Anda mungkin masih ingat ucapan Presiden SBY: ”Biarkan sistem bekerja.” Ini seakan menandaskan, ”Jangan campuri sepanjang ia bisa menyelesaikan sendiri.” Namun, kegaduhan di luar justru menginginkan Presiden mengintervensi karena sistem belum bekerja.
Hidup di tengah komunitas yang tak beraturan, tak terprakirakan, hukum tak tegak, tanpa manajemen waktu, dan kekuatan saling ambil kesempatan dalam kecepatan bikin kita bertanya: kapan sistem bisa memimpin? Sistem operasional yang baik tak kenal kompromi. Ia mogok kerja kalau diintervensi data sampah. Ia mengukuhkan tata kelola meski menghilangkan kebebasan dan suka-suka.
Garuda dan Pertamina
Jatuh-bangun Indonesia membangun sistem dapat dilihat pada dua BUMN yang menyangkut kepentingan orang banyak: Garuda dan Pertamina. Keduanya babak belur menghadapi era baru dengan sistem lama, lalu bertekad bertransformasi besar-besaran.
Dalam ilmu manajemen, BUMN lama dan sistem birokrasi dapat dimetaforakan berkultur kucing atau burung merpati. Lari-terbangnya tak jauh karena sayapnya dijahit, menjadi hewan rumahan yang tak cari makan sendiri, bermalas-malas di rumah majikan. Tak ada keagresifan, yang diutamakan loyalitas. Setia karena faktor takut, bukan sebab prestasi atau inovasi.
Dipimpin eks ajudan presiden atau birokrat senior dengan sistem hierarki dan penghormatan tinggi pada atasan. Kalau atasan mencuri, mencurilah semua elemen dalam struktur karena tak dilengkapi sistem operasional yang mampu menguncinya. Pertamina di era Ari Soemarno menyadari masalah itu. Dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mengawal perminyakan, ia mulai membangun sistem. Semua berlangsung mulus, tikus-tikus kecil yang biasa meneteskan minyak di pusat-pusat logistik dan pengadaan dihalau.
Masalah besar menghadangnya saat ia mulai bangun sistem rantai pasokan yang membatasi gerak mafia minyak. Ketika sistem operasional yang mengatur distribusi minyak tak berjalan seperti yang diharapkan, suara miring pun ditiupkan agar ia diganti. Ari Soemarno ”dikalahkan” opini yang dikendalikan pro-status quo. Sistem rantai pasokan harus dibangun lagi dari nol dan tentu rawan kepentingan.
Bagaimana di Garuda Indonesia? Transformasi sudah dilakukan sejak era Roby Djohan dan Abdul Gani awal 2000. Saat Abdul Gani melakukan perubahan, ia berhadapan dengan kekuatan zona aman yang menikmati ketenangan hidup dengan fasilitas kepegawaian yang menyenangkan. Tiket gratis untuk pegawai bersama keluarga beberapa kali setahun ternyata jadi masalah karena dipakai saat liburan ketika maskapai harus cari untung.
Namun, itu tak seberapa. Budaya dilayani dan menunggu harus ia bongkar. Ia bangun sistem ketepatan waktu yang diakui Bandara Schipol Amsterdam lebih baik daripada maskapai Jepang, JAL. Namun, langkahnya tak mulus, apalagi saat ia mengangkat tema ”Kini Lebih Baik” dalam iklan Garuda. Ada kelompok lama yang kurang berkenan dan kekuatan-kekuatan dari dalam yang melawannya.
Dua belas tahun reformasi cukup bagi Indonesia bekerja tanpa aturan dan hidup suka-suka tanpa sistem. Dalam persaingan yang sangat terbuka, saya lebih suka memikirkan bagaimana membangun kekuatan baru daripada berkelahi dengan neolib untuk kembali ke sistem lama. Neolib itu sudah ada di pekarangan kita, sudah masuk ke jantung pasar. Dalam situasi itu budaya kucing yang malu-malu, berjalan santai, dan kurang berdaya juang sudah tak dapat dijadikan kultur andalan.
Menjadi Citah
Bahkan perusahaan swasta dan pemerintah kabupaten tertentu telah bertransformasi dari kucing menjadi citah yang gesit. Tak pernah dibayangkan bagaimana petugas berbaju PNS karyawan Pemkab Bantul mau turun membawa delapan sampai 10 truk cabai milik penduduknya ke Pasar Induk Kramat Jati. Mereka beli cabai penduduk yang harganya jatuh dengan harga di atas pasar dan seperti citah memburu rusa, mereka mencari pasar yang mau beli dengan harga wajar.
Namun, sistem dan kultur baru pasti menimbulkan ketidaknyamanan. Hal-hal tak terduga selalu muncul seperti yang terjadi di Garuda Indonesia. Saya masih simpan pidato Menteri BUMN saat melantik Emirsyah Satar sebagai direktur utama (21/3/2005) dan mengutip harian Wall Street Journal tentang Garuda sebagai maskapai penerbangan paling lemah di Asia. ”Bahkan, Garuda tak masuk dalam mapping statistik maskapai penerbangan di Hongkong,” katanya.
Namun, Oktober 2010, Centre for Asia Pacific Aviation melaporkan, Garuda telah mengungguli Singapore Airlines dalam mutu layanan menyeluruh, bahkan diberi penghargaan sebagai maskapai paling berprestasi. Indikator kinerja pun diakui banyak perusahaan penilai. Sepanjang 2009 pertumbuhan pendapatannya 27 persen, hanya kalah sedikit dari maskapai berbiaya murah Air Asia dan Jet Air. Namun, margin ebitdanya menyamai Air Asia (22 persen), meski faktor muat penumpang baru 76 persen (Qantas 81 persen dan Singapore Airlines 77 persen).
Urusannya tiba-tiba berubah dalam empat jam di akhir November 2010 saat sistem operasional yang menggabungkan tiga sistem (sistem monitor pergerakan pesawat, jadwal penerbangan, dan pergerakan awak pesawat) macet. Penumpang tak terangkut, jadwal penjemputan kru kacau. Efeknya tiga hari. Saya jadi ingat saat pesawat JAL terlambat di Bandara Tokyo, penumpang berkebangsaan Jepang yang halus tiba-tiba berkacak pinggang. Sebaliknya, saat Garuda menunda, mereka diam-diam saja. Di Indonesia terbalik: diam saat armada asing menunda dan marah besar saat penerbangan nasionalnya kacau. Beberapa orang malah menuntut agar direktur Garuda diganti.
Menuntut ganti CEO yang lalai tentu wajar. Namun, hukum manajemen selalu mengatakan, ”Jaga dan hormati mereka yang bangun sistem karena merekalah orang jujur dan bangun masa depan. Kalau sistemnya rusak beberapa hari? Itulah risiko perubahan. Sakit sedikit demi esok yang lebih tertata.[Rhenald Kasali* - KOMPAS, 13 Desember 2010]
* Rhenald Kasali, Guru Besar Manajemen UI