the nature of KALUMPANG

Nama Kalumpang, sesungguhnya sangat asing bagi sebagian besar masyarakat di tanah air. Apalagi mengetahui sejarah yang dimilikinya. Bahakan, jangan-jangan kita pun tidak tahu; tempat itu berada di Indonesia atau luar negeri? Di mana itu Kalumpang? Ada apa dengan Kalumpang?

Kawasan Kalumpang berada di Kecamatan Kalumpang, sebelah Timur kota Mamuju, Sulawesi Barat. Jarak dari Mamuju menuju Kalumpang sekitar 60 kilometer. Sama dengan jarak Jakarta-Bogor. Tapi, medan yang dilalui tergolong berat. Warga setempat menggunakan mobil bergardan-ganda, untuk mencapai tempat-tempat lain di luar kawasan Kalaumpang.

Kawasan Kalumpang dimukimi oleh sekitar 4000 jiwa di sejumlah dusun. Meski banyak kemiripan dengan suku Toraja, mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai suku Kalumpang. Karena mereka percaya, adat-istiadat yang dimilikinya memang berbeda dengan orang-orang Toraja.

Kawasan itu termasuk sering didatangi oleh para peneliti. Terutama dari kalangan arkeolog. Tujuannya adalah situs-situs di Bukit Kamasi dan Minanga Sipakko. Meskipun demikian, Kalumpang tetap saja menjadi daerah terpencil. Kekayaan arkais yang ada di sana seakan tidak mampu mengangkat namanya ke permukaan. Apalagi menarik perhatian pemerintah, untuk mempromosikannya ke tempat yang lebih terhormat.

Upaya pencarian bukti-bukti masa bercocok-tanam pada zaman prasejarah di kawasan itu, pertama kali dilakukan oleh dua Arkeolog Belanda, AA Cense dan Van Stein Callenfels pada 1933. Berdasarkan temuan mereka, akhirnya mengundang Arkeolog Belanda lainnya, HR van Heekeren, untuk mendatangi Kalumpang pada 1949. Tujuannya, menggali lebih dalam dan mencari jejak-jejak bangsa Austronesia di pedalaman Mamuju tersebut. Seperti juga para pendahulunya, Heekeren harus menyusuri sungai Karamah selama hampir sepekan untuk mencapai kawasan Kalumpang.

Alam nan eksotis, perjalanan jauh ke tempat terpencil, harus melewati daerah-daerah sulit, sudah pasti menjadi tawaran yang menggiurkan untuk bertravelling. Keterpencilan lokasi jelas akan menghadirkan cerita dramatis selama perjalanan. Dan, adanya situs-situs arkeologi dan sejarah kehadiran HR van Heekeren, jelas menjadi alasan yang paling tepat, untuk melakukan petualangan dan mendapati kehebatan arkelogisnya.

Petualangan ke Kalumpang dimulai dari Makassar. Jangan khawatir, meskipun jauh, Makassar-Mamuju menyediakan pemandangan yang menawan. Jalan-jalan yang mulai ramai, bukit-bukit karts sepanjang jalan, sawah-sawah yang mulai menguning di beberapa pinggiran jalan, dan juga laut biru. Ini adalah suasana khas Sulawesi. Hampir seluruh jalan-jalan di pulau ini menawarkan panorama seperti itu. Karena itu, rasa lelah dan bosan, nyaris tidak terasa.

Cobalah singgah di pantai Sirinou, di pesisir Kabupaten Majene. Saat matahari sedang bersiap-siap memasuki senja, kita akan dapati keindahan cahaya jingganya yang tengah merona. Indah menawan. Siapa pun dipastikan akan bergegas turun, bila mendapati pesona alam itu. Selanjutnya, kita harus untuk bermalam di ibukota Sulawesi Barat, Mamuju. Karena, bila dilanjutkan ke Kalumpang, terus terang sangat beresiko. Jauh, medan yang sulit, dan tidak terjamin keamanannya. Banyak hotel yang bisa didapat di kota tersebut. Dari kelas losmen hingga bintang dua. Lumayan nyaman. Karena, lelahnya perjalanan darat yang telah kita tempuh, pasti akan menyeret kita untuk segera ke peraduan.

Pagi-pagi sekali, setelah sarapan di warung coto Makassar, kita bisa langsung melanjutkan perjalanan. Mamuju-Kalumpang bukanlah rute yang ringan. Setelah melewati jalan mulus, kita harus memasuki jalan-jalan tak beraspal. Kerap kita juga harus melewati lokasi pemukiman. Bahkan, harus melintasi jalanan di tengah hutan. Terasa sekali keterpencilan kawasan Kalumpang.

Perjalanan akan terhenti di sungai Karamah, sungai selebar sekitar 30 meter. Kita harus menggunakan ponton untuk mencapai Kalumpang. Selang empat jam, Kalumpang sudah di depan mata. Sebuah desa kecil yang dikelilingi bukit-bukit indah. Ya, desa di kaki bukit. Sejauh mata memandang hanya terlihat suasana hijau. Kami langsung menuju rumah pak Julius Bunga.

“Rumahnya sering dijadikan base para pendatang,” jelas seorang warga. Dan, rumah itu memang bercampur dengan penginapan. Di bagian bawah dimukimi oleh keluarga pak Julius, sedangkan bangian atas memiliki delapan kamar yang biasa disewakan.

Di kawasan Kalumpang, kita bisa mendatangi Bukit Kamasi, yang berada di belakang rumah pak Julius Bunga. Jaraknya sekitar lima kilometer dari penginapan. Kita bisa jalan kaki. Ya, hiking. Tidak terlalu sulit. Dan, kita bisa melihat adanya bekas lubang besar yang ditutupi ilalang. Letaknya dekat areal pemakaman umum. Artinya, sekian tahun telah berlalu, 60 tahun lebih, bekas penggalian itu belum tersentuh apapun. Selain ilalang liar yang menutupinya. Luar biasa.

Kita bisa menyewa perahu katinting untuk melihat Minanga Sipakko. Situsnya sendiri sebenarnya biasa saja. Hanya sebuah lubang besar sedalam dua meter, da luas sekitar empat meter. Tepiannya telah dibeton. Dengan pecahan gerabah atau kapak yang masih bisa ditemukan di dalamnya.

Bagian paling menarik adalah perjalanan air menuju situs. Luar biasa. Percikan air bening dari sungai yang beriak-riak. Bebatuan kali di pinggirnya. Bukit-bukit hijau di sana-sini. Benar-benar menakjubkan. Indah. Benar-benar indah.

Situasi serupa juga bisa kita dapatkan, ketika kami mengunjungi Desa Seseppe. Karena, kita pun harus menyusuri sungai Karamah. Kerap kita harus berhenti dan turun dari perahu, agar perahu bisa melewati jeram. Lalu, berjalan di atas bebatuan kalinya. Petualangan yang benar-benar tak terduga dan terkira nikmatnya.

Di Desa Seseppe kita bisa menemukan rumah adat atau cerita-cerita bernuansa antroplogi. Ada memang tradisi berburu kerbau. Tapi, waktunya tidak bisa ditentukan. Tapi dijamin, tempat ini menyediakan alam nan indah, tenang, dan membangun atmosfir baru di beak kita. Lupakan kota besar. Lupakan kemacetan. Lupakan segala urusan menjelimet. Sebaliknya, sorga baru tengah kita reguk.
[syaiful HALIM, gado-gado SANG JURNALIS, 2009]