman. Keras kepala tapi memang argumentatif.
Namun demikian, kita membutuhkan orang-orang seperti mereka. Karenanya, apakah itu National Geographic atau program Potret yang ditayangkan di SCTV maupun program sejenis di televisi mana pun, sesungguhnya menjadi tayangan alternatif bagi penonton untuk menambah pengetahuan mereka akan alam dan kehidupan, budaya dan tradisi. Sebuah perjalanan dan pengalaman yang begitu menarik untuk diketahui. Terkadang manis tapi tak jarang ganas dan tak mengenal belas kasih. Tapi itu semua tentang kehidupan. Semua terekam dalam tayangan berbentuk documentary. Tak heran, jika program semacam ini memang dikenal sebagai program yang cukup mahal. Tak hanya mengakomodasi soal waktu dan kesulitan medan lapangan, ketrampilan, kegigihan, dan kesabaran para pekerjanya memang perlu mendapat ‘balasan’ sepadan. Namun, jika kita berpegang teguh pada misi untuk membuat keajaiban, bagaimana manusia bisa lebih mencintai planet bumi ini dan seluruh kehidupan di dalamnya, maka soal harga menjadi sesuatu yang tak lagi diperbincangkan. Ya, karena itu soal idealisme. Soal bumi dan bagaimana kita belajar untuk mencintainya. Untuk anak dan cucu kita. Terima kasih dan penghargaan saya yang begitu besar bagi mereka yang tak pernah berhenti mengajarkan kita bagaimana bumi ini begitu berharga.
Rosianna Silalahi, mantan Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV