ke-(tidak)-patutan di LAYAR TELEVISI

Seorang perwira polisi berguling-guling kesakitan. Tangannya putus bersimbah darah setelah gagal menjinakkan sebuah bom di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur.

Dengan kondisi mengenaskan, perwira polisi ini digotong menuju mobil ambulans. Seorang petugas keamanan yang juga menjadi korban ledakan bom tergeletak di halaman, beberapa orang berupaya menolongnya.

Sore 15 Maret 2011, horor bom ini ditayangkan beberapa stasiun televisi. Detik-detik meledaknya bom, potongan tangan terlempar ke udara, darah berceceran, dan perwira polisi berguling-guling berulang-ulang ditayangkan sepanjang sore hingga malam.

Setelah beberapa kali disajikan apa adanya, tayangan disamarkan sehingga darah, potongan tubuh, dan wajah korban tidak lagi kelihatan. Apa yang ditampilkan televisi ini benar-benar terjadi. Semuanya faktual, tanpa rekaan. Tak diragukan lagi, masyarakat juga menunggu berita semacam itu. Tayangan bermuatan kengerian dan sadisme itu sengaja diulang agar masyarakat dapat menangkap momen peristiwa secara utuh.

Persoalannya, karya jurnalistik tak hanya perihal faktualitas, kecepatan, dan eksklusivitas. Karya jurnalistik juga mesti menimbang kepatutan dan dampak. Ruang publik televisi bukan hanya harus memerhatikan apa yang membikin pemirsa memelototi layar televisi, melainkan juga apa dampak dari yang mengemuka di layar televisi. Menarik perhatian publik satu hal, memastikan yang menarik itu aman bagi pemirsa adalah hal lain yang tak kalah penting.

Dalam konteks ini, persoalannya bukan mengapa sebuah peristiwa diberitakan, tetapi bagaimana pemberitaan dilakukan. Apakah sudah memenuhi kepatutan atau keutamaan ruang publik media? Titik pijaknya cukup jelas, Kode Etik Jurnalistik dan Standar Program Siaran. Kode Etik Jurnalistik menegaskan wartawan Indonesia harus menghindari penayangan berita bermuatan sadisme, kekejaman, dan tidak menghormati pengalaman traumatis korban.

Standar Program Siaran lebih rinci menyatakan program siaran dilarang menampilkan ”secara detail korban yang berdarah-darah, korban/mayat dalam kondisi tubuh yang terpotong, dan kondisi yang mengenaskan lainnya”.

Dari sudut pandang kode etik dan standar siaran, cukup jelas problematik dalam pemberitaan televisi tentang bom ini. Pertama, ketika momen perwira polisi berguling kesakitan dengan tangan terputus ditayangkan di televisi, bagaimana kira-kira perasaan dia, keluarga, handai tolan, dan rekan-rekan kerjanya? Sedih, terguncang, malu, dan seterusnya. Dengan sedikit moralistik perlu dikatakan, media masa semestinya meringankan beban atau memberikan empati, tak justru menambah kesedihan dan memperdalam trauma mereka.

Kedua, apakah kekerasan, kengerian, dan horor dalam peristiwa itu patut disajikan untuk masyarakat dari segala umur dan lapisan? Pengaturan pembatasan tayangan yang menampilkan kekerasan, sadisme, dan kengerian sudah pasti didasarkan pada asumsi dan pengalaman bahwa tayangan semacam itu berdampak buruk terhadap psikologi khalayak, khususnya anak-anak. Pemberitaan yang vulgar dan penuh kengerian tentang peristiwa kekerasan juga berpotensi mengintensifkan ketakutan atau kepanikan dalam masyarakat, meski barangkali tujuan media adalah sebaliknya: meningkatkan kewaspadaan masyarakat.

Ketiga, yang juga patut diperhatikan, kemungkinan pajanan media televisi justru menginspirasi kelompok-kelompok ekstrem untuk melakukan tindakan teror lebih lanjut. Apa yang terjadi pada peristiwa bom Mumbay beberapa tahun lalu perlu jadi pelajaran. Tayangan langsung televisi saat itu menggambarkan detail upaya penanganan pascatragedi di Hotel Taj Mahal. Dari layar televisi, teroris memantau pergerakan aparat keamanan di lokasi kejadian.

Tayangan itu memandu mereka melakukan serangan lanjutan. Belasan aparat keamanan kemudian tewas karena berondongan senjata otomatis teroris! Tanpa mempertimbangkan dampak dan hanya mengejar kecepatan dan eksklusivitas, pemberitaan televisi justru memperunyam situasi dan ”memfasilitasi” jatuhnya korban lebih banyak.

Dilema

Dilema antara kecepatan dan keutamaan! Inilah yang kerap dihadapi media ketika menghadapi momentum kekerasan. Hasrat memburu kecepatan dan eksklusivitas berbenturan dengan imperatif untuk menjadikan ruang publik televisi kondusif bagi perwujudan nilai kewargaan, solidaritas, dan empati sosial. Dilema ini dilatarbelakangi determinasi media rating. Rating sebagai parameter kepemirsaan memang suatu keniscayaan dalam industri televisi. Persoalannya, rating cenderung jadi satu-satunya referensi proses kreatif dan produksi televisi. Padahal, rating hanya didesain untuk mengidentifikasi ”apa yang sering ditonton masyarakat”, bukan ”apa yang aman ditonton masyarakat”, atau ”apa yang dibutuhkan masyarakat”.

Parameter kuantitatif kepemirsaan seharusnya tidak menegasikan parameter kualitatif-voluntaristik: pemberdayaan, pencerdasan, dan pengembangan ruang demokrasi; karena di dalam diri media selalu bersanding dua entitas sekaligus: institusi bisnis dan institusi sosial pengembangan keadaban publik. Dari titik ini pula masyarakat seharusnya tak berdiam diri melihat berbagai ketidakpatutan di televisi. Masyarakat punya hak untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran prinsip-prinsip ruang publik media.

Perlu inisiatif sekaligus ketelatenan untuk selalu mencatat kesalahan yang terjadi, menyampaikan keberatan secara langsung—tanpa kekerasan—kepada media penyiaran, menulis surat pembaca, dan mendiskusikannya di forum-forum warga. Tak kalah penting, memaksimalkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk menegakkan standar siaran dan kode etik secara konsekuen. Perbaikan kualitas ruang publik penyiaran akhirnya tergantung sikap masyarakat.[Agus Sudibyo* -- KOMPAS, 29 Maret 2011]

*Penulis
, Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta