SATU hal yang merisaukan kita saat ini adalah kian gegap gempitanya ruang publik (public sphere), terutama media massa: mulai dari perang opini, kontestasi citra, adu prestise bahkan relasi antagonistik di antara berbagai kekuatan menuju pergantian kekuasaan 2014. Pemilu masih cukup lama, tapi publisitas dan kampanye politik terasa semakin menyesaki isi media kita. Siaran televisi merupakan satu di antara media yang harus mendapatkan perhatian serius berbagai pihak, agar hegemoni pengusaha-politisi yang menjadi pemilik tidak semakin eksplosif dan merugikan kepentingan publik.
Konteks Sosio-Politis
Penonton televisi kita diprediksi akan terus meningkat seiring dengan kian bergairahnya industri broadcasting. Aneka ragam program tersaji dan menerpa khalayak hampir sepanjang hari. Eksistensi industri televisi pun kian kompetitif seiring dengan terintegrasinya stasiun-stasiun televisi ke jaringan usaha para konglemerat yang tidak hanya berhitung bisnis, melainkan juga politis.
Tak disangkal, kita memang mengalami lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi yang mentah. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi medianya, langsung diterpa pola penontonan yang meninabobokan kesadaran mereka. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy viewers) yang kerap mudah terdominasi sekaligus tunakuasa untuk melakukan kritisisme atas beragam pengetahuan dan “sampah‘ yang setiap hari diantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga.
Inilah salah satu konteks paling krusial yang harus dibaca oleh para akademisi, lembaga regulator independen semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, para pekerja media sekaligus para politisi dan penyelenggara negara. Benar, sejarah akademik telah menempatkan posisi efek terbatas (limited effect) dari media seperti tergambar dalam riset Paul Lazarsfeld yang dikenal dengan Erie County Study tahun 1940. Dari 600-an responden, hanya 54 orang yang mengalami perubahan perilaku pemilihan (voting behavior). Tapi, akan samakah jika hal tersebut terjadi di Indonesia meski bangsa ini sudah lama merdeka dan merengkuh kebebasan pers?
Titik perbedaan kita dengan di Amerika adalah cara penonton kita mengonsumsi media yang mengalami lompatan. Literasi media yang rendah tentu juga akan berpengaruh pada minimnya literasi politik. Dampaknya, media terutama televisi, begitu leluasa melakukan penetrasi pada persepsi masif khalayak dan memosisikannya sebagai objek yang diterpa terus menerus tanpa kesadaran bertanya yang memadai.
Bisa jadi, kelas menenangah terdidik jengah dengan dominasi semacam itu, tetapi mereka yang awam dan marginal akan sulit keluar dari jeratan media. Meski, belum tentu aktor yang berada di balik terpaan media tersebut sukses mengonversikan beragam program televisi menjadi sejumlah suara nyata dalam pemilu.
Secara politik, bilik suara menjadi wilayah pertempuran baru, misalnya antara kelompok yang punya “gizi‘ dan yang kurang “gizi‘ atau antara mereka yang memiliki instrumen pengendalian sistem pemilu dengan mereka yang tidak. Di situlah letak penuh paradoks pemilu kita yang hingga kini belum terurai dengan baik.
Sumberdaya Terbatas
Masuknya Hary Tanoesoedibjo pemilik grup besar Media Nusantara Citra (MNC) yang antara lain menguasai RCTI, MNCTV, GlobalTV, SINDO radio, dan sejumlah media cetak maupun online ke Partai Nasional Demokrat (NasDem) menjadi fenomena kontemporer kian mengkhawatirkan ruang publik kita. Sebelumnya, Aburizal Bakrie telah memiliki tvOne dan ANTV dan Surya Paloh menguasai Metrotv. Tiga contoh sosok pengusaha-politisi ini sudah cukup representatif untuk mengungkapkan kekhawatiran kita terhadap terjadinya hegemoni ruang publik kita, terutama terkait frekuensi yang memang sejatinya sumberdaya terbatas.
Kekhawatiran kita kian terkonfirmasi saat stasiun-stasiun yang mereka miliki mulai bertaburan spot iklan perkenalan partai, unjuk citra lewat program yang “memaksa‘ frekuensi sekaligus perhatian publik untuk berpaling pada sejumlah blocking time temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), siaran live rapat kordinasi nasional, kongres dan sejumlah pernik-pernik acara kepartaian lainnya yang tidak begitu penting bagi publik.
Dalam pertimbangan UU No 32 tahun 2002 jelas dibunyikan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumberdaya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas tersebut semena-mena dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan kontestasi pemilu semata. Dengan demikian ada sejumlah agenda yang harus dilakukan agar demokratisasi siaran tidak beralih ke hegemoni oleh sebagian orang.
Pertama, KPI selaku regulator independen harus merumuskan secara jelas aturan main penggunaan media untuk kepentingan politik di luar masa kampanye pemilu. Aturan main yang bunyi di Pasal 60 Peraturan KPI No. 03/2007 mengenai Standar Program Siaran lebih diorientasikan pada pengaturan dalam pemilu dan pilkada. Begitu pun aturan dalam UU No10/2008 mengenai pemilu Pasal 93 sampai dengan Pasal 100 lebih disiapkan untuk mengatur proses kampanye pemilu. Padahal, faktanya di luar tahapan pemilu seperti yang terjadi sekarang, ruang publik kerap terhegemoni oleh kepentingan politik segelintir aktor.
Kedua, harus ada operasionalisasi yang lebih detail mengenai sejumlah aturan kampanye yang sekarang ada di Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Misalnya, ketentuan mengenai lembaga penyiaran diwajibkan mengalokasikan waktu yang cukup bagi peliputan pemilu/pilkada, bersikap adil dan proporsional, tidak partisan, tidak dibiayai atau disponsori oleh peserta pemilu dan pemilukada.
KPI harus menyusun panduan yang lebih detail dan teknis operasional sehingga aturan main itu tidak normatif dan mengundang multiinterpretasi dari seluruh peserta pemilu. Di dalam UU Pemilu No. 10/2008 pun aturan soal sanksi yang ada di Pasal 99 harus lebih jelas, baik bagi lembaga penyiaran maupun parpol yang memanfaatkannya. Frekuensi televisi harus diatur. Selain sumberdaya terbatas, media juga--menurut Antonio Gramsci-- merupakan “tangan-tangan‘ kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik. Tentu, publik tak rela jika media sempurna menjadi instrumen distorsi informasi.[Gun Gun Heryanto]