Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kunyuk” berarti monyet kecil. Tapi, seorang teman menggunakan nama hewan itu sebagai nick name di alam maya. Bukan tanpa disadari dan tidak disengaja, tentunya. Karena, pilihan itu merupakan protes kecil atau aktualisasi keliaran pikiran, imajinasi, dan kreativitas, yang laksana si kunyuk. Dan, bukti “keliaran” itu menjelmakan karya yang tidak gampangan dan unik. Bahkan, nilainya jauh di atas hasil kerjanya yang fardhu ‘ain.
Si Kunyuk bekerja sebagai perancang grafis di sebuah laman informasi. Jadi, bila dibandingkan wajah lama tempatnya bekerja dengan blog pribadinya, kok malah lebih mewah blog si Kunyuk?!
Latar belakang pendidikannya Ilmu Jurnalistik. Mestinya, ia jadi jurnalis. Tapi, ia pernah menjadi pekerja pers setelah menyelesaikan kuliahnya di Kampus Tercinta IISIP. Setelah itu, ia berpetualang dari satu biro iklan ke biro iklan lain. Sehingga, ia lebih terampil dengan teknik merancang perwajahan laman-laman di internet ketimbang menulis berita. Hingga, ia bisa bergabung di lembaga pers dunia maya. Meski ia bekerja seperti juga para jurnalis di lembaga pers dunia maya lain, jangan bertanya soal kartu pers. Karena, tempatnya bekerja lebih suka memberikan kartu identitas kewartawanan itu kepada staf sekretaris redaksi atau produksi, yang sebenarnya tidak layak disebut jurnalis.
Tapi, dasar si Kunyuk yang tetap saja kunyuk. Ia tidak peduli soal identitas, aktualisasi diri atau profesi, bahkan apresiasi. Ia tetap serius bekerja seraya mempercantik dan memperkaya blog-blog rancangannya – diam-diam ia memiliki banyak blog dengan keunikannya masing-masing. “Percuma punya kartu pers juga, naik bus kagak dikorting kayak mahasiswa!” ledeknya.
Apa kabar dengan kreativitasnya?
Si Kunyuk memiliki filosofi berkereativitas, berkarya, dan berkesenian, yang teramat sederhana. Disebut begitu, karena ia tidak memikirkan filosofi apa-apa yang dikerjakannya. Ia tidak mempermasalahkan imajinasi njelimet di benak di balik karya-karyanya. Ketika memiliki ide, ia mengalirkannya menjadi nyata. Itu saja. Setelah karya itu menjelma, ia tidak memikirkan filosofinya atau mempedulikan orang-orang yang membahasnya dari sisi filosofi.
“Bullshit dengan filosofi!” kata su Kunyuk.
Pola kerja dan rancangan kerjanya memang tidak serumit desain-desain laman internetnya. Di tangannya, berkarya tak ubahnya menyingkronkan iradat (keinginan) dan mahabbah (cinta) para sufi – kok, malah saya ikut berteori bergaya tasawuf, ampun, ampun, ampun. Maksudnya, ketika keinginan itu ada dan cinta sudah tertanam lama di sanubari, maka karya akan dijelma dengan kesungguhan hati dan keikhlasan.
Jadi berbeda dengan pola pikir kebanyakan orang – terutama teman-teman yang sering berkutat di organisasi – yang terbiasa berpikir dan bekerja laksana menyusun proposal. Di awal pekerjaan lebih sibuk memainkan filosofi ini dan filosofi itu. Lantas, mengubahkanmenjadi latar belakang ini dan latar belakang itu. Idealnya, setelah itu ia bisa merancang desain kerja yang makin terkonsep, fokus, dan mengarah pada target yang jelas. Kenyataannya, kok banyak melesetnya.
Tidak sedikit, menarik di tingkat filosofi tapi berantakan di tingkat hasil. Karena, setelah sibuk berpikir tentang filosofi, ia justru lupa – atau malah bingung sendiri – untuk berpikir tentang upaya menjelmakan ide-ide. Bila rancangan itu saja sudah membingungkan, entah dengan langkah-langkah berikutnya. Karena itu, jangan tanyakan hubungan filosofi dengan hasil. Sangat berbanding terbalik.
Lucunya, masih banyak para kreator – minus si Kunyuk – yang membiasakan diri bekerja dengan pola itu. Hampir di semua bidang pekerjaan. Termasuk, jurnalistik yang idealnya sangat mendewakan riset dan perencanaan. Tapi, ada kalangan yang justru menuhankan filosofi. Setelah itu, wassalammu ‘alakum…
Barangkali, membiasakan diri bekerja dengan riset, jadi mubajir. Barangkali, membiasakan diri bekerja dengan perencanaan, jadi sia-sia. Barangkali, bekerja dengan pola yang betul pun, juga percuma. Barangkali, bekerja dengan pakem-pakem yang serius, ternyata nggak mampu, hehehe…[]
Si Kunyuk bekerja sebagai perancang grafis di sebuah laman informasi. Jadi, bila dibandingkan wajah lama tempatnya bekerja dengan blog pribadinya, kok malah lebih mewah blog si Kunyuk?!
Latar belakang pendidikannya Ilmu Jurnalistik. Mestinya, ia jadi jurnalis. Tapi, ia pernah menjadi pekerja pers setelah menyelesaikan kuliahnya di Kampus Tercinta IISIP. Setelah itu, ia berpetualang dari satu biro iklan ke biro iklan lain. Sehingga, ia lebih terampil dengan teknik merancang perwajahan laman-laman di internet ketimbang menulis berita. Hingga, ia bisa bergabung di lembaga pers dunia maya. Meski ia bekerja seperti juga para jurnalis di lembaga pers dunia maya lain, jangan bertanya soal kartu pers. Karena, tempatnya bekerja lebih suka memberikan kartu identitas kewartawanan itu kepada staf sekretaris redaksi atau produksi, yang sebenarnya tidak layak disebut jurnalis.
Tapi, dasar si Kunyuk yang tetap saja kunyuk. Ia tidak peduli soal identitas, aktualisasi diri atau profesi, bahkan apresiasi. Ia tetap serius bekerja seraya mempercantik dan memperkaya blog-blog rancangannya – diam-diam ia memiliki banyak blog dengan keunikannya masing-masing. “Percuma punya kartu pers juga, naik bus kagak dikorting kayak mahasiswa!” ledeknya.
Apa kabar dengan kreativitasnya?
Si Kunyuk memiliki filosofi berkereativitas, berkarya, dan berkesenian, yang teramat sederhana. Disebut begitu, karena ia tidak memikirkan filosofi apa-apa yang dikerjakannya. Ia tidak mempermasalahkan imajinasi njelimet di benak di balik karya-karyanya. Ketika memiliki ide, ia mengalirkannya menjadi nyata. Itu saja. Setelah karya itu menjelma, ia tidak memikirkan filosofinya atau mempedulikan orang-orang yang membahasnya dari sisi filosofi.
“Bullshit dengan filosofi!” kata su Kunyuk.
Pola kerja dan rancangan kerjanya memang tidak serumit desain-desain laman internetnya. Di tangannya, berkarya tak ubahnya menyingkronkan iradat (keinginan) dan mahabbah (cinta) para sufi – kok, malah saya ikut berteori bergaya tasawuf, ampun, ampun, ampun. Maksudnya, ketika keinginan itu ada dan cinta sudah tertanam lama di sanubari, maka karya akan dijelma dengan kesungguhan hati dan keikhlasan.
Jadi berbeda dengan pola pikir kebanyakan orang – terutama teman-teman yang sering berkutat di organisasi – yang terbiasa berpikir dan bekerja laksana menyusun proposal. Di awal pekerjaan lebih sibuk memainkan filosofi ini dan filosofi itu. Lantas, mengubahkanmenjadi latar belakang ini dan latar belakang itu. Idealnya, setelah itu ia bisa merancang desain kerja yang makin terkonsep, fokus, dan mengarah pada target yang jelas. Kenyataannya, kok banyak melesetnya.
Tidak sedikit, menarik di tingkat filosofi tapi berantakan di tingkat hasil. Karena, setelah sibuk berpikir tentang filosofi, ia justru lupa – atau malah bingung sendiri – untuk berpikir tentang upaya menjelmakan ide-ide. Bila rancangan itu saja sudah membingungkan, entah dengan langkah-langkah berikutnya. Karena itu, jangan tanyakan hubungan filosofi dengan hasil. Sangat berbanding terbalik.
Lucunya, masih banyak para kreator – minus si Kunyuk – yang membiasakan diri bekerja dengan pola itu. Hampir di semua bidang pekerjaan. Termasuk, jurnalistik yang idealnya sangat mendewakan riset dan perencanaan. Tapi, ada kalangan yang justru menuhankan filosofi. Setelah itu, wassalammu ‘alakum…
Barangkali, membiasakan diri bekerja dengan riset, jadi mubajir. Barangkali, membiasakan diri bekerja dengan perencanaan, jadi sia-sia. Barangkali, bekerja dengan pola yang betul pun, juga percuma. Barangkali, bekerja dengan pakem-pakem yang serius, ternyata nggak mampu, hehehe…[]