mitologisasi ARIEL

Video mesum artis kembali beredar di dunia maya. Video mesum mirip pasangan Ariel “Peterpan” dan presenter Luna Maya berdurasi sekitar 1,4-6,5 menit itu sempat dimuat di akun facebook seseorang. Video itu juga beredar di situs jejaring sosial Kaskus sejak Kamis (3/6) [baca: Video Mesum Mirip Ariel dan Luna Beredar].

Seketika, nama Nazril Irham atau lebih dikenal dengan label Ariel “Peterpan” mendominasi pemberitaan di seluruh media. Terlebih lagi, program infotainment di media televisi. Konstruksi realitas ala the yellow journalism menebarkan segenap aroma ekstasinya—meminjam istilah sosiolog dan filsuf Prancis Jean Baudrillard—ke setiap sudut kamar-kamar. Bahkan, tanpa khawatir kecabulan itu telah menjelmakan realitas yang tidak mewakili objek (hiperrealitas) [baca: Ekstasi Media].

Perayaan itu tak ubahnya penghakiman atas anugerah mitologisasi yang diberikan media terhadap Ariel. Marcel Danesi dalam buku Pesan, Tanda, dan Makna mendefinisikan mitologisasi sebagai upaya media dalam menciptakan seseorang menjadi tokoh yang dimitoskan. Dalam konteks media (yang sepenuhnya di bawah kendali market based-powers), proses mitologisasi sangat sebangun dengan praktik komodifikasi yang menjadikan potensi apa pun sebagai komoditas.

Saat era digeser ke delapan tahun yang silam, Ariel adalah bagian kecil dari sebuah grup band yang belum terkenal dari Kota Bandung, Peterpan. Hentak single lagu Mimpi yang Sempurna yang mereka hadirkan pun masih bagian kecil dari album kompilasi Kisah 2002 Malam.

Media belum terlalu memperhitungkan keberadaan grup band itu. Termasuk penanda-penanda (signifiers) yang dimiliki Ariel sebagai ikon grup band baru. Tapi, kelompok itu tidak diam. Mereka terus bekerja untuk bisa diperhitungkan di antara kelompok-kelompok musik yang telah mapan.

Memasuki 2003, Dewi Fortuna berpihak kepada Ariel dan kawan-kawan. Album Taman Langit meledak di pasaran. Lagu-lagunya diputar di berbagai radio di Tanah Air. Televisi berebutan untuk mengundang kehadiran Peterpan. Media cetak juga mulai menjadikan mitos seraya menembakkannya ke benak khalayak tanpa ampun.

Masyarakat tersentak. Mereka menyambut mitos baru itu dengan antusias. Nama Ariel diperhitungkan. Wajah tampan, sikap dingin dan agak pemalu, suara yang khas, lirik-lirik yang menikam, dan melodi-melodi yang menghujam, menjadi paduan sempurna untuk sama-sama mentasbihkan Ariel “Peterpan” sebagai ikon baru industri budaya popular.

Sukses itu makin menjadi-jadi ketika Peterpan meluncurkan album Taman Langit setahun kemudian. Lagu-lagu dalam album itu, seperti Topeng, Semua tentang Kita, Sahabat, atau Aku dan Bintang, hingga masih sulit dibuang dari ingatan. Maka, media pun semakin bernafsu untuk memitologisasikan Ariel dan Peterpan. Atau, seorang Ariel “Peterpan”, tanpa mengaitkannya dengan personil lain.

Masyarakat juga tidak peduli, ketika Ariel “harus” menikahi Sarah Amelia, wanita bukan dari kalangan artis. Termasuk melupakan kisah cinta ideal Ariel-Luna yang lebih mengemuka. Mitologisasi itu berhasil menyulap Ariel sebagai karakter industri budaya popular yang selalu tampan, modis, bergaya, kreatif, dan bersih!

Kelahiran Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara, 16 September 1981, itu baru mendapatkan masalah ketika kasus video porno mirip artis disaksikan para netter—sebutan untuk para pengguna internet. Bukan cuma Ariel, nama sang kekasih hati Luna Maya dan presenter cantik Cut Tari pun harus diadili oleh lembaga penganugerah efek mitologisasi bernama media.

Sepanjang Juni 2010 dan pekan-pekan berikutnya, Ariel menjalani “hukuman” media dan hukuman badan di ruang tahanan Mabes Polri. Realitas seakan tidak pernah menggubris “kemuliaan” yang pernah di-fetish-kan media terhadap sosoknya. Di hadapan media, sesungguhnya Ariel bukan sekadar tersangka, tapi sudah menjadi terpidana!

Bahkan, keindahan dan keelokan lagu-lagu yang diciptakannya menjadi bahan bagi media untuk mengontruksi “keaslian” sosoknya di balik kalimat “mirip artis”. Ariel yang pernah dimitologisasikan itu tengah diganjar media atas perilakunya yang sangat seksi untuk dijadikan bahan komodifikasi.

Bagi media dengan kuasa hegemoni dan kuasa menembakkan wacana yang dimaknai—seperti diistilahkan tokoh cultural studies asal Birmingham, Inggris, Stuart Hall—mitologisasi adalah rutinitas. Artinya, bukanlah sesuatu yang sulit bagi media untuk mencari, menciptakan, dan mempertegas penanda-penanda industri budaya popular pada orang-orang yang dipilihnya. Sebaliknya, bukan hal yang sulit juga bagi media untuk memilih, menyingkirkan, dan membunuh seseorang yang telah dimitoskannya. Dan, Ariel adalah contoh sempurnanya.

Pekan-pekan ini, Ariel tengah duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa kasus video porno mirip artis. Ia juga kerap harus menonton video porno yang diduga dimainkannya di ruang siding [baca: Sidang Ariel, Video Porno Akan Diputar]. Media juga masih menjadikan kasus itu sebagai bagian dari agenda setting. Bahkan, di tengah hiruk-pikuk pemberitaan euforia keberhasilan tim nasional Indonesia menembus babak final Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2010, yang memitologisasikan pemain-pemain naturalisasi Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales.

Apa ia menikmati juga perayaan mitologisasi terhadap tokoh-tokoh baru yang digelar media dari ruang dingin penjara? Apa ia juga menikmati marjinalisasi atas kemitosan yang pernah disematkan media terhadapnya? Yang pasti, tahun ini, di tengah kepudaran mitos-mitos media tentangnya, ia merupakan subjek paling menjadi buah bibir.[]