Perjalanannya sendiri dimulai dari Makassar. Kami menggunakan sebuah mobil kijang. Sekitar 12 jam perjalanan darat yang kami tempuh. Tiba di Soroako sekitar jam 12 malam langsung kami manfaatkan untuk makan malam dan istirahat.
Pagi-pagi sekali, setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Hanya satu jam untuk mencapai dermaga Nuha, Soroako. Di tempat itu, kami menghubungi motoris ponton. Ternyata, perjalanan melintasi danau terluas ini, benar-benar mengasyikan. Indahmu, Danau Matano!
Kami berkumpul di bibir ponton. Bercengkerama.
Badai danau ternyata ancaman serius bagi siapa pun yang melintasi danau ini. Karena itu, para motoris hanya melayani penyeberangan sebelum jam 12 siang. Selepas itu, mereka khawatir diputar-putar oleh ombak dan badai. Syukur, kali ini, kami bisa menyeberang dengan lancar. Dan, aman. Sekitar dua jam mengarungi Dana Matano memberikan kesegaran baru.
Perjalanan pun berlanjut kembali. Kami melewati jalan-jalan sepi di kawasan Beteleme, Sulawesi Tengah. Ternyata, sudah berganti provinsi. Saya jadi ingat peristiwa Poso. Konon, kawasan yang kami lewati ini merupakan basis salah satu kelompok yang bertikai. Kami juga sempat melihat pos penjagaan. Dulu, siapa pun yang melewati kawasan ini harus menjalani pemeriksaan. Sekarang? Ya, tidak ada masalah. Kan, sudah aman. Total hampir 600 kilometer telah kami lewati dalam dua hari. Sekitar tiga jam lagi, kami segera memasuki kota Kolonodale. Kota pelabuhan dan terkenal dengan keindahan Teluk Towarinya.
Di kota kecil itu, kami menyinggahi rumah seorang arkeolog bernama Tanwir. Selain arkeolog, ia pun pengurus Yayasan Sahabat Morowali, yang selama ini giat memberikan advokasi pada warga suku Wana. Sesuai rencana, kami memang akan menginap di rumah panggung yang di atas air. Asli, benar-benar asyik. Selain suasananya bikin betah, kami pun bisa menikmati air segar. Lalu, menyantap ikan bakar! Wisata kuliner terasyik.
Di Kolonodale, kami juga dikenalkan dengan Jabar Lahaji, yang dikenal sebagai presidennya suku Wana! Dulu, ia dan Tanwir mengelola Yayasan Sahabat Morowali. Kini, Tanwir sibuk mengurus KPUD Kolonodale. Dan, tinggal Jabar Lahaji yang mengurus yayasan. Karena itu, ia paham betul situasi suku Wana. Jabar banyak memberikan masukan soal kondisi suku Wana sekarang. Bahkan, ia pun berjanji akan mengantarkan kami ke dalam.
Matahari menawarkan indahnya di saat fajar. Cahayanya langsung menembus kisi-kisi jendela. Suara Jabar Lahaji terdengar dari kejauhan. Sudah pagi. Saatnya bangun.
Sebelum perjalanan dilanjutkan, saya bersama Jabar Lahaji mengunjungi pasar tradisional. Selain membeli tambahan logistik, kami juga membeli kain, rokok, dan berbagai kebutuhan upacara. Kami terpaksa menyiapkan kebutuhan-kebutuhan itu, karena khawatir di dalam sana nanti tidak ada upacara adat. Maka, kami akan memintanya. Minimal upacara momago.
Jam sembilan pagi, matahari sudah terasa panasnya. Kami pun langsung meninggalkan rumah Tanwir, untuk mencapai Cagar Alam Morowali. Kali ini, kami menggunakan speedboat bermesin ganda milik Jabar Lahaji. Kami hanya diminta menyediakan tiga bahan bakar; premium, oli, dan minyak tanah, untuk melanjutkan perjalanan nanti. Paling tidak, perjalanan harus ditempuh selama tiga jam.
Tanpa terasa, kami melewati sebuah tebing. Jabar pun memanjat terlebih dulu. Lalu, memastikan kondisi ceruk. Pada akhirnya, kami semua ikut memanjat.
Di dalam ceruk memang ditemukan banyak tulang-belulang. Namun bisa dipatikan, bukan fosil. Dan, tidak ada kaitannya dengan suku Wana. Karena, warga suku Wana biasa memakamkan jasad anggota keluarganya yang meninggal di dekat rumah. Tidak pernah bergeser ke wilayah lain.
Jadi, ceruk ini sekedar lokasi pemakaman warga setempat. Saya membayangkan, repot juga ya memakamkan jasad ke lokasi seperti itu. Satu-satunya catatan yang saya dapat, ceruk itu merupakan bukti masih adanya hubungan warga setempat dengan kebiasaan leluhurnya. Yakni, ras Austronesia yang hidup di goa-goa atau ceruk pada zaman prasejarah. Bedanya hanya pada penggunaan; dulu ceruk untuk orang hidup dan sekarang untuk orang mati!
Hampir satu jam, speedboat kami bersandar di tebing berlukisan tangan itu. Setelah puas, perjalanan pun dilanjutkan. Makin asyik, tentunya. Terlebih lagi, ketika speedboat memasuki muara. Berjalan perlahan di antara potongan kayu. Jadi ingat trilogy film Indiana Jones! Dasyat!
Tapi, di depan sana, ujian fisik segera tiba.
Persis di sebuah lokasi yang ditutup potongan kayu, speedboat berhenti. Potongan kayu itu sengaja menutup sungai. “Untuk mencegah pembalak liar,” tegas Jabar Lahaji. Karena harus diakui, pohon-pohon di kawasan cagar ala mini memang cukup menarik bagi pembalak. Terutama, pembalak liar yang rakus.
Kali ini, kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Tujuannya adalah Desa Kea-kea, sekitar sepuluh kilometer dari tempat ini. Meski terkesan dekat, tapi jangan dianggap remeh. Selain hanya jalan setapak, kiri-kanan jalan dipenuhi rotan-rotan berduri. Bila tidak hati-hati baju atau kulit akan tergores. Meletihkan, memang.
Jalan setapak ini merupakan gerbang bagi suku Wana, untuk mencapai wilayah lain. Mereka memang dikenal sebagai pejalan kaki yang tangguh. Maklum, mereka hidup di dalam rimba, yang harus membiasakan diri menaiki dan menuruni bukit. Sambil membawa berbagai barang kebutuhannya, tentu saja. Jadi, benar-benar jauh berbeda dengan kami. Karena, kami terlalu banyak istirahat. Sekedar mengatur stamina. Yang penting sampai.
Mendekati sore, kami tiba di Desa Kea-kea. Meski desa, ternyata hanya ada lima rumah saja. Komunitas suku Wana di sebuah lokasi memang sedikit. Setiap desa paling banyak dihuni oleh sepuluh keluarga. Biasanya, mereka memilih pinggiran sungai sebagai lokasi bermukim.
Di dekat desa, kami menemukan lubang-lubang bekas burung Maleo mengerami telur-telurnya.
“Dulu, kami masih bisa melihat mereka,” kata Jabar Lahaji Lain dulu, lain sekarang. Karena, sekarang kami hanya menemukan lubang-lubangnya. Burungnya mana?
Ah, biar. Yang pasti, posisi Desa Kea-kea ada di depan mata. Total sekitar tiga jam, kami merambahi bagian depan Cagar Alam Morowali. Lumayan jauh.
Dari Desa Kea-kea, semula kami berencana akan menumpang perahu katinting untuk mencapai Desa Kayupoli. Karena, jauh-jauh hari Jabar telah mengabarkan rencana kedatangan kami kepada kepala suku, Jima. Tapi, kami terlambat tiba. Sehingga, Jima pun sudah kembali ke desanya. Mereka memang sangat disiplin soal waktu. Sehingga, kami pun memutuskan menginap di salah satu rumah di pinggiran sungai. Rumah panggung yang tidak berpintu. Namun, ada dapur dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi, ini rumah penginapan termewah di tempat ini. Lumayan untuk melepas lelah sambil mengumpulkan tenaga baru.
Perlahan-lahan gelap mulai datang. Sumber penerangan kami hanyalah lampu teplok. Kiri-kanan rumah, gelap. Benar-benar gelap. Suara jangkrik, katak, dan serangga lain, berpadu dalam satu komposisi. Indah. Namun, terdengar lirih. Dan, membawa kami dalam suasana sepi. Saya jadi ingat KuasaMu, Gusti Allah. Karena, di sini saya benar-benar merasa kecil. Sangat kecil!
Pagi-pagi sekali, matahari tidak terlalu terang. Maklum pohon-pohon rindang menutup Desa Kea-kea. Sarapan pagi sebelum mandi, menyiapkan perbekalan untuk di jalan, dan mengemas perlengkapan, mengisi kegiatan pagi.
“Kita harus jalan. Karena, saya dapat kabar, Jima akan ke Kolonodale. Menjual damar,” jelas Jabar. Menjual damar dan rotan adalah sisi lain suku Wana. Dulu, mereka memang dikenal sebagai pelompok perburu-peramu. Lalu berladang. Sekarang, ternyata berdagang!
Sejak malam, Jabar sudah mengingatkan bahwa kemungkinan besar perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Melewati pepohonan rotan, rawa-rawa, sungai kecil, padang ilalang, bahkan mendaki bukit. Paling tidak, kami membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam! Wah! Tapi, mau bilang apa. The show must go on. Masak mau balik lagi ke Kolonodale?
Untuk mengatur stamina seluruh anggota ekspedisi, kami meninggalkan beberapa barang besar dan berat di Desa Kea-kea. Termasuk, sebagian bahan-bahan logistik. Setelah sampai, kami akan meminta warga suku Wana di Kayupoli untuk mengambilnya. Irit tenaga. Maka, perjalanan panjang ini pun berlanjut. Beruntung, tadi malam tidak turun hujan. Sehingga, jalan setapak tidak licin.
Perjalanan ke Desa Kayupoli, sebenarnya bisa lebih ringan dengan menggunakan perahu katinting. Paling tidak membutuhkan waktu sekedar dua jam. Lalu, berjalan sekitar dua jam. Namun, bukan berarti hal itu tidak ada resiko. Menurut Jabar Lahaji, buaya dan ular sanca kerap terlihat di pinggiran sungai. Bila tidak hati-hati, ya bisa mengancam manusia yang melewatinya. Hi!
Yang pasti, perjalanan darat memberikan anugerah momen yang dasyat. Serta, dramatik. Kerap kami berhenti di sungai untuk melepas lelah. Di saat seperti itu, langsung saja kami membuka perlengkapan masak. Niatnya hanya membuat teh dan kopi. Pada akhirnya, nasi dan mie instan pun diolah. Sementara sambil menunggu matang, teman-teman yang lain mandi. Berenang sepuas-puasnya mencari kesegaran. Jadi, seperti rekreasi. Padahal berkali-kali Jabar mengingatkan bahwa perjalanan masih jauh. Dan, bila sering berendam di air malah akan membuka pori-pori kulit. Akhirnya, kebutuhan oksigen meningkat. Jadinya, ya makin cape! Tapi, kami tidak peduli. Yang penting, segar.
Sekitar tujuh jam berjalan, diselilingi istirahat dan istirahat, perjalanan kami terhenti di rumah seorang warga suku Wana bernama Sujuh di Kampung Sulewo. Meski berada di sebuah kampung, di tempat ini hanya ada satu rumah. Ya, rumahnya pak Sujuh. Rumah panggung yang tak berpintu dan berdinding. Jadi seperti gubuk. Tempat tidur dekat dengan dapur. Tidak ada sekat-sekat di tengah rumah.
“Ini rumah khas suku Wana,” jelas Jabar Lahaji.
Beberapa anggota Tim Ekspedisi berbincang-bincang dengan Sujuh. Mereka juga mencatat berbagai cerita tentang Sujuh. Budi tidak menyia-nyiakan momen ini. Kameranya terus bergerak mengikuti dialog-dialog Sujuh dan tamu-tamunya.
Sujuh berusia sekitar 50 tahun. Ia memiliki seorang istri dan tujuh orang anak. Semuanya berkumpul di rumah itu. Dulu, ia bermukim di Desa Kayupoli. Karena sawahnya berada di Kampung Sulewo, maka ia pun memboyong seluruh anggota keluarganya ke tempat ini. Mulutnya tak berhenti menghisap rokok. Benar-benar seperti kereta api!
Di sawah, istri Sujuh tengah memanen padi. Kami pun bergegas menghampirinya seraya merekam momen mahal ini. Istri Sujuh ternyata tidak kaget dengan kehadiran kami. Jangan-jangan, ia pernah jadi artisnya Indiana Jones(?)
Sekitar satu jam berada di rumah Sujuh, kami manfaatkan juga untuk beristirahat. Ternyata, istirahat begitu mahal di tempat ini. Sama seperti air. Jadi selama perjalanan, kami sudah tidak lagi memiliki air mineral. Sebagai gantinya, kami mengisi botol air mineral dengan air sungai. Entah berapa botol air sungai singgah di perut kami. Tapi, tetap asyik. Sungguh. Saya tidak cemas akan ancaman diare atau penyakit perut lainnya.
Perjalanannya sendiri belum berakhir.
Yang jelas, kami tidak mungkin menginap. Karena, malah memperpanjang masa perjalanan. Satu-satunya jalan cepat ke Desa Kayupoli adalah mendaki bukit. Bukit Sulewo, namanya. Paling tidak kami membutuhlkan waktu sekitar empat jam.
“Ini jalan pintas tercepat,” tegas Jabar.
Kami cuma diam. Karena, bingung juga mesti ngomong apa. Akhirnya, kesempakatan pun dibuat; jalan terus. Ya, jalan terus. Mumpung matahari masih terlihat. Semakin gelap akan semakin menyulitkan.
Saya ingat ketika mengikuti pelatihan kedaruratan militer di Sanggabuana, Karawang, bersama prajurit-prajurit Kostrad. Saat itu, pelatihan dimaksudkan sebagai persiapan untuk peliputan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam. Lumayan. Lumayan menderita bagi warga sipil seperti saya. Lumayan ancur bagi orang yang tidak pernah berolahraga seperti saya. Keuntungannya, saya jadi tahu rasanya mendaki, masuk hutan, dan “disiksa” keadaan! Karena itu, saya tetap optimis bisa menyelesaikan perjalanan. Paling tidak, rutenya mirip Sanggabuana. Agak mendaki. Tapi, tidak curam-curam amat. Moga-moga saya mampu.
Tapi, dugaan saya meleset. Ternyata, Bukit Sulewo lebih dasyat dibandingkan Bukit Sanggabuana. Paling jauh, saya hanya bisa mendaki sepuluh langkah. Setelah itu, istirahat. Bawa badan pun sudah tidak sanggup lagi. Benar-benar tak sanggup. Ternyata latihan ala militer di Sanggabuana tidak terlalu banyak membantu. Fisik, masalahnya.
Kebahagiaan benar-benar terasa, ketika kami tiba di atas Bukit Sulewo. Selain lepas dari acara daki-mendaki, kami menjumpai panorama menawan di bawah bukit. This is the real Morowali. Allah Mahaindah dan Mahacantik. Kami berkumpul sambil meregangkan kaki. Air sungai di botol sudah habis. Beruntung, Jabar menyimpan minuman bersoda. Ah, ini pasti minuman termahal di tempat ini. Maka, kami pun harus mengeroyoknya bersama-sama. Satu botol untuk sepuluh mulut. Lupakan higienis. Lupakan rasa jijik. Lupakan juga perjalanan berikutnya. Yang penting, medan terlewati dan rasa haus hilang.
Alhamdulillahi robbil ‘alamin.
Kini, kami harus menuruni bukit. Medannya juga sama sulit. Tapi, praktis lebih ringan dibandingkan mendaki. Maju tak gentar. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Pokoknya, jalan terus. Tapi, seperti biasa, saya dan Asfriyanto tetap berada di barisan belakang.
Walaupun sudah menurun, tetap saja cape. Di sebuah mata air, saya sempat beristirahat lama. Padahal, matahari sudah mulai tenggelam. Mulai gelap. Saya hanya bisa menyebut nama Yang Mahahidup, Rasulallah yang agung, dan para leluhur saya. Saya berharap mendapat kekuatan baru. Karena, saya sudah tidak bisa lagi membayangkan jarak yang akan saya lalui nanti. Pokoknya berikan kekuatan. Terserah berapa pun besarnya. Sehingga, saya bisa melewati perjalanan ini.
Kekuatan itu memang muncul. Saya sempat membuka kaos, ketika kami memasuki padang ilalang. Lalu, berjalan dan berlari kecil. Ternyata perjalanan ini makin ringan. Terima kasih, Gusti Allah. Doaku ternyata Kau dengar juga. Semangat saya kembali bangkit. Langkah kaki pun makin ringan.
Perjalanan menembus padang ilalang, melewati senja dan pekatnya malam, akhirnya terhenti di sebuah sungai. Di depan mata terlihat cahaya lampu. Itulah rumah-rumah panggung milik warga suku Wana di Desa Kayupoli. Artinya, kami telah sampai. Akhirnya.
Tanpa terasa, kami menghabiskan waktu hingga empat hari, untuk mencapai Desa Kayupoli di dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Kawasan seluas 225 ribu hektar. Selain Desa Kayupoli, sekitar 2000 warga suku Wana bermukim di Desa Posangke, Desa Uewaju, dan Desa Kayumarangke. Jarak antardesa sangat jauh. Hitungannya, berjalan satu atau dua hari.
Di dekat rumah seorang warga, kami mendirikan tenda. Sebagian ada yang tidur di dalam tenda, sebagian lagi di rumah panggung. Acara malam itu, makan malam, beramah-tamah dengan warga, dan tidur. Rencana tidur itu sendiri terganggu, karena kami mendengar suara tetabuhan gendang dan gong. Ada upacara adat.
“Upacara momago,” sahut Jabar Lahaji. Kami pun tidak menyia-nyiakan momen ini. Kami tidak peduli rasa penat di badan dan dingin malam di desa ini.
Tentang Suku Wana
Pada 2001, arkeolog asal Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri, melakukan penelitian terhadap suku Wana yang bermukim di dalam kawasan Taman Nasional Morowali. Kesimpulan penelitiannya, suku Wana merupakan kelompok masyarakat perburu-peramu. Artinya, mereka merupakan komunitas adat yang menafkahi kebutuhan hidupnya dari berburu dan mengolah hasil buruannya. Kelompok masyarakat seperti biasanya gemar berpindah-pindah tempat (nomaden).
Suku Wana memiliki kepercayaan yang disebut Khalaik. Mereka percaya adanya Yang Mahapencipta, yang disebut Pue. Pue mengutus Poloisong, dan menurunkannya di lahan tundungtana di kawasan Uewaju – masih bagian dari Cagar Alam Morowali. Pada akhirnya, dari Poloisong berkembang menjadi para leluhur suku Wana.
Kepercayaan Khalaik mengenal kehidupan abadi setelah manusia mengalami kematian. Mereka juga meyakini adanya surga (saruga) sebagai wadah untuk orang-orang yang dekat dengan Pue. Sedangkan cara yang mereka lakukan untuk mendekati Yang Mahahidup bisa disaksikan dalam upacara momago, yang dimaksudkan untuk mengobati warga yang sakit.
Di antara tetabuhan gendang dan gong, seorang dukun (walia) menari di tengahnya. Ia berjinjit dan sedikit melompat. Kedua tangannya seperti mengepak laksana rajawali terbang. Matanya terpejam. Karena, ia memang dalam suasana trance (tidak sadar). Dalam keadaan tidak sadar itu, ia memohon kekuatan kepada Tuhan, untuk diberikan kekuatan menyembuhkan seseorang. Beberapa saat kemudian, ia akan menghampiri pasien yang sakit seraya mencium bagian tubuh yang dianggap sakit. Seakan ia menghisap energi negatif dalam tubuh sang pasien.
Warga suku Wana tidak mengenal areal pemakaman. Bila ada anggota keluarga yang meninggal biasanya dimakamkan di dekat rumah. Tidak ada nisan atau tanda khusus di atasnya. Setelah itu, keluarga yang masih hidup biasanya berpindah ke tempat lain. Mereka percaya, cara ini bisa membuatnya terhindar dari ketidakberuntungan. Selain itu, mereka juga berpantang mengingat atau menyebut nama anggota keluarganya yang telah meninggal.
Sejak dulu, suku Wana senantiasa bermukim di tengah hutan. Kata “wana” sendiri berarti hutan. Karena itu, mereka dikelompokkan sebagai suku terasing. Bahkan, suku primitif. Padahal, awalnya suku Wana berasal dari kawasan pesisir dan telah berinteraksi dengan masyarakat lain.
Dulu, mereka memiliki pemimpin bergelar makole bernama Taomi. Sehingga bisa disimpulkan, dulu mereka bermukim di suatu tempat dan memiliki peradaban tersendiri. Perubahan cara hidup terjadi, ketika sejumlah kesultanan di wilayah Morowali melakukan ekspansi dan memaksa mereka, untuk memeluk agama Islam. Bahkan, mereka juga dikenakan ketentuan untuk menyerahkan upeti.
Mereka menolak kewajiban itu dan memilih menghindari peperangan, dengan berpindah ke tempat lain. Jauh ke dalam hutan.
Ketentraman hidup ternyata tidak berpihak kepada mereka. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, mereka pun dipaksa bermukim di luar hutan. Namun, mereka juga tetap mendapat tekanan, untuk memeluk agam Kristen dan membayar pajak! Lagi-lagi, mereka menolak. Dan, hanya dengan berpindah lokasi bermukim yang bisa dilakukan. Artinya, hutan juga yang menjadi sasarannya.
Tekanan politik, entah untuk memeluk agama tertentu dan membayar pajak, juga terjadi setelah Indonesia merdeka. Sehingga, mereka pun makin antipati terhadap dunia luar. Jalan keluar yang dipilih, tentu saja, mereka harus menembus belantara yang makin dalam. Di sana mereka bermukim dan memenuhi kebutuhannya sebagai kelompok masyarakat perburu-peramu. Sejak itu, masyarakat di luar mereka menyebutnya sebagai “to wana” atau “orang hutan”.
Pilihan itu dilakukan dengan satu tekad; tidak mengakui adanya pemerintah (tare pamarentah), tidak menerima agama lain di luar khalaik (tare agama), dan tidak mengenal adanya kampung (tare kampung). Artinya, mereka hidup dengan caranya sendiri, dengan keyakinannya sendiri, dan dengan nomaden atau berpindah-pindah tempat. Pengaturan kampung atau adat sepenuhnya diserahkan kepada kepala suku (basoli).
Kaum lelaki dan kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhannya. Prinsif kesetaraan gender. Namun suku Wana tidak pernah mengangkat perempuan sebagai kepala adat. Kaum lelaki tetap mendapat tempat pertama di pucuk pimpinan.
Upacara Mopagiu
Hari pertama di Desa Kayupoli, atau hari kelima dari seluruh perjalanan, kami mendapati drama perceraian yang disebut upacara mopagiu. Sidang perceraian, seperti juga sidang masalah-masalah lain, diselenggarakan di rumah seorang warga dipimpin oleh kepala suku (basoli). Karena, memang tidak ada bangunan khusus untuk acara adat. Jumlah rumah panggung di Desa Kayupoli adalah delapan rumah saja. Relatif sedikit dibandingkan dengan luasnya wilayah.
Sidang perceraian kali ini menggelar sengketa rumahtangga Tolodo dan Neti. Neti menggungat cerai, karena ia sering dikasari oleh suaminya. Semacam kekerasan dalam rumah tangga. Ia tidak senang. Maka, berharap bisa berpisah dari suaminya.
Jima, sang kepala suku, mengumpulkan seluruh warga. Ia menghadirkan kedua pasangan dan saksi-saksi. Mereka semua diminta berbicara dan menyampaikan kesaksian dan pendapatnya. Semua warga menyaksikan dengan penuh perhatian. Beruntung, kami pun bisa merekamnya untuk dimasukkan ke dalam struktur cerita. Momen ini di luar treatment script saya. Beruntung sekali.
Di akhir sidang, Jima memutuskan, untuk mengabulkan permohonan gugatan cerai Neti. Namun, Neti harus membayar denda kepada mantan suaminya, Tolodo, berupa kain dan sedikit uang. Mereka bersalaman. Tolodo menyerahkan uang logam. Mereka pun resmi bercerai. Sidang pun berakhir dengan damai, tanpa ada sakit hati atau dendam. Semuanya menerima hasil sidang dengan suka-cita.
Di siang hari, nyaris tidak ada kegiatan menarik di lingkungan desa. Kaum lelaki telah pergi ke ladang atau kebun. Kaum perempuan lebih banyak tinggal di rumah. Mengurus rumahtangganya. Kesimpula kami, mereka bukan lagi kelompok masyarakat perburu-peramu. Tapi, mereka benar-benar telah menjadi kelompok masyarakat peladang.
Kami juga mendapati teknik melindungi lumbung dari hama tikus. Lumbung itu mirip rumah panggung. Namun, bentuknya lebih kecil. Di ke empat tiangnya dipasang kayu lebar mirip tetampah sebagi penghalang. Sehingga, tikus tidak bisa mencapai bagian lumbung. Tapi, tertahan lempengan kayu. Sebuah prinsif kearifan lokal. Untuk mengamankan lumbung dan padinya, mereka tidak perlu memburu tikus. Mereka tidak perlu membunuhnya. Karena, hal itu akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Tapi, mereka menangkalnya dengan cara jenius. Buat penghalang yang tidak membunuh hama tersebut.
Contoh genius local di lingkungan suku Wana, juga terlihat dalam pengolahan tebu menjadi gula. Dua bilah bambu ditumpuk di sebuah meja. Tiba dimasukkan ke tengahnya dan diperas. Air tebu mengucur ke bawah dan ditampung. Maka, mereka pun telah mendapatkan gula segar. Kami sempat mencobanya. Yang pasti, manis.
Situasi lain yang terjadi pada suku Wana adalah mereka juga mulai berdagang. Mereka manfaatkan rotan dan damar di dalam hutan, untuk dijual ke wilayah lain. Kini, hampir sebagaian besar warga Desa Kayupoli berprofesi sebagai pedagang. Hanya sebagian kecil yang memilih berladang. Pertimbangannya, tentu saja, kembali ke masalah pendapatan. Dengan berdagang rotan dan damar, dalam sebulan mereka bisa menjual sekitar 700 kilogram damar. Di Pasar Kolonodale, damar itu dihargai Rp 3.500,- per kilogramnya. Lumayan besar, kan?
Seiring dengan itu, pola hidup mereka pun jadi lebih konsumtif. Kini, mereka memiliki berbagai barang elektronik, seperti radio atau tape. Kecuali televisi. Padahal, tidak ada sumber listrik di desanya. Semuanya, sekedar untuk gaya-gayaan. Kadang mereka memakai dua arloji di tangan kiri dan tangan kanannya. Tapi, jangan tanya, jam berapa sekarang?
Upacara Momago
Selain upacara mopagiu, di hari keenam, kami juga merekam kembali pengobatan tradisional ala suku Wana berbentuk upacara adat. Upacara momago. Kali ini, para dukun (walia) di lingkungan Desa Kayupoli, turun ke arena. Mereka menari – berjinjit dan mengepakkan tangannya – dan mencium pasien yang sakit.
Upacaranya cukup lama dan menarik perhatian warga. Sebelum upacara dimulai, mereka menikmati minuman keras lokal “Cap Tikus” dan tuak dari ketan hitam “pongas”. Saya termasuk orang yang ditodong untuk mencicipinya. Untuk penghormatan. Lumayan on!
Kesan yang didapat dari upacara momago adalah adanya hubungan antara Yang Mahapencipta dan suku Wana. Mereka percaya adanya Tuhan dan memegang teguh keyakinan khalaiknya. Namun, mereka akan mengucilkan seorang warga bila diketahui ia beragama di luar khalaik. Fanatisme kesukuan. Lucunya, diam-diam, banyaknya juga warga yang telah memeluk agama di luar khalaik. Misalnya saja, Mario memeluk agama Islam. Beberapa warga lain memeluk agama Kristen. Pengaruh kaum misionaris dan pendatang. Ini juga catatan soal pergeseran acuan hidup di lingkungan suku Wana.
Tiga upacara yang kami dapat selama perjalanan, benar-benar menjadi obat kekesalan. Karena, dengan perjalanan nan dasyat dan melelahkan, ternyata di lokasi yang dituju, kesannya biasa saja. Satu-satunya momen bagus yang saya dapat, ya upacara adat. Selebihnya, biasa saja. Artinya, tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain yang lokasi bermukimnya tidak terlalu terpencil. Antiklimaks, memang!
Malamnya, di dekat tenda dan nyala api unggun, kami melakukan diskusi. Kesimpulan terhebat yang didapat adalah adanya pergeseran budaya memang tidak bisa dibendung lagi. Menurut Jabar, hal itu sudah lama terjadi. Pergeseran terbesar adalah pola konsumtif, yang makin hari makin membesar. Kini, mereka seperti masyarakat modern di kota-kota, yang terkenal konsumtif. Sehingga, mereka juga membutuhkan sumber-sumber nafkah-nafkah, untuk memenuhi kebutuhannya. Sedikitnya, pakaian baru dan batu batterre untuk radio atau tapenya.
Kedatangan turis atau peneliti merupakan salah satu sumber nafkah itu. Mereka menyediakan jasa porter dan menyewakan perahu katintingnya. Untuk jasa porter, mereka mematok harga 50 ribu rupiah per hari. Sewa perahu bisa mencapai 300 ribu rupiah per perjalanan. Jumlahnya relatif kecil bagi kaum pendatang. Tapi, makna pergeserannya begitu terasa. Kesederhanaan dan hidup tanpa pamrih yang biasanya dengan masyarakat adat, perlahan-lahan tergusur dan berganti menjadi hitung-hitungan rupiah. Sayang, memang.
Satu-satunya prinsif hidup yang menarik perhatian saya adalah alasan untuk tare kampung, tare agama, dan tare pamarentah. Tiba-tiba saya juga membenarkan pilihan hidup itu; hidup tanpa kampung sangat masuk di akal bila kampung tidak lagi menyediakan kerukunan dan kenyamanan bagi warganya, hidup tanpa agama juga layak dipertimbangkan bila agama dijadikan komoditi atau alat untuk membodohi rakyat, serta hidup tanpa pemerintah pun sangat tepat bila pemerintah dikelola oleh pemimpin yang tidak bertanggungjawab dan tidak mempedulikan kesejahteraan rakyatnya.
Kesannya, politis sekali, ya. Ini juga, bisa jadi, imbas dari sejumlah pergeseran-pergesaran tadi. Makin cerdas dan makin pintar.
Dengan perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan, kami hanya berada tiga hari di lokasi. Itu pun sudah maksimal. Kesannya, lebih seru perjalanannya dibandingkan situasi di lokasi. Itulah kenyataannya.
Di hari terakhir, kami pun berkumpul bersama warga. Berpamitan. Lalu, meninggalkan berbagai cerita tentang Desa Kayupoli. Seperti biasa, perjalanan harus diawali dengan jalan kaki. Menyusuri lereng-lereng bukit, yang sudah pasti, bikin lelah. Terlebih lagi, matahari mulai naik ke ubun-ubun. Karena ini perjalanan pulang, langkah kami kali ini memang jauh lebih ringan. Sekitar dua jam berjalan, kami pun tiba di pinggir danau. Perjalanan berikutnya, menumpang perahu katinting melewati danau besar dan sungai-sungai kecil.
Ternyata, ini menjadi bagian terhebat dari seluruh perjalanan. Dengan perahu yang selebar badan, kami benar-benar mendapatkan suasana mengesankan. Inilah suasana Morowali seperti yang kami lihat dari atas Bukit Sulewo. Indah dan mengesankan. Kok, klimaksnya di tempat ini. Ternyata, Sutradara Terhebat telah mengaturnya untuk kami. Sehingga, kekesalan yang sempat menyinggahi pikiran kami, benar-benar harus kami tarik lagi. Karena, inilah klimaks perjalanan itu! [syaiful HALIM, gado-gado SANG JURNALIS, 2009]