Film Opening atau Opening Bumper atau Identity Tune (ID Tune) secara harafiah berati identitas awal sebuah program. Fungsi ID Tune itu, memperkenalkan ragam atau isi yang akan ditampilkan sebuah program atau film. Ia akan mengajak atau memancing penonton menduga-duga genre atau jenis program yang disajikan. Karena itu, ID Tune juga berkaitan erat dengan selera dan ekspetasi penonton terhadap tontonan. Pada akhirnya, fungsinya bukan hanya memperkenalkan, tapi juga menjadi frame atau pakem sebuah program.
Secara teknis, ID Tune (di stasiun televisi lebih lazim disebut bumper) berfungsi sebagai penanda masuk atau keluarnya suatu tayangan. Sehingga penonton bisa tahu, program itu akan dimulai atau dilanjutkan, atau akan disudahi menuju commercial break (penayangan iklan). Bagi tayangan-tayangan di televisi, opening bumper (untuk pembuka program) dan bumper in/out (pembuka/penutup perogram) menjadi wajib.
Melihat fungsinya yang secara content dan teknis begitu vital, maka sebuah bumper dirancang tidak secara serampangan. Pekerjaan itu biasanya melibatkan banyak personal; produser eksekutif, produser, penata grafis, dan penata musik. Mereka terlibat dalam diskusi panjang untuk menghasilkan sebuah “produk” berdurasi 30 detik itu, dengan harapan, bisa menampilan identitas program yang “kuat” bagi sebuah program.
Di awal penggarapannya, penata grafis dan penata musik biasanya akan menjadi pendengar setia produser eksekutif dan produser. Mereka harus memahami frame dan pesan utama program dan kemasan yang ingin diperlihatkan. Diskusi panjang mengenai kedua hal itu yang akan mengarahkannya untuk merancang kemasan bumper; entah memaksimalkan clip (potongan gambar), penciptaan gambar-gambar animasi, penulisan magic word atau positioning, atau menggabungkan keseluruh elemen itu. Khusus untuk mendapatkan positioning, mereka menyerahkannya kepada produser eksekutif atau produser. Karena, biasanya memang tidak ada tenaga khusus semacam copywriter, yang khusus membantu masalah itu.
Dua tahun yang lalu, saya termasuk orang yang terlibat dalam pembuatan opening bumper program POTRET. Sebenarnya, saya hanya ditugaskan untuk meminta penata grafis membuat bumper baru – sesuai kapasitas yang asisten produser. Pada akhirnya, koordinator penata grafisnya (M. Ridwan) justru mengajak saya berdiskusi panjang. Saya pun terpaksa menemaninya berdikskusi, karena memang ia merasa tidak tahu, harus berdiskusi dengan siapa?
Bumper yang dulu, dengan clip utama upacara tabuik di Sumatra Barat, dianggap sudah tidak up-date. Padahal, bumper versi tabuik itu tergolong kuat secara visual dan musik. Sehingga, pesan tentang isi dan bingkai programnya begitu jelas.
Sebagai bumper pengganti, Ridwan meminta saran tentang gambar-gambar terbaik yang pernah kami buat. Selebihnya, ia sendiri yang memilih dan merangkainya dalam sebuah kesatuan. Tidak cukup hanya di situ, ia juga merasa perlu menampilkan positioning dalam bumper barunya nanti. Dalam hitungan detik, saya langsung menuliskan empat kata sakti “BENTANG RAGAM BUDAYA INDONESIA”.
Kenapa harus kalimat itu yang muncul? Karena, saya berpendapat, program itu merupakan bentangan beragam budaya di tanah air. Sejak muncul dengan bumper versi tabuik, POTRET memang hanya menampilkan cerita budaya. Lebih khusus lagi, budaya masyarakat tradisional dan terpencil di berbagai daerah. Frame inilah yang dipegang kuat dan membentang selama beberapa tahun. Karena itu, hanya kesimpulan bahwa program itu membentangkan keaneka-ragaman budaya di tanah air, yang muncul seketika. Namun, agar menjadi bahasa iklan yang ringkas dan sederhana, maka kata-kata dasar tiap kata itulah yang ditampilkan.
Ridwan tidak mempedulikan doal pemilihan kalimat yang saya tulis di atas selembar kertas itu. Padahal, asal tahu saja, kalimat itu dibuat secara spontan dan tanpa pemikiran yang lama. Entah karena ia percaya dengan penguasaan saya dalam mengolah positioning (sebelumnya, ia juga tahu bahwa saya pernah bekerja sebagai copywriter). Atau, karena ia merasa cocok dan tidak perlu berdebat panjang. Akhirnya, ia menugaskan Budi Utomo untuk mengeksekusi rancangan bumper baru itu. Sedangkan, Aris Widagdo mendapat jatah menggarap musik latarnya.
Hasilnya, bumper versi peti harta karun. Bumper itu menampilkan visual utama peti harta karun terbuka dan menampilkan sejumlah clips. Salah satu gambar yang ditampilkan (penyelam alam Teluk Bone) merupakan rekaman saya sendiri saat menggarap “Penyelam-Penyelam Teluk Bone”. Di antara clips, juga ditampilkan dua garis pembatas bertuliskan positioning “BENTANG RAGAM BUDAYA INDONESIA”. Kecil sekali point yang dipilih, sehingga tidak terlalu jelas di layar. Saat itu, kami memang hanya menjadikannya pelengkap.
Meski siap dipresentasikan, saya dan Ridwan merasa tidak puas dengan hasil akhirnya. Karena itu, kami jadi berpikir tentang bumper alternatif. Kali ini, saya berdiskusi makin intensif dengan Ridwan menyangkut content.
“Lukisan tangan adalah kreasi seni pertama manusia dan perjalanan kebudayaan manusia. Melalui semprotan yang membentuk lukisan tangan di dinding goa, maka hadirkan gambar-gambar perjalanan budaya lain,” kata saya.
Ridwan berpikir keras. Kali, ia justru merasa tertantang untuk mengolah ide kedua bumper itu. Lalu, saya ikut membantu memilihkan potongan gambar untuk ditampilkan dalam bumper itu. Dan, Budi Utomo tetap menjadi eksekutor. Hasilnya, lahirlah bumper versi telapak tangan, yang tidak jauh berbeda dengan bayangan saya. Bahkan, Budi menambahkan bola dunia yang berputar berlatar belakang lukisan tangan. Sedangkan, tune latar seperti bumper versi peti harta karun.
Singkatnya, kedua bumper itu pun saya serahkan kepada Kepala Progsus. Karena, ia yang berwenang mempresentasikannya ke Pemimpin Redaksi. Dan, saya merasa, tugas saya sudah selesai dan harus fokus ke rencana dan penggarapan produksi. Hasil akhir, mereka sepakat memilih bumper versi telapak tangan.
Seorang teman yang pintar membaca semiotik lukisan tangan di dinding goa sempat mengingatkan saya (ketika bumper itu disetujui dan ditayangkan), ”Hati-hati mas, saya merasa ada gambaran mas terlalu menonjol. Ibaratnya, seorang Syaiful Halim yang ingin menjelajah dunia.”
Saya cuma tersenyum mendengar prediksinya. Karena, saya hanya berpikir melaksanakan permintaan tugas. Plus-minus hasilnya, toh mereka juga yang memutuskan. Tapi, dugaannya, terrnyata tidak meleset.
Setelah empat kali penayangannya, saya mendengar kasuk-kusuk yang berkeinginan menggusur bumper itu. Saya tidak berani suudzon, karena saya anggap tidak produktif dan mengganggu perjalanan kreatif berikutnya. Saat itu, saya hanya membatin soal dugaan-dugaan siapa yang bermain dan berambisi melakukan “kekotoran kreatif" itu. Saya hanya membayangkannya, seperti Pramudya menggusur karya-karya Renda dan kawan-kawan di zaman Orde Lama. Entah tragis atau menyesakkan. Yang pasti, saat itu, saya tidak terlalu peduli dan terus saja berpikir positif.
Walhasil, bumper versi telapak tangan diganti bumper versi harta karun. Jawaban itu, memang menjadi obat mujarab untuk menyejukkan pikiran dan hati untuk tidak emosi. Karena, bila Tuhan tidak berkehendak, maka sebuah penzhaliman atau penistaan tidak akan terjadi. Yang Mahaadil berkehendak, karena Ia tengah mencintai hambaNya dan tengah membimbingnya ke jalan lurusNya. Amien.
Namun, bila menyimak kembali batasan atau definsi opening bumper atau apalah namanya, maka perlu dipikirkan pula latar belakang, frame program, dan target yang dibidik. Maksudnya, agar bumper itu tidak sekedar pembuka dan penutup program atau menuju jeda iklan. Tapi, jadikan ia ikatan kuat dengan isi yang ditampilkan. Plus, konstan hingga program itu ditutup atau berganti rupa lagi. Barangkali pembelajaran seperti ini teramat mahal, sehingga enggan dilirik dan dicermati. Tapi, inilah bukti kecerdasan krator-kreator yang bekerja untuk stasiun televisi swasta nasional.
Ketika Wawan “Si Kunyuk” asyik memilih-milih lagu di blog Ilalang Senja-nya, saya memintanya memutarkan lagu “Hua ha ha ha ha” yang ditulis Iwan Fals dalam album Dalbo.
# Hua ha ha ha ha ha
# Hua ha ha ha ha ha
# Bukalah mulut kamu
# Lantangkan saja suaramu
Secara teknis, ID Tune (di stasiun televisi lebih lazim disebut bumper) berfungsi sebagai penanda masuk atau keluarnya suatu tayangan. Sehingga penonton bisa tahu, program itu akan dimulai atau dilanjutkan, atau akan disudahi menuju commercial break (penayangan iklan). Bagi tayangan-tayangan di televisi, opening bumper (untuk pembuka program) dan bumper in/out (pembuka/penutup perogram) menjadi wajib.
Melihat fungsinya yang secara content dan teknis begitu vital, maka sebuah bumper dirancang tidak secara serampangan. Pekerjaan itu biasanya melibatkan banyak personal; produser eksekutif, produser, penata grafis, dan penata musik. Mereka terlibat dalam diskusi panjang untuk menghasilkan sebuah “produk” berdurasi 30 detik itu, dengan harapan, bisa menampilan identitas program yang “kuat” bagi sebuah program.
Di awal penggarapannya, penata grafis dan penata musik biasanya akan menjadi pendengar setia produser eksekutif dan produser. Mereka harus memahami frame dan pesan utama program dan kemasan yang ingin diperlihatkan. Diskusi panjang mengenai kedua hal itu yang akan mengarahkannya untuk merancang kemasan bumper; entah memaksimalkan clip (potongan gambar), penciptaan gambar-gambar animasi, penulisan magic word atau positioning, atau menggabungkan keseluruh elemen itu. Khusus untuk mendapatkan positioning, mereka menyerahkannya kepada produser eksekutif atau produser. Karena, biasanya memang tidak ada tenaga khusus semacam copywriter, yang khusus membantu masalah itu.
Dua tahun yang lalu, saya termasuk orang yang terlibat dalam pembuatan opening bumper program POTRET. Sebenarnya, saya hanya ditugaskan untuk meminta penata grafis membuat bumper baru – sesuai kapasitas yang asisten produser. Pada akhirnya, koordinator penata grafisnya (M. Ridwan) justru mengajak saya berdiskusi panjang. Saya pun terpaksa menemaninya berdikskusi, karena memang ia merasa tidak tahu, harus berdiskusi dengan siapa?
Bumper yang dulu, dengan clip utama upacara tabuik di Sumatra Barat, dianggap sudah tidak up-date. Padahal, bumper versi tabuik itu tergolong kuat secara visual dan musik. Sehingga, pesan tentang isi dan bingkai programnya begitu jelas.
Sebagai bumper pengganti, Ridwan meminta saran tentang gambar-gambar terbaik yang pernah kami buat. Selebihnya, ia sendiri yang memilih dan merangkainya dalam sebuah kesatuan. Tidak cukup hanya di situ, ia juga merasa perlu menampilkan positioning dalam bumper barunya nanti. Dalam hitungan detik, saya langsung menuliskan empat kata sakti “BENTANG RAGAM BUDAYA INDONESIA”.
Kenapa harus kalimat itu yang muncul? Karena, saya berpendapat, program itu merupakan bentangan beragam budaya di tanah air. Sejak muncul dengan bumper versi tabuik, POTRET memang hanya menampilkan cerita budaya. Lebih khusus lagi, budaya masyarakat tradisional dan terpencil di berbagai daerah. Frame inilah yang dipegang kuat dan membentang selama beberapa tahun. Karena itu, hanya kesimpulan bahwa program itu membentangkan keaneka-ragaman budaya di tanah air, yang muncul seketika. Namun, agar menjadi bahasa iklan yang ringkas dan sederhana, maka kata-kata dasar tiap kata itulah yang ditampilkan.
Ridwan tidak mempedulikan doal pemilihan kalimat yang saya tulis di atas selembar kertas itu. Padahal, asal tahu saja, kalimat itu dibuat secara spontan dan tanpa pemikiran yang lama. Entah karena ia percaya dengan penguasaan saya dalam mengolah positioning (sebelumnya, ia juga tahu bahwa saya pernah bekerja sebagai copywriter). Atau, karena ia merasa cocok dan tidak perlu berdebat panjang. Akhirnya, ia menugaskan Budi Utomo untuk mengeksekusi rancangan bumper baru itu. Sedangkan, Aris Widagdo mendapat jatah menggarap musik latarnya.
Hasilnya, bumper versi peti harta karun. Bumper itu menampilkan visual utama peti harta karun terbuka dan menampilkan sejumlah clips. Salah satu gambar yang ditampilkan (penyelam alam Teluk Bone) merupakan rekaman saya sendiri saat menggarap “Penyelam-Penyelam Teluk Bone”. Di antara clips, juga ditampilkan dua garis pembatas bertuliskan positioning “BENTANG RAGAM BUDAYA INDONESIA”. Kecil sekali point yang dipilih, sehingga tidak terlalu jelas di layar. Saat itu, kami memang hanya menjadikannya pelengkap.
Meski siap dipresentasikan, saya dan Ridwan merasa tidak puas dengan hasil akhirnya. Karena itu, kami jadi berpikir tentang bumper alternatif. Kali ini, saya berdiskusi makin intensif dengan Ridwan menyangkut content.
“Lukisan tangan adalah kreasi seni pertama manusia dan perjalanan kebudayaan manusia. Melalui semprotan yang membentuk lukisan tangan di dinding goa, maka hadirkan gambar-gambar perjalanan budaya lain,” kata saya.
Ridwan berpikir keras. Kali, ia justru merasa tertantang untuk mengolah ide kedua bumper itu. Lalu, saya ikut membantu memilihkan potongan gambar untuk ditampilkan dalam bumper itu. Dan, Budi Utomo tetap menjadi eksekutor. Hasilnya, lahirlah bumper versi telapak tangan, yang tidak jauh berbeda dengan bayangan saya. Bahkan, Budi menambahkan bola dunia yang berputar berlatar belakang lukisan tangan. Sedangkan, tune latar seperti bumper versi peti harta karun.
Singkatnya, kedua bumper itu pun saya serahkan kepada Kepala Progsus. Karena, ia yang berwenang mempresentasikannya ke Pemimpin Redaksi. Dan, saya merasa, tugas saya sudah selesai dan harus fokus ke rencana dan penggarapan produksi. Hasil akhir, mereka sepakat memilih bumper versi telapak tangan.
Seorang teman yang pintar membaca semiotik lukisan tangan di dinding goa sempat mengingatkan saya (ketika bumper itu disetujui dan ditayangkan), ”Hati-hati mas, saya merasa ada gambaran mas terlalu menonjol. Ibaratnya, seorang Syaiful Halim yang ingin menjelajah dunia.”
Saya cuma tersenyum mendengar prediksinya. Karena, saya hanya berpikir melaksanakan permintaan tugas. Plus-minus hasilnya, toh mereka juga yang memutuskan. Tapi, dugaannya, terrnyata tidak meleset.
Setelah empat kali penayangannya, saya mendengar kasuk-kusuk yang berkeinginan menggusur bumper itu. Saya tidak berani suudzon, karena saya anggap tidak produktif dan mengganggu perjalanan kreatif berikutnya. Saat itu, saya hanya membatin soal dugaan-dugaan siapa yang bermain dan berambisi melakukan “kekotoran kreatif" itu. Saya hanya membayangkannya, seperti Pramudya menggusur karya-karya Renda dan kawan-kawan di zaman Orde Lama. Entah tragis atau menyesakkan. Yang pasti, saat itu, saya tidak terlalu peduli dan terus saja berpikir positif.
Walhasil, bumper versi telapak tangan diganti bumper versi harta karun. Jawaban itu, memang menjadi obat mujarab untuk menyejukkan pikiran dan hati untuk tidak emosi. Karena, bila Tuhan tidak berkehendak, maka sebuah penzhaliman atau penistaan tidak akan terjadi. Yang Mahaadil berkehendak, karena Ia tengah mencintai hambaNya dan tengah membimbingnya ke jalan lurusNya. Amien.
Namun, bila menyimak kembali batasan atau definsi opening bumper atau apalah namanya, maka perlu dipikirkan pula latar belakang, frame program, dan target yang dibidik. Maksudnya, agar bumper itu tidak sekedar pembuka dan penutup program atau menuju jeda iklan. Tapi, jadikan ia ikatan kuat dengan isi yang ditampilkan. Plus, konstan hingga program itu ditutup atau berganti rupa lagi. Barangkali pembelajaran seperti ini teramat mahal, sehingga enggan dilirik dan dicermati. Tapi, inilah bukti kecerdasan krator-kreator yang bekerja untuk stasiun televisi swasta nasional.
Ketika Wawan “Si Kunyuk” asyik memilih-milih lagu di blog Ilalang Senja-nya, saya memintanya memutarkan lagu “Hua ha ha ha ha” yang ditulis Iwan Fals dalam album Dalbo.
# Hua ha ha ha ha ha
# Hua ha ha ha ha ha
# Bukalah mulut kamu
# Lantangkan saja suaramu