Keindahan cultural studies ada di tangan Douglas Kellner. Melalui buku Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik, antara Modern dan Postmodern, ia memperlihatkan pembacaan-pembacaan realitas budaya popular, termasuk berita-berita televisi, sebagai artefak yang bisa ditelisik dari berbagai perspektif. Bahkan melalui buku setebal 496 halaman itu, ia menelanjangi sosiokultural Amerika Serikat dengan kepongahan-kepongahan hegemoni industri media-nya, secara terbuka hingga tak menyisakan ruang untuk melengkapinya.
Konteks Amerika Serikat dihembuskan melalui keperkasaan Sylvester Stallone melalui film Rambo (hal. 86), keluarbiasaan Tom Cruise melalui film Top Gun (hal. 102), kejelitaan Julia Robert dan ketampanan Richart Gere dalam film Pretty Woman (hal. 319), hingga kegagahan dan keglamouran para pemeran serial televisi Miami Vice (hal. 324), untuk mewakili pembacaannya tentang media film dan televisi. Konteks Negara Adidaya itu juga dibedahnya melalui kharisma musik gospel, kesahajaan musik R&B, kenakalan musik rap, hingga video klip dan sensualitas Madonna yang terus menggoda (hal. 213 & 359).
“Performa itu mengingatkan pada pencitraan yang diperlihatkan pelacur dari kelas pekerja (diperankan Julia Roberts) yang bertemu pangeran rupawan yang juga pengusaha (diperankan Richard Gere) dalam film Pretty Woman, dan menjelmakan seorang gadis jalanan yang kusut menjadi seorang perempuan cantik yang modis. Film tersebut mengambarkan proses perubahan diri melalui fesyen, kosmetik, pilihan kata, gaya, serta lingkup di mana identitas dimediasi melalui citra, dan muncul dalam budaya kontemporer,” baca Kellner tentang dua karakter film Pretty Women (hal. 319).
Masih belum cukup, maka berita-berita tercepat dan terpanas ala CNN juga dipertontonkannya, dengan pembedahan ala strukturalis dan poststrukturalis. Sehingga, pada akhirnya, kita akan diajak terkejut dan menatap nyinyir kepada kanal yang selama ini dianggap sebagai kiblat jurnalisme televisi itu. Karena, pada kenyataannya, saluran itu juga memiliki wajah dasa muka, yang diperlihatkan dengan kesediaannya menjadi corong Gedung Putih. Invasi tentara Amerika Serikat ke Irak semasa dikuasai Presiden Saddam Husein adalah contoh kasus paling telanjang, untuk menyaksikan ideologi kapitalisme yang bersemayam di tubuh media tersebut, media yang dibangun di negeri yang disebut-sebut paling demokratis dan tepercaya untuk soal objektivitas media (hal. 271).
“Pesona cultural studies adalah bahwa ia merupakan bidang yang baru dan terbuka dalam proses membuat dan membuat-kembali, dan campur tangan apa pun hendaknya hanya berupaya menawarkan beberapa sudut pandang atau analisis baru, dan tidak berupaya mengakibatkan penutupan teoritis apa pun,” jelas Kellner. “Beberapa kelompok dan orang telah menggunakan cultural studies untuk merayakan yang popular dan untuk mengabsahkan kajian akademis seputar ‘budaya populer’, sementara yang lain menggunakannya untuk mengkritik beragam ketimpangan dan penguasaan yang ada atau untuk memajukan agenda-agenda politik dan kebudayaan tertentu.” (hal 75)
Penjelasan sederhana dengan makna yang sesungguhnya tidak sederhana itu, bisa diuji dengan kepekaan nurani kita. Bahwa pembacaan-pembacaan Kellner secara otomotis akan mengajak kita untuk mencumbui berbagai sajian media di Tanah Air dari sudut pandang baru, terutama media televisi. Baik melalui penayangan program-program entertainment maupun program-program berita. Persisnya, ketika aroma hiperrealitas dalam ekstasi komunikasi—seperti dibisikkan filsuf Prancis Jean Baudrillard—tengah dirayakan di seluruh stasiun televisi swasta di negeri, dalam konten dan kemasan yang menggoda. Karena, tiba-tiba saja hal itu akan menyeret keliaran pikiran kita, untuk sesegera mungkin membongkar praktik-praktik ekonomi politik media yang menutupi determinisme ekonomi dan hegemoni di balik menara gading industri media. Perhatikan konsep-konsep kreatif program Bukan Empat Mata (Trans7) atau Indonesia Mencari Bakat (TransTV) dan hubungkan dengan pembacaan Kellner tentang film Pretty Woman.
Riset yang dilakukan sejumlah peneliti di Tanah Air memperlihatkan bahwa perayaan komodifikasi atau strategi yang menjadikan isi media sebagai komoditas seperti disinggung Vincent Mosco, saat ini merupakan kelumrahan seluruh layar kaca di Tanah Air. Banalitas dan mimetisme isi media dari seluruh kanal adalah pesan moral yang harus dinikmati khalayak dengan suka cita, tanpa perlu berpikir dan menimbang keinginan-keinginan luhur seperti diisyaratkan dalam metafora-metafora media atau etika komunikasi. Buktinya, perhatikan konsep-konsep kreatif program-program infotainment, Kakek-kakek Narsis (Trans7), dan sejumlah program sejenis yang merupakan efek pengkloningannya (simulacrum).
Dan, hal seperti itu adalah sasaran tembak paling asyik buat orang-orang yang telah mencandu gagasan Kellner. Atau, cobalah sebentar saja merenungkan setiap bacaan yang ditorehkan Kellner, dan lantas perhatikan setiap isi media yang telah merasuki pikiran kita. Maka, perhatikan fenomena-fenomena yang akan segera menggoda: ketika film-film di Amerika Serikat dibangun atas ideologi dan kepentingan politik, maka film-film Indonesia masih menekuni fenomena arwah, pocong, dan kuntilanak; ketika media musik di Amerika Serikat dikonstruksi atas semangat dan spirit tertentu, maka musik-musik Indonesia masih disibukkan fenomena boy band atau girl band, dan grup-grup musik pesanan label; kalaupun Agnes Monica atau Indah Dewi Pertiwa tengah sangat berkeinginan menjadi bagian dari pencitraan gila-gilaan ala Madonna, namun hal itu belum menjawab tantangan bahwa musik merupakan konstruksi atas semangat atau spirit tertentu; bahkan ketika berita-berita televisi di Amerika Serikat diframing dan disuntikkan dalam ideologi ekonomi politik media, berita-berita televisi di Indonesia ikut mencernanya sebagai kegagahan dan melupakan catatan historis bahwa negeri ini pernah menjadikan pers sebagai alat perjuangan.
Ada banyak varian-varian yang bisa dijadikan inspirasi, untuk membuka logika-logika pemikiran dan pencerahan bagi situasi budaya media di Tanah Air laksana Kellner dengan pembacaannya atas artefak-artefak di Amerika Serikat. Buat saya, hal ini merupakan keluarbiasaan buku ini yang sesungguhnya bukan hanya merupakan secangkir cultural studies. Namun, sesungguhnya lebih daripada itu. Labelisasi “secangkir” hanyalah petanda bahwa cultural studies masih menghamparkar cangkir-cangkir lain dalam rupa yang perlu terus diselidiki.
Selain itu, dengan kelugasan dan keindahan yang dipaparkan Kellner, kita pun akan memaklumi hal-hal serius yang justru tidak menyusup di dalam buku itu. Ketidakjelasan metode analisis dalam pembongkaran teks atau artefak budaya popular itu menjadi bisa dimaafkan berkat sodoran data dan logika-logika pemiran Kellner. Buku ini memang bukan skripsi, tesis, atau disertisi, sehingga tidak membutuhkan penjelasan metode penelitian dan instrumen pendukungnya. Karena itu, ketika kita berharap bisa memahami dan menafsirkan alur pemikiran Kellner secara benar, menjadi perlu juga untuk memahami metode-metode penelitian yang lazim digunakan dalam pembongkaran-pembongkaran teks yang bertautan dengan relasi kekuasaan ala poststrukturalisme. Terlebih lagi, bagi mereka yang tengah bergiat memahami dan menikmati keluarbiasaan cultural studies.
Bab demi bab yang digulirkan Kellner, dengan penuturan yang bersahaja dan gaya bahasa sederhana, akan menghanyutkan kita pada uraian-uraian ala cultural studies yang menjelajah secara lintas disiplin ilmu dan lintas zaman. Keruwetan-keruwetan yang senantiasa membayang ketika dihadapkan pada buku-buku karya filsuf, melalui buku ini, akan terbantahkan. Kellner, professor filsafat dari Universitas Texas, Austin, itu berhasil mencairkannya seraya memperlihatkan keindahan pembacaan ala cultural studies, juga kelemahan-kelemahannya sebagai konsep pemikiran yang dipaparkan pada akhir bab.[]
Data Buku
Judul: Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik antara Modern dan Postmodern
Penulis: Douglas Kellner
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: 1, 2010
Tebal: xii + 484 halaman
ISBN: 978-602-8252-38-6